Masuk Daftar
My Getplus

Orang Indonesia Pertama di Kabinet Belanda

Sebagai menteri dalam kabinet Belanda, Soejono mengajukan nota agar Indonesia menentukan nasib sendiri. Tak seorang pun mendukungnya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 31 Agt 2015
Raden Adipati Ario Soejono dan Ratu Wilhelmina ketika membacakan pidato pada 7 Desember 1942. (Dok. Rushdy Hoesein dan wikipedia).

ADA beberapa orang Indonesia jadi anggota Parlemen Belanda, seperti Roestam Effendi dan L.N. Palar. Namun, orang Indonesia yang pernah duduk dalam kabinet Belanda hanya seorang dan satu-satunya, yaitu Raden Adipati Ario Soejono. Anaknya, Irawan Soejono, tewas ditembak tentara Nazi-Jerman.

Ketika Jerman menduduki Belanda pada 1940, pemerintahan Kerajaan Belanda lari ke Inggris. Di sana, membentuk pemerintahan dalam pengasingan, yaitu Kabinet Gerbrandy. Sementara itu, menjelang kapitulasi Hindia Belanda kepada Jepang, Van Mook bersama Soejono dan Loekman Djajadiningrat, pergi ke Australia. Van Mook diangkat menjadi menteri daerah jajahan dalam kabinet yang dibentuk di London itu. Soejono membantu Van Mook sebagai penasihat tertinggi. Dia kemudian diangkat menjadi menteri tanpa portofolio pada 6 Juni 1942.

“Dalam Kabinet Perang inilah diangkat seorang Indonesia menjadi Menteri Negara. Dia adalah RAA Soejono, pernah menjabat sebagai anggota Komisi Karet Internasional berkedudukan di Den Haag,” tulis majalah Warnasari, No. 101, 1987.

Advertising
Advertising

Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, maksud di balik pengangkatan Soejono sebagai menteri untuk menekankan adanya ikatan nasib antara Negeri Belanda dan Indonesia, serta untuk memperlihatkan terutama kepada sekutunya, Amerika Serikat, bahwa Negeri Belanda bukan negara kolonial yang reaksioner.

Dalam sidang kabinet perdana yang dihadiri Soejono, Perdana Menteri Gerbrandy mengatakan, “saat bersejarah, karena sekarang untuk pertama kalinya seorang putra bangsa Indonesia menjadi anggota Pemerintah Belanda.” Perkataan ini disambut tepuk tangan.

Soejono kemudian terlibat dalam pembicaraan mengenai ketatanegaraan Indonesia setelah perang. Hasil dari pembicaraan ini menjadi bahan pidato Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942. Soejono pun mengajukan nota pada Oktober 1942, di mana dia menyatakan bahwa di kalangan masyarakat Indonesia terdapat keinginan yang laten untuk memutuskan samasekali hubungan dengan Negeri Belanda. Karena itu, menurut Soejono, pernyataan dari Belanda harus menjamin lahirnya kebersamaan sukarela dalam ikatan ketatanegaraan.

“Bagi Soejono, ini berarti pengakuan secara prinsip terhadap hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri,” tulis Poeze.

Soejono sampai tiga kali dalam sidang kabinet Oktober 1942, dengan sungguh-sungguh mengimbau rekan-rekannya, khususnya menteri-menteri dari SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat), tetapi sia-sia. Mereka, demikian juga Van Mook, menolak disinggungnya hal itu dalam pidato Ratu Wilhelmina. “Walau demikian Soejono beranggapan bahwa dia tak perlu mengundurkan diri,” tulis Poeze.

“Inti pidato ini adalah mengusahakan sedapat mungkin agar Hindia Belanda tetap bersatu dalam wadah imperium Kerajaan Belanda,” tulis sejarawan Rushdy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati.

Tentu saja, Soejono menginginkan sesuatu yang mustahil dikabulkan oleh pihak Belanda, yaitu Indonesia menentukan nasib sendiri atau merdeka. Sebab, Belanda punya semboyan singkat: Indie verloren, rampspoed geboren artinya Hindia (Indonesia) hilang, malapetaka menjelang.

“Ketakutan kehilangan Hindia tertanam dalam pemikiran bawah sadar kolektif masyarakat Belanda,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas. “Karena itu, Hindia luar biasa pentingnya: jika Indonesia memperoleh kemerdekaan, sejumlah orang menyesalkan, Belanda akan mengalami kemerosotan...”

Soejono tak dapat berbuat banyak lagi dalam kabinet Belanda. Ajal menjemputnya pada 5 Januari 1943, pada usia 56 tahun.

TAG

soejono ratu wilhelmina

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Park Chung Hee, Guru Gagal Jadi Diktator Korea Selatan Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung Keponakan Hitler Melawan Jerman