PANGLIMA Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor R. Didi Kartasasmita terhenyak saat seorang anak buahnya membantah pendapatnya secara keras. Letnan Kolonel Eddie Soekardi, Komandan Resimen ke-3 TKR Jawa Barat, menyatakan bahwa perintah agar para anakbuahnya bekerjasama dengan tentara Inggris untuk menangani misi-misi internasional adalah sebuah ketidakmungkinan.
“Saya bersama Moefreni (Komandan Resimen Cikampek) dan Omon (Komandan Resimen Bandung), merasa itu sebagai lelucon yang tidak lucu…” kenang Eddie Soekardi.
Dibantah secara keras demikian, otomatis Didi menjadi emosi. Kendati ia sendiri tak menyetujui perintah tersebut, namun soal itu adalah kemutlakan bagi dirinya sebagai seorang tentara.
Baca juga: Kekecewaan Didi kepada Nasution
“Ini kan urusan politik! Jadilah kamu komandan resimen yang matang!” ujarnya seperti dilukiskan dalam buku Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946 karya Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi dan Jajang Suryani.
Eddie sendiri mengaku kaget dengan sikap atasannya tersebut. Pada akhirnya, ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang prajurit yang harus melaksanakan apa yang dikatakan pimpinan.
“Saya lalu minta maaf dan berjanji kepada Pak Didi untuk coba memahami perintah itu,” ujarnya.
Kebijakan Sjahrir
Pada 15 November 1945, kabinet presidentil RI berubah menjadi kabinet parlementer di bawah Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri-nya. Naiknya Sjahrir menjadikan pihak Belanda dan Inggris “bernafas agak lega”. Setidaknya, Sjahrir dianggap lebih bebas dari pengaruh Jepang, moderat dan merupakan bagian dari kekuatan sosialisme demokrat dunia, ideologi yang banyak dianut oleh para tokoh dari negara-negara pemenang perang seperti Inggris.
“Bahkan diperkirakan oleh Belanda dan Inggris, Sjahrir itu akan mudah diatur,” ujar Eddie Soekardi.
Menurut Rudolf Mrazek, secara khusus, Belanda memang lebih “merasa nyaman” dengan Sjahrir dibanding dengan Sukarno-Hatta. Itu terbukti, saat Inggris mendesak Belanda untuk membuka dialog dengan kedua proklamator tersebut, mereka menolak karena merasa tidak ada kompromi dengan “para pemberontak”. “…kabinet Sjahrir adalah kabinet Indonesia demokratis terakhir yang dapat dipikirkan…” ungkap van der Plas seperti dikutip oleh Mrazek dalam bukunya Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia. Lantas bagaimana sikap Sjahrir sendiri?
Sjahrir, kata Mrazek, sangat percaya Inggris adalah faktor dominan yang bisa mempengaruhi sikap politik Belanda. Sejak Inggris menguasai Indonesia pada awal abad ke-19 (lalu kemudian diserahkan kembali), sesungguhnya keberadaan Belanda di Indonesia bukan atas dasar kekuatan mereka sendiri.
“Akan tetapi atas kebaikan Inggris dengan politik luar negerinya yang sama sekali menjadi andalan Belanda,” ungkap Sjahrir dalam Perdjoeangan Kita.
Baca juga: Baswedan Dikerdilkan, Muso dan Sjahrir Dilupakan
Kesalingpahaman antara Sjahrir, Inggris dan Belanda membawa ketiga pihak ke meja perundingan pada 17 November 1945. Hasil nyata dari perundingan segitiga tersebut adalah Inggris akan membantu penyelesaian sengketa antara Belanda-Indonesia dan sebagai bentuk perwujudan niat baik, pemerintah RI akan membantu semua tujuan-tujuan misi internasional Sekutu di Indonesia.
Duabelas hari kemudian, perundingan antara Inggris (diwakili oleh Brigadir Lauder) dan pemerintah Indonesia (diwakili oleh H.Agus Salim) diadakan kembali.Dalam perundingan itu ditetapkan bahwa Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor dan Bandung menjadi wilayah-wilayah kekuasaan militer Inggris.
Dalam rangka itu, PM. Sjahrir pun menyetujui Jakarta dijadikan kota diplomasi yang harus bebas dari kaum bersenjata. Otomatis keputusan tersebut menjadikan Resimen Jakarta pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min harus digeser ke Cikampek.
Kebijakan PM. Sjahrir disambut secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan di tubuh kaum republik. Jika seluruh kekuatan lasykar dan pemuda radikal menolak mentah-mentah, maka di internal TKR sendiri muncul dua sikap terkait masalah itu. Pertama, kalangan TKR yang menerima sepenuhnya keputusan Sjahrir. Kedua, kalangan TKR yang menerima keputusan Sjahrir dengan catatan: sekali pihak Sekutu tidak melakukan koordinasi dengan TKR maka tak ada cara lain selain harus menghantam kekuatan mereka.
Insiden Dawuan
Stasiun Cikampek, 21 November 1945. Dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung. Belum jauh dari stasiun, di wilayah Dawuan tiba-tiba kereta api berjalan semakin pelan. Bersamaan dengan itu, beberapa anggota TKR dari Resimen V Cikampek pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min, meloncat ke atas lokomotif. Dalam bahasa Inggris yang fasih mereka memerintahkan kereta api yang memuat kiriman logistik dan amunisi untuk tentara Sekutu di Bandung itu berhenti.
“Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?!” teriak salah satu dari prajurit TKR itu.
“ Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut.
Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung.
Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengtetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas.
“Kami hanya menyisakan 4 tawanan dan langsung merampas seluruh isi gerbong-gerbong tersebut,” ujar Letnan Kolonel Moefreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi: Dalam Gejolak Revolusi karya Dien Majid dan Darmiati.
Penghadangan itu sempat membuat Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin marah besar. Begitu mendengar insiden tersebut dari pihak Sekutu, ia langsung menelepon Moefreni dan memerintahkan pasukan Resimen V Cikampek untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas dan membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni.
“Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni.
Untuk mencegah terjadinya insiden yang sama, selanjutnya pihak Sekutu melibatkan anggota TKR dari Jakarta dalam setiap misi pengiriman logistik via kereta api. Itu terjadi kali pertama pada 11 Desember 1945, saat satu kelompok kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) pimpinan Daan Mogot ikut mengawal kereta api yang memuat kiriman logistik untuk para interniran di Bandung.
Namun hal tersebut tidak diterapkan Sekutu dalam misi pengiriman logistik yang memakai jalur darat lainnya. Kala pasukan dari TKR Jakarta mengawal misi-misi RAPWI via kereta api ke Bandung, di beberapa kota justru penghadangan-penghadangan tetap dilakukan. Salah satu penghadangan yang paling merepotkan militer Inggris terjadi di rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pada Desember 1945 dan Maret 1946.
Baca juga: Neraka Pasukan Gurkha