Masuk Daftar
My Getplus

Dalam Keadaan Sakit, Aliarcham Tetap Melawan

Aliarcham memilih mati dikelilingi kawan-kawan daripada harus berobat hingga sembuh kepada pemerintah kolonial Belanda.

Oleh: Andri Setiawan | 16 Apr 2020
Aliarcham. (Repro Majalah Minggu Pagi 6 Mei 1951).

Ketika akhirnya dipindahkan ke Kamp Tanah Tinggi, Aliarcham mulai mengalami batuk-batuk. Kondisinya menjadi semakin parah dan diketahui ia mengidap penyakit Tuberkulosis (TBC). Kian hari badannya semakin kurus. Mukanya pucat dan matanya juga cekung.

Sukimah adalah istri Aliarcham yang pada 1926 ikut dalam pembuangan ke Okaba. Ia turut pula ketika Aliarcham dipindahkan ke Tanah Merah dan kemudian ke Tanah Tinggi. Anak laki-laki mereka yang bernama Aneksimander juga ikut dalam pengasingan ini.

Di Tanah Tinggi ketika Aliarcham mulai sakit, istrinya diminta kembali Jawa. Sukimah yang saat itu tengah mengandung diminta pulang agar melahirkan di Jawa. Lagi pula akan sangat berbahaya jika penyakit Aliarcham menular ke keluarganya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Aliarcham, Buangan Paling Dihormati

“Bulan Juli 1929, dengan hati yang pilu, bertentangan dengan perasaannya dan atas desakan yang kuat dari suaminya, akhirnya Sukimah terpaksa berangkat dan meninggalkan suaminya di pembuangan,” tulis penyusun buku Aliarcham, Sedikit tentang Riwayat dan Perjuangannya.

Sementara itu, keadaan Aliarcham makin buruk. Kawan-kawannya menganjurkan supaya ia berobat ke Tanah Merah. Namun Aliarcham menolak karena ia yakin bahwa pemerintah kolonial tidak akan mengobatinya karena sangat membencinya.

Setelah terus didesak oleh kawan-kawan, akhirnya Aliarcham akhirnya sempat berobat di Tanah Merah dan kemudian kembali lagi ke Tanah Tinggi. Aliarcham ternyata memilih mati dikelilingi kawan-kawan daripada harus berobat hingga sembuh kepada pemerintah kolonial.

Aliarcham memang keras pendirian. Padahal di Tanah Tinggi, mengidap penyakit seperti penyakit paru-paru atau malaria tanpa pengobatan berarti kematian.

Baca juga: Alkisah Foto Jenazah Aliarcham

Seorang sersan penjaga di Tanah Tinggi bercerita kepada Chalid Salim bahwa selama berminggu-minggu Aliarcham terus batuk pada malam hari. Kemudian setiap pagi jam enam ia terlihat berjalan-berjalan di depan rumahnya untuk berjemur dengan berkalung handuk.

“Tak pernah ia minta tolong. Sungguh orang luar biasa!” katanya, seperti dikutip Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul.

Dokter Schoonheyt yang sempat mengobati Aliarcham di Tanah Merah memberitahu Sukimah melalui sepucuk surat. Ia menganjurkan Sukimah agar kembali ke Digul karena penyakit suaminya sudah parah.

“Saya melihat sesuatu yang luar biasa kuatnya pada diri suami nyonya, yaitu pendirian politiknya yang tak pernah kendor melawan pemerintah. Dan sebagai manusia, saya sangat menghormati akan keteguhan hati ini,” tulis Schoonheyt.

Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1

Sukimah segera mengirim surat untuk Aliarcham. Ia mengatakan akan kembali ke Tanah Tinggi untuk merawatnya. Namun, keinginan sang istri ditolak Aliarcham.

“Sakit saya hanya sedikit dan kalau kau datang penyakit ini takkan sembuh. Dan kau pasti tinggal saja terus di Jawa mendidik anak-anak. Dan saya pasti sembuh,” kata Aliarcham dalam surat balasannya.

Sukimah tentu saja khawatir. Namun sebelum ia sempat mengabarkan terkait kepastian keberangkatannya ke Tanah Tinggi, kabar kematian suaminya justru datang lebih dulu. Pada 1 Juli 1933, Aliarcham meninggal dunia di atas perahu menuju Tanah Merah.

TAG

aliarcham pki boven digul

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pesindo Sukses Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Sudharmono Bukan PKI D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Tertutup Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Ketika Nama PKI Diprotes Mohamad Gaos Sangat Keras Moesirin, Serdadu KNIL yang Digoelis Digoelis Makassar Itu Bernama Paiso