Masuk Daftar
My Getplus

Tendangan dari Sakartvelo

Georgia jadi debutan di Piala Eropa 2024 dan berpotensi jadi tim kejutan. Seperti apa gerangan mulanya sepakbola di Tanah Kartvelia itu?

Oleh: Randy Wirayudha | 13 Jun 2024
Selebrasi skuad Georgia usai memastikan lolos ke Euro 2024 (uefa.com)

SEJAK gelaran perdananya pada 1960, tak pernah sekalipun Piala Eropa bergulir tanpa peserta debutan. Di Piala Eropa ke-17 tahun 2024 ini, tim Georgia tercatat tampil pertamakali setelah empat kali gagal lolos sejak negaranya merdeka pasca-keruntuhan Uni Soviet.

Jika di era 1990-an sampai awal 2000-an ada Kakhaber Kaladze yang jadi bintang di AC Milan dan timnas Georgia, kini ada Khvicha ‘Khvara’ Kvaratskhelia yang bersinar di Napoli dan jadi salah satu motor penting timnas Georgia era kini. Kvara turut andil meloloskan Georgia ke Piala Eropa 2024 di Jerman lewat jalur play-off Liga C UEFA League of Nations dengan menyingkirkan Yunani.

Tim asal “Tanah Karvelia” di selatan Pegunungan Kaukasus itu juga berpotensi jadi tim kejutan alias tidak sekadar jadi tim pelengkap belaka kendati rangkingnya terendah dari 23 kontestan lainnya. Di babak penyisihan, Georgia terundi di Grup F bersama Türkiye, Portugal, dan Republik Ceko. 

Advertising
Advertising

Georgia memulai petualangan pertamanya di laga pembuka Grup F kontra Türkiye pada 18 Juni 2024 di Signal Iduna Park alias BVB Stadion Dortmund. Peluang tim yang diasuh Willy Sagnol itu untuk lolos ke perdelapan final juga bukan mustahil. Pasalnya mulai Piala Eropa ke-17 ini UEFA membuka format lolos dari grup dengan jatah empat tim terbaik peringkat tiga di masing-masing grup. 

“Ini grup yang keras karena Portugal tim kuat Eropa. Türkiye tampil bagus beberapa tahun terakhir dengan para pemain mudanya yang berbakat. Sementara Ceko punya pemain-pemain hebat sepanjang sejarah. Sedangkan kami, Georgia, memang tidak diunggulkan tapi kami pantang gentar dan akan memberikan segalanya yang kami punya saat menghadapi Portugal, Ceko, atau Türkiye,” tegas Sagnol, dilansir laman resmi UEFA, Sabtu (8/6/2024).

Baca juga: Keberuntungan Italia di Piala Eropa

Tangis haru Willy David Frédéric Sagnol (kiri) yang meloloskan Georgia ke Euro 2024 (uefa.com)

Merentang Masa Sepakbola Georgia 

Sakartvelo, begitu lidah orang Georgia menyebut nama asli negeri mereka yang artinya “Tanah Bangsa Kartvelia”. Bangsa Kartvelia mendiami wilayah selatan Kaukasus sejak berabad-abad lampau. Pun ketika bangsa itu terpecah jadi tiga kerajaan yang lantas dianeksasi Rusia dan dijadikan sebagai provinsi pada 1801, sebutan itu tetap eksis dengan identitas Sakartvelo guberniya.

Sakartvelo alias Georgia sempat memerdekakan diri dari Kekaisaran Rusia pada 26 Mei 1918 dan menjadi Republik Demokratik Sakartvelo. Namun umurnya pendek. Sebab, pada 1921 Sakartvelo diinvasi Uni Soviet dan sejak itu nama negerinya berubah lebih bernada Slavic, “Gruziya”.

Kendati begitu, negeri tempat kelahiran pemimpin Soviet Joseph Stalin alias Iosif Vissarionovich Dzugashvili –lahir di Gori, Georgia– itu lebih dulu mengenal sepakbola modern ketimbang wilayah-wilayah Soviet lain. 

Baca juga: Luzhniki Ikon Kejayaan Negeri Tirai Besi

Mengutip Stuart dan Philip Laycock dalam How Britain Brought Football to the World, permainan si kulit bundar sudah eksis di Sakartvelo medio 1864 atau setahun setelah Inggris membakukan permainan tersebut seiring berdirinya The Football Associaton (FA). Kala itu sepakbola diimpor langsung oleh para pelaut Inggris yang berlabuh di Poti, kota pelabuhan di timur Laut Hitam.

