Masuk Daftar
My Getplus

Beragam Lambang PSI

PSI menggunakan tujuh tanda gambar berbeda di berbagai daerah pemilihan pada Pemilu 1955. Namun, strategi ini gagal merebut suara.

Oleh: Amanda Rachmadita | 29 Jan 2024
Kampanye PSI di Bali (Howard Sochurek/LIFE).

SELAMA masa kampanye pemilihan umum (pemilu), poster, spanduk, dan baliho bertebaran di berbagai sudut kota hingga ke desa-desa. Alat peraga kampanye (APK) itu tak hanya menampilkan wajah para caleg atau capres-cawapres, tetapi juga dilengkapi tanda gambar partai politik yang mengusungnya.

Merunut sejarah pemilu, tanda gambar partai telah menghiasi surat selebaran serta poster-poster partai politik di masa kampanye Pemilu 1955. Tanda gambar tak hanya digunakan untuk mengenalkan partai-partai politik, tetapi juga untuk memudahkan proses pemilihan mengingat masih banyak warga yang buta huruf. Tanda gambar membantu para pemilih dalam menentukan partai mana yang akan dipilih di hari pemungutan suara.

Kebanyakan partai politik memiliki satu tanda gambar sebagai simbol maupun representasi dari partai mereka. Maraknya pemasangan APK di masa-masa menjelang pemilu membuat tanda gambar partai menjadi top of mind atau hal utama yang paling diingat oleh masyarakat. Misalnya, gambar palu arit yang berkaitan erat dengan PKI.

Advertising
Advertising

Baca juga: Palu Arit Selalu Bikin Sengit

Ada pula partai yang memiliki tanda gambar serupa. PNI, Partai Buruh, dan Gerakan Banteng R.I., sama-sama menampilkan banteng pada tanda gambarnya. Bedanya, pada tanda gambar PNI, kepala banteng berada di dalam segitiga dengan tulisan di bawahnya: Front Marhaenis. Pada tanda gambar Partai Buruh, kepala banteng berada dalam roda bergigi 17. Sedangkan tanda gambar Gerakan Banteng R.I. menampilkan tugu peringatan (putih) yang di dalamnya terdapat kepala banteng dengan tulisan: Banteng Proklamasi.

Banteng terkait erat dengan semangat pergerakan, bahkan hewan bertanduk itu telah lama menjadi lambang kaum nasionalis. Tak jarang pada saat kampanye, juru kampanye PNI menyebut bahwa “rakyat Indonesia, kata mereka, seperti banteng, sabar dan tidak cepat marah, tetapi sekali marah akan mengamuk tanpa ampun,” tulis Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Khususnya di tingkat desa, partai politik memperhitungkan kisah-kisah dan kepercayaan rakyat untuk menciptakan ikatan yang efektif dengan partai. Seperti yang dilakukan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang mengajukan tanda gambar berbeda-beda di tiap daerah pemilihan. Ada tujuh tanda gambar PSI yang diizinkan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) untuk dipergunakan dalam pemilu DPR dan Konstituante.

Baca juga: Tugu-Tugu Palu Arit di Indonesia

Tujuh tanda gambar itu adalah bintang sudut lima beserta rumah daun dan rencong untuk Sumatra Utara; bintang sudut lima dilingkari padi untuk Sumatra Tengah; bintang sudut lima untuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta Raya, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara-Tengah, Sunda Kecil-Timur, dan Irian Barat; bintang sudut lima dengan Mandau di Kalimantan Timur; kapal layar dengan bintang sudut lima untuk Sulawesi Tenggara-Selatan; gambar Ganesha dalam bintang tegak berpenjuru lima untuk Sunda Kecil-Bali; dan seikat padi dengan bintang sudut lima untuk Jawa Barat dan Maluku.

Penggunaan beragam tanda gambar merupakan upaya PSI untuk menarik simpati masyarakat setempat. Gambar yang digunakan berkaitan dengan kisah-kisah maupun kepercayaan masyarakat, misalnya lambang bintang segi lima yang digunakan PSI di Jawa Tengah dan Timur dikaitkan dengan takhayul Jawa bahwa mimpi kejatuhan bintang berarti akan mendapat rezeki. Selain itu, partai ini juga aktif merekrut pemimpin lokal yang dianggap memiliki daya tarik besar di daerah pemilihan tertentu. Sayangnya, strategi PSI ini tidak berjalan sesuai rencana.

Baca juga: PSI Riwayatmu Dulu

Sejarawan Rudolf Mrázek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia menulis, pada pemilu untuk memilih anggota DPR yang diselenggarakan pada 29 September 1955, PSI hanya mendapatkan kurang dari delapan ratus ribu suara –sekitar 2 persen dari total suara yang masuk. PSI yang dianggap sebagai partai politik besar dan berpengaruh selama masa revolusi hanya mendapat lima kursi dari 257 kursi yang tersedia di parlemen yang baru. Pemilu putaran kedua yang diselenggarakan untuk memilih anggota Konstituante pada Desember 1955 juga tak memberikan hasil yang membanggakan bagi PSI. Bahkan, PSI kehilangan suara pada pemilu yang dihelat pada akhir tahun itu.

“Perolehan suara yang besar yang dinikmati oleh PNI dan kehilangan suara yang besar yang dialami Masyumi dan PSI (dan mungkin juga yang dialami PRI Bung Tomo, paling tidak sebagian) dapat dianggap bagian dari satu perubahan dalam pilihan politik di pihak pemilih,” sebut Feith.*

TAG

pemilu psi

ARTIKEL TERKAIT

Mimpi Pilkada Langsung Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Korupsi di Era Orde Baru Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Jejak Ali Moertopo dalam Kerusuhan Lapangan Banteng Perkara Tombol Panggil di Kantor DPP Golkar Iklan Michael Jackson Menembus Tirai Besi Uni Soviet Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat