Masuk Daftar
My Getplus

Peristiwa Pahit di Pura Majapahit

Sebuah pura yang memiliki beragam cerita. Dari tanda kemerdekaan sampai peristiwa berdarah.

Oleh: Wenri Wanhar | 08 Feb 2014
Pura Majapahit di Desa Baluk, Kecamatan Negara, Kebupaten Jembrana, Bali. Foto: Wenri Wanhar.

PENGERAN Agong Wilis berserta 40 pengikutnya dari Kerajaan Blambangan hijrah ke Bali. Mereka bermukim di sekitar pohon beringin besar di Desa Banyubiru –kini Baluk. Di situ, selain berlindung, mereka membangun Pura Majapahit.

Pura Majapahit terletak di Desa Baluk, Kecamatan Negara, Kebupaten Jembrana, Bali. Lokasinya persis di pinggir jalan raya Gilimanuk-Denpasar. Berkendara sekitar 30 menit dari Pelabuhan Gilimanuk. 

“Nenek moyang kami dari Blambangan. Dulu, Blambangan wilayah jajahan Majapahit. Saat Majapahit runtuh karena terdesak oleh Islam, sebagai wilayah jajahan kami ikut terdesak. Maka lari ke Bali,” kata Mangku Gede Pura Majapahit Wayan Wenen, 63 tahun, kepada Historia.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Blambangan Tak Lagi Antah Berantah

Pada 1945 ada peristiwa aneh tapi nyata di Pura Majapahit. Beberapa hari setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tiba-tiba tumbuh jamur raksasa di dalam pura. Jamur berwarna merah dan putih itu tumbuh di pokok batang beringin besar.

Pihak Belanda mengira jamur tersebut sengaja ditanam sebagai simbol keberpihakan kepada Indonesia. Maka Belanda menangkap Ketut Nista, Mangku Gede Pura Majapahit saat itu. “Setelah sehari-semalam ditahan di penjara Negara, kakek saya dilepas,” kenang Wayan Wenen.

Dua minggu kemudian, jamur itu lenyap. Hingga kini, setiap menceritakan zaman perang kemerdekaan, kisah jamur raksasa merah putih masih menjadi topik utama di desa Baluk.

Duapuluh tahun kemudian, ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, Pura Majapahit berdarah. Keluarga Mangku Gede Pura Majapahit dibantai. Wayan Wenen satu-satunya yang selamat dan menjadi buronan. Dia diburu beserta orang-orang kampung lainnya karena dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam sebuah perjumpaan di Bali tempo hari, para tetua desa Baluk menceritakan kepada Historia, suatu malam di masa perburuan, tentara beserta orang-orang berkumpul di pekarangan Pura Majapahit. Tiba-tiba ada anak kecil kesurupan. “Namanya Sutarna,” kenang mereka.

Anak kecil itu mengamuk. Awalnya dikira pura-pura, tapi setelah tak ada yang bisa mengendalikannya, seluruh orang menjadi ketakutan. Suara Sutarna berubah. Dalam suasana mencekam, anak kecil itu berpesan: “Jangan saling bunuh! Hentikan pembunuhan!”

Sutarna juga meminta pura dipindahkan dan dibangun ulang. Dia langsung memilih beberapa orang menjadi panitia pembangunan pura. “Kamu… kamu jadi panitia,” ujarnya seraya menunjuk beberapa orang. Dan, “kamu… kamu jangan. Kamu jahat,” tandasnya kepada beberapa orang lainnya.

Lazimnya sebuah pura, harus ada mangku atau ahli agama. Karena semua ahli agama sudah dibunuh, orang-orang pun bertanya: “Siapa yang jadi mangku?”

Sutarna menjawab: “Wayan Wenen.”

Semua saling pandang. Heran. Seseorang diangkat menjadi mangku harus menguasai agama dan biasanya berusia di atas 50 tahun. Sementara Wayan Wenen saat itu masih muda. Tapi, karena sudah amanah, semua patuh.

“Saat diangkat menjadi mangku saya kelas dua Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP),” kata Wayan Wenen yang masih menjadi Mangku Gede Pura Majapahit hingga hari ini.

Baca juga: 

Peristiwa Pahit di Pura Majapahit

Pohon beringin besar sudah tak ada. Pura Majapahit bergeser mundur ke belakang dari lokasi sebelumnya. Di gerbang pura tumbuh pohon Maja –siloka Majapahit.

Dulu, leluhur Pura Majapahit hijrah dari Blambangan ke Bali karena terdesak Islamisasi. Kini, penduduk sekitar pura mayoritas Muslim. Sebagai bentuk toleransi, orang-orang di Pura Majapahit tidak memotong babi dalam setiap ritual, tapi menggantinya dengan itik.

TAG

1945 pura majapahit jembrana bali sejarah-daerah

ARTIKEL TERKAIT

ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung Agung Jambe Dibunuh dan Kerisnya Dirampas Pembantaian di Puri Cakranegara Banjir Darah di Puri Smarapura Kolonel Latief di Sekitar Yamato Seabad First Lady Fatmawati Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Pesona dari Desa Penglipuran Sanghyang Dedari, Pertunjukan Penolak Marabahaya dari Bali