“Pada zaman-zaman terdahulu Poti jadi tempat mendarat para prajurit Yunani (kuno) tapi bukan lagi dengan membawa helm dan perisai besi, para pelaut Inggris datang membawa permainan sepakbola. Penduduk lokal menyukai permainan yang dimainkan para pelaut Inggris itu dan gairahnya cepat menyebar sampai ke ibukota, Tbilisi. Pasukan Inggris juga tercatat memainkannya bersama masyarakat lokal dalam sebuah periode pasca-Perang Dunia I selama intervensi militer Inggris di Kaukasus,” tulis Laycock.

Walaupun kota pelabuhan Poti diakui sebagai titik nol sepakbola Georgia, tapi bukan di kota itu perkumpulan sepakbola yang kemudian klub resmi pertamanya berdiri, melainkan di Tbilisi. Di kota terbesar itulah berdiri FC Shevardeni berdiri pada 1906 dan FC Comet setahun berselang. Adapun di Poti, klub pertamanya yang berdiri adalah FC Kolkheti pada 1913.

FC Dinamo Tbilisi (jersey putih) saat melakoni laga persahabatan kontra Dinamo Baku pada 1926 (Wikipedia)

FC Shevardeni Tbilisi namun bukan didirikan oleh orang Sakartvelo, tapi digagas pendidik dan tokoh olahraga Ceko bernama Jaroslav Svatoš. Pada akhir abad ke-19 sepakbola juga dikenalkan oleh ekspatriat Inggris di Moskow, Svatoš, yang membawa serombongan pelatih atletik dan senam dari perkumpulan olahraga Sokol ke Tbilisi. Sepakbola jadi salah satu cabangnya dengan Svatoš memprakarsai FC Shevardeni untuk sektor sepakbolanya. 

Di Moskow sendiri, ungkap Erik R. Scott dalam artikel “Soccer Artistry and the Secret Police: Georgian Football in the Multiethnic Soviet Empire” yang termaktub dalam buku The Whole World Was Watching: Sport in the Cold War, sepakbola dikenalkan ekspatriat Inggris pemilik pabrik di akhir abad ke-19. Tetapi di lapangan, identitas nasional Georgia mempunyai makna baru yang tidak selalu sesuai dengan ideologi resmi Soviet. Kesuksesan terbesar sepakbola Georgia pada akhirnya menjadi klaim bukti kemenangan identitas nasionalnya ketimbang kemenangan Soviet.

Penguatan identitasnya dibentuk melalui lahirnya federasi sepakbolanya, Sakartvelos Pekhburtis Pederatsia (SPP) pada 1936. Wadah bersama itu menaungi klub-klub yang sudah berdiri, termasuk Dinamo Tbilisi yang sudah eksis sejak 1926. 

Baca juga: Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah

Meski begitu, baik SPP maupun klub-klubnya tetap berada di bawah ketiak federasi sepakbola Uni Soviet. Dinamo Tbilisi dengan bintangnya, Boris Paichadze, sudah mulai berpartisipasi di Soviet Top League sejak 1937 yang mewakili Georgia berkat dukungan tidak langsung Lavrentiy Beria. Beria juga punya darah Georgia dan beberapa pengurus Dinamo juga pejabat kepolisian rahasia Soviet di Tbilisi.

“Tiga kali ia (Paichadze) mengantarkan Dinamo jadi runner-up liga, tiga kali menjadi urutan ketiga, dan tiga kali ia terpaksa gigit jari di final Soviet Cup. Dalam memoarnya, Paichadze mengaku marah karena di kala itu yang boleh juara adalah tim-tim dari Moskow atau Kyiv dan tim dari Georgia hanya boleh puas jadi juara dua,” tulis Jonathan Wilson dalam Behind the Curtain: Football in Eastern Europe.

Meski begitu, pemain-pemain asal Georgia nyaris tak pernah absen dari skuad timnas Uni Soviet pasca-Perang Dunia II. Scott mencatat, para pemain Georgia punya gaya main “cantik” yang khas sebagai identitas dan kulturnya.

“Sepakbola Georgia punya teknik-teknik yang mempesona dan secara gerakan tarian Georgia, Kurtuli yang khas secara teknis jadi aspek dari repertoar budaya nasional yang sama. Keintiman sepakbola dan tarian budaya itu uniknya juga berjalan dua arah. Tak jarang ada sebuah koreografi tarian tradisional yang menyertakan gerakan mengoper bola di antara para penarinya,” sambung Scott.

