Masuk Daftar
My Getplus

Cerita di Balik Biografi Sukarno Karya Sejarawan Jerman

Ketika membuat skripsi, sarjana Jerman ini sudah terpikir untuk membuat disertasi tentang Sukarno. Hasilnya menjadi buku pertama yang menganalisis pemikiran Sukarno secara lengkap.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 07 Agt 2017
Prof. Dr. Bernhard Dahm dan biografi "Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan" (LP3ES, 1987). Foto: de.wikipedia.org.

BERNHARD Dahm mengenal Indonesia dari ibunya, Margarete Beisenherz, putri seorang misionaris, Daniel Beisenherz, yang lahir pada 1906 di Pancur Napitu, Tarutung, Sumatra Utara. Margarete meninggal pada 1942 ketika Bernhard berusia sepuluh tahun.

Bernhard kemudian tinggal dengan bibi ibunya, Auguste Beisenherz, seorang biarawati di tanah Batak dan terakhir memimpin rumah sakit di Pearaja, Tarutung. Darinya, dia mendapat cerita banyak tentang Batak dan Indonesia. Setelah Perang Dunia II berakhir, dia terus mendengar berita tentang Indonesia. Dia pun ingin mempelajari lebih jauh tentang Indonesia.

“Berbeda dengan teman-teman sebaya di Jerman, saya sudah tahu dengan tepat, di bagian bumi mana negara baru itu terletak. Dan saya mengikuti dengan penuh perhatian peristiwa-peristiwa dalam revolusi Indonesia sampai akhir tahun 1949,” kata Bernhard dalam Amatan Para Ahli Jerman tentang Indonesia.

Advertising
Advertising

Namun, ketika Bernhard mulai kuliah di tahun 1950-an, di Jerman belum ada kemungkinan untuk belajar sejarah dan politik Indonesia. Dia pun masuk pendidikan guru jurusan Kesusastraan Jerman dan Sejarah Modern di Universitas Marburg (1953-1955) dan Universitas Kiel (1956-1959).

Guru besar Sejarah Modern Prof. Dr. Karl Dietrich Erdmann di Universitas Keil mengetahui minat Bernhard terhadap Indonesia. Dia mengusulkan agar Bernhard membuat skripsi untuk ujian negara pada 1960 sebuah tema yang berhubungan dengan Indonesia, yaitu “Arti Konferensi Bandung untuk sistem negara-negara modern di dunia.”

Ketika mengerjakan tema tersebut, Bernhard untuk kali pertama membaca pidato Sukarno dan tergugah untuk mengetahui lebih jauh tentang sosoknya.

“Saya berusaha untuk memperoleh biografi atau karya-karya mengenai Sukarno. Ternyata tidaklah mudah. Baik dalam bahasa Jerman maupun Prancis ataupun Inggris sampai saat itu masih belum terdapat karya-karya yang informatif mengenai Sukarno,” kata Bernhard.

Yang ada hanyalah brosur-brosur resmi yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Indonesia tetapi tidak memberikan gambaran tentang perkembangan dan pemikiran Sukarno. “Oleh karena itu saya memutuskan setelah menyelesaikan studi dan penulisan skripsi tentang Konferensi Bandung, saya akan menulis sendiri buku mengenai perjalanan hidup dan gagasan presiden pertama Indonesia itu,” kata Bernhard.

Pada 1961, Bernhard yang baru menikah dengan Elke Vieth, meninggalkan istrinya untuk pergi ke Belanda. Di sana, dia mempelajari arsip-arsip tentang nasionalisme Indonesia. Hasilnya, pada 1964, dia berhasil membuat disertasi berjudul Sukarnos Kampf in Indonesiens Unabhangigkeit. Disertasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Inggris. Dalam Bahasa Indonesia berjudul Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987).

“Buku Dahm mengenai pemikiran Sukarno adalah buku pertama yang menganalisis secara lengkap Sukarno sampai tahun 1945,” tulis sejarawan Onghokham dalam Sukarno: Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965. Menurut Ong, tesis utama Dahm mengenai pemikiran Sukarno adalah betapa berakarnya dia dalam kebudayaan Jawa tradisional dan ideologi anti-Barat, yang pada waktu itu merupakan penjajah dan musuh utama nasionalisme Asia pada umumnya dan dan Indonesia khususnya.

“Karya ini menekankan pengaruh tradisi kebudayaan Jawa terhadap tindakan serta jalan pikiran Sukarno,” kata Bernhard. Penampilannya yang berkobar-kobar dalam perjuangan kemerdekaan serta keahliannya menguasai bahasa pewayangan, membuat banyak orang melihat Ratu Adil dalam diri Sukarno yang dapat memimpin Indonesia memasuki zaman keemasan.

Namun, yang jauh lebih penting lagi ialah upaya Sukarno yang berkesinambungan dalam perjuangan kemerdekaan untuk mempertahankan front kesatuan supaya masing-masing kelompok tidak saling melemahkan. “Dia yakin akan tradisi sinkretisme Jawa bahwa persatuan antara kelompok yang beraneka ragam pun, seperti Islam, Marxis, dan Nasionalis dapat terlaksana,” kata Bernhard.

Pada 26 Oktober 1966, Bernhard bertemu dengan Sukarno. Dia menyetujui beberapa hal dalam buku itu, misalnya mengenai penekanan perbedaan pribadinya dengan Hatta, Sjahrir, dan M. Natsir. Tetapi, dia tidak setuju disebut seorang Marxis melainkan sinkretis kebudayaan Jawa yang mencakup istilah Marhaen ciptaannya serta proyek Nasakomnya.

“Dalam pembicaraan kami, Sukarno tetap yakin bahwa seseorang dapat menjadi Marxis dan seorang muslim yang taat sekaligus,” kata Bernhard yang diangkat menjadi profesor sejarah Asia di Universitas Kiel, Jerman pada 1973. Dia kemudian memimpin Institut Studi Kawasan Asia Tenggara di Universitas Passau pada 1984.

Sejarawan Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi, menyebut karya Bernhard berhasil menunjukan kepada pembaca betapa pentingnya pengaruh kebudayaan Jawa dalam proses sosialisasi dan pekembangan intelektual Sukarno.

“Karya tersebut bukan tanpa kesalahan,” tulis Peter. “Misalnya, ada kritik yang ditujukan kepada Bernhard Dahm bahwa sarjana berkebangsaan Jerman itu terlalu memaksakan diri melihat Sukarno sebagai pemikir tanpa melihat tingkah laku politik Sukarno sendiri. Kendati demikian, buku ini tetap saja memberi sumbangan yang berarti bagi penulisan sejarah Indonesia.”

TAG

sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band