SUATU hari di Surabaya pasca-proklamasi. Pasukan Inggris menyerang Banyuurip, Surabaya. Riet dan suaminya, Boenakim, yang sedang berjaga di pos dekat Pasar Kupang, menyaksikan mereka menembak ke segala arah dengan membabi buta.
Sejak pertempuran pecah, Riet ambil bagian dalam perjuangan sebagai anggota palang merah. Sementara, Boenakim sebagai komandan pos.
“Aduh!” kata Boenakim yang sekonyong-kongyong ambruk. Riet langsung menjerit. Dilihatnya punggung Boenakim berlubang terkena peluru yang menembus lewat dadanya. Darah mengalir dari dada, punggung, mulut, dan telinga Boenakim. Di tengah kepanikannya, Riet terus memberi pertolongan pada suaminya.
Parto, anak buah Boenakim, lantas datang membantu. Riet dan Parto bahu-membahu merawat luka Boenakim. Namun sayang, nyawa Boenakim tak tertolong. Di pangkuan istrinya, Boenakim meninggal pada 11 November 1945 pukul 10.45.
Baca juga: Pemuda di Balik Senjata Berat dalam Pertempuran Surabaya
Sampai di rumah Riet, Kampung Asemjajar, suasana sudah sunyi. Seluruh penduduk kampung mengungsi lantaran takut sewaktu-waktu dibom Sekutu. Pasalnya, kampung sebelah, Asemrowo dan Dupak, sudah dibumihanguskan Sekutu dengan hujan bom.
Setelah satu jam menyiapkan pemakaman hanya bersama Parto, Riet kedatangan empat perempuan tetangga yang membantunya bekerja di dapur. Suara bom dan mortir terus-menerus terdengar di kejauhan. Semua bekerja dengan cemas.
Pukul tiga sore, suara ledakan bom makin menjadi namun hilang setengah jam kemudian. Riet mengira kedua belah pihak kehabisan amunisi. Di saat itulah, anak buah Boenakim berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada komandan mereka.
Menjelang penguburan, suara letusan senjata kembali terdengar. Jenazah Boenakim yang semula akan dimakamkan bersebelahan dengan ibunya, batal dilakukan. Situasi terlalu berbahaya, jalan-jalan ditutup. Satu-satunya tempat aman yang bisa dijangkau adalah kebun milik Riet di dekat sawah.
Baca juga: Soemarsono di Surabaya
amun ketika rombongan baru jalan sekira 100 meter, letusan senjata kembali terdengar. Mereka langsung tiarap dan mencari tempat aman. Keranda terpaksa mereka taruh di tanah. “Karena keadaan inilah jarak dekat antara rumah dan kebon, kami tempuh tak kurang dari satu jam,” kata Riet Boenakim dalam memoarnya, Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi jilid 3.
Malamnya, Riet langsung meninggalkan kampung dan bergabung dengan pejuang lain di Banyuurip. Riet bekerja di dapur umum merangkap juru rawat dan dilibatkan dalam rapat-rapat strategis. Pada hari kelima pasca-kematian Boenakim, Pos Banyuurip diserang. Seluruh pengungsi dan para pejuang pindah ke Kandangan. Riet mengikuti dengan menumpang tank. Setelah Kandangan tak lagi aman, warga Surabaya mengungsi ke berbagai tempat. Riet memilih ke Yogyakarta.
Kembali ke Yogyakarta
Yogyakarta bukan kota asing buat Riet. Ia lahir dan besar di sana. Riet menempuh pendidikan di Neutrale Hollandsche Javanesche Meisjeschool bersama Arini Soewandi, kelak menjadi anggota DPRD DIY 1966/67. Semasa sekolah, Riet dan Arini aktif di kepanduan yang diketuai Pranyoto. “Kami mempunyai idola pemimpin yang sama, yakni Bapak Pranyoto. Orangnya tenang, sabar, dan berwibawa,” kata Arini dalam memoarnya di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi V.
Sekembalinya ke Yogyakarta, Riet langsung aktif di Perwari dan menjadi pengurus ranting Danureja. Mereka lalu membuka kelas penghapusan buta huruf untuk anak-anak kelas bawah dan perempuan dewasa yang belum pernah mengenyam pendidikan Barat. Riet juga aktif menyelenggarakan dapur umum dan mengumpulkan informasi sembari menyamar sebagai mbok-mbok pencari bayam.
Keaktifannya di Perwari tak membuat Riet meninggalkan kepanduan. Kesibukannya makin bertambah setelah menjadi pegawai sipil menengah di bagian pemeriksaan Markas Besar Polisi Tentara Laut pada November 1946. “Tugas sosial Perwari dan kepanduan tetap kukerjakan pada sore harinya, bahkan sampai malam hari,” kata Riet.
Baca juga: Akhir Pertempuran Surabaya
Semasa Ki Mangunsarkoro menjadi Menteri Pendidikan, Riet bekerja di Pendidikan Masyarakat bagian Kepanduan, Pemuda, dan Olahraga. Riet kemudian diperbantukan di Kwartir Besar Putri Pandu Rakyat Indonesia. Banyaknya pelatihan yang diikutinya membuat Riet kemudian diangkat menjadi Komisaris Besar (Andalan Nasional) golongan Kurcaci yang memimpin Pramuka Siaga Putri.
Bersama Eni Karim, Rimmy Tambunan, Otti Adam, dan Mulyati, Riet dilantik menjadi anggota inti Korps Wanita Angkatan Darat dengan pangkat mayor pada 1960. Dari kedua lembaga ini, Riet mendapat banyak ilmu baru dan sering dikirim untuk mengikuti kursus-kursus kepemimpinan, salah satunya pelatihan pandu putri internasional di Australia pada 1971. Terbitan pramuka putri Australia, Matilda, memberitakan kedatangan Riet bersama dua orang perwakilan Indonesia.
Baca juga: Liga Pemuda Pramuka
“Sangat sulit mengenali seorang Letnan Kolonel Nyonya Riet D Boenakim dari Indonesia, mengenakan pakaian nasional dan menampilkan tarian tradisional,” ditulis Matilda, Juli 1971.
Riet terus aktif dalam kepanduan dan militer. Ia menjadi Komandan Detasemen Korps Wanta Angkatan Darat II di Bandung dan menjadi staf Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Kepengurusannya di Perwari juga terus dipertahankannya. Selama lima tahun sejak 1973, Riet menjadi direktris Panti Asuhan Trisula milik Perwari. Keaktifan di militer dan kegiatan sosial Riet menjadi pembunuh sepinya pasca-kematian suaminya. “Aku merasa hidup kembali dan menghirup kesegaran,” kata Riet.