Ki-ka: Boris Solomonis Paichadze, Aleksandre Gabrielovich Chivadze, Vladimir Gavrilovich Gutsaev & David Kipiani (nplg.gov.ge/nationaalarchief.nl)

Oleh karenanya, hingga 1980-an para pemain Georgia menghiasi skuad Soviet. Mulai dari Avtandil Gogoberidze, Vladimir Gutsaev, hingga David Kipiani. 

“Saat Uni Soviet debut di Piala Dunia 1058, seperlima skuadnya berasal dari Dinamo Tbilisi, sebuah tren yang terus berlanjut hingga periode Soviet. Pertamakali tim Soviet punya kapten yang tak terafiliasi dengan klub asal Moskow adalah pada 1972 ketika bek Dinamo Tbilisi Murtaz Khurtsilava memegang ban kapten. Kali kedua pada 1980 saat posisi (kapten) diteruskan ke rekan setimnya dari Tbilisi, Aleksandre Chivadze,” tambah Scott.

Uni Soviet akhirnya runtuh pada Desember 1991 tapi setahun sebelumnya, SPP sudah menarik diri dari federasi Soviet dan bertransformasi menjadi Georgian Football Federation (GFF) yang berdiri sendiri. GFF kemudian melamar jadi anggota UEFA dan FIFA yang resmi diterima keduanya pada 1992 sekaligus menjadi era baru bagi persepakbolaan di Tanah Kartvelia.

“Georgia memang jadi salah satu republik pertama (merdeka 9 April 1991, red.) yang menarik diri dari federasi Soviet pada 1990 tetapi sepakbola Georgia gagal mengulangi kesuksesan sebelumnya di era Soviet karena faktor pendanaan saat keikutsertaan di kompetisi internasional makin meningkat,” ungkap Scott dalam ulasan yang berbeda dalam buku Familiar Strangers: The Georgian Diaspora and the Evolution of the Soviet Empire. 

Baca juga: Fasisme Kontra Komunisme di Final Piala Eropa

Seiring GFF berdiri sendiri pada 1990, timnas Georgia pun dibentuk. Timnas Georgia melakoni laga perdananya lewat laga persahabatan kontra Lithuania pada 27 Mei 1990 yang berakhir draw, 2-2. Namun hingga 2024, Georgia acap gagal di kualifikasi Piala Eropa maupun Piala Dunia. Faktor yang menghambat sepakbola Georgia adalah konflik yang tak kunjung usai di Abkhazia dan Ossetia Selatan yang beririsan langsung dengan Georgia pasca-keruntuhan Uni Soviet.  

“Situasinya sangat buruk. Tidak ada listrik, hampir tidak ada apapun di toko-toko. Kami sangat kesulitan kala itu. Di era Soviet, stadion-stadion penuh penonton tapi pada 1990-an hampir mustahil mengembangkan sepakbola di sini dan kami menghadapi tantangan yang berat pula untuk membangun kultur suporter lagi,” kenang kepala PR Dinamo Tbilisi, Levan Gvinianidze, dikutip majalah When Saturday Comes edisi Desember 2011. 

Situasinya kian pelik saat terjadi Perang Rusia-Georgia (1-16 Agustus 2008). Bintang AC Milan asal Georgia, Kakha Kaladze, sampai memohon kepada Silvio Berlusconi, bos AC Milan cum Perdana Menteri Italia (2008-2011), agar turut menghimpun dukungan negara-negara Uni Eropa dan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) demi mengakhiri perang.

“Dunia tidak tahu bahwa berkat intervensi Silvio Berlusconilah yang mengakhiri perang di Georgia dan saya berterimakasih untuk itu. Berlusconi selalu jadi teman baik Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin. Saya tahu Bersluconi menghabiskan lima jam menelefon Putin untuk mencari solusi. Ia membuktikan dirinya sebagai sosok yang sensitif dan kapabel dalam diplomasi, seorang duta perdamaian yang berharga,” tutur Kaladze kepada RTÉ, 1 September 2008. 

Kakhaber 'Kakha' Kaladze (kiri) & Khvicha 'Kvara' Kvaratskhelia (acmilan.com/UEFA)

TAG

sepakbola piala eropa piala-eropa

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Kedatangan Pele ke Indonesia Sebelas Ayah dan Anak di Piala Eropa (Bagian I) Luka Lama Konflik Balkan di Gelanggang Sepakbola Eropa Ketika Pele Dimaki Suporter Indonesia Pele Datang ke Indonesia Aneka Maskot Copa América (Bagian II – Habis) Aneka Maskot Copa América (Bagian I) Hajatan Copa América yang Sarat Sejarah Lebih Dekat Menengok Katedral Sepakbola di Dortmund Singa Mesopotamia yang Menyala