LETNAN Kolonel (Purn) Moekajat tak pernah melupakan kejadian di hari kedua Pertempuran Surabaya. Suasana di garis depan mendadak heboh. Sejumlah mantan anggota PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang melayani senjata penangkis serangan udara, Bofors 40, menembak jatuh tiga pesawat Mosquito milik RAF (Angkatan Udara Inggris). “Termasuk satu pesawat yang berisi seorang jenderal Inggris yang ikut mati di dalamnya,” ujar mantan anggota BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) itu.
Namun, pihak Inggris menampik jika kematian itu disebabkan tembakan pihak Indonesia. “Mereka menyebut Brigjen Robert Guy Loder Symonds tewas akibat pesawatnya mengalami kecelakaan di Lapangan Morokembangan,” kata sejarawan Batara Hutagalung, penulis 10 November 45: Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Peran para pemuda di balik senjata-senjata berat dalam Pertempuran Surabaya tak bisa dinafikan. Sebagai contoh, pada 14 November 1945, pasukan meriam Akademi Militer Yogyakarta pimpinan Mayor Jenderal Suwardi berhasil membombardir Tanjung Perak dengan meriam kaliber 10,5 cm.
“Saat dicek ke lapangan langsung oleh Mayjen Suwardi esok harinya, dia melihat sebuah kapal yang masih merapat di pelabuhan nampak terbakar dan asapnya yang tebal membumbung ke udara,” tulis Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949.
Tembakan artileri itu sempat disitir New York Times, 15 November 1945, sebagai salah satu faktor yang menjadikan Pertempuran Surabaya semakin berdarah-darah. Namun, dalam koran itu pula Inggris menyatakan bahwa untuk menghadapi serangan gencar artileri itu “hanya menggunakan kekuatan minimum.” Inggris juga menyangkal jika kapal yang tertembak di Tanjung Perak miliknya. Itu terbukti dari keterangan dokumentasi foto yang memuat pemandangan akibat pemboman Tanjung Perak di situs Imperial War Museum (IWM): “Bekas kapal tanker Jepang, Osaka Maru, terbakar di dermaga Pelabuhan Surabaya.”
Grup pelayan senjata berat lainnya yang dinilai cukup merepotkan pertahanan Inggris adalah kompi bantuan mortir dari Resimen Sidoarjo. Mereka terdiri dari anggota-anggota eks cudanco (komandan kompi) dan budanco (komandan regu) yang pernah mendapat latihan menggunakan mortir dari Kaigun (Angkatan Laut Jepang). “Posisi mereka ada di belakang Pasar Wonokromo, di bawah pimpinan Kapten Suwarso,” tulis Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya.
Di samping kedua grup itu, ada pula batalion artileri pimpinan Minggu dari Resimen TKR Gajah Mada. Batalion ini memiliki 28 pucuk meriam penangkis serangan udara dalam berbagai kaliber, yang ditempatkan di Karangpilang, Gresik dan sebelah selatan Kali Brantas. Untuk menghindari pesawat pengintai musuh (VCP = Visual Control Post) biasanya mereka beraksi malam hari. Pernah pada suatu siang, grup ini nekad melakukan tembakan ke posisi tentara Inggris. Akibatnya, posisi penembak meriam secara cepat diketahui musuh dan langsung dibungkam oleh tembakan dari sebuah pesawat tempur. “Meriam tersebut ikut hancur bersama awaknya dan ditinggalkan begitu saja di tengah jalan,” ujar Moekajat.
Sejatinya, mayoritas awak penembak senjata berat kurang berpengalaman. Namun, situasi perjuangan menuntut mereka untuk mengendalikannya. Karena kurang pengalaman ini, tak jarang peluru meriam nyasar ke kubu kawan sendiri. Seperti peluru meriam yang mengenai kubu BKR di muka Viaduct.
Lewat radio, Bung Tomo segera memberitahu kepada grup senjata berat tersebut untuk menghentikan tembakan. Celakanya, sambil berseru, Bung Tomo menyebut posisi grup senjata berat tersebut. Akibatnya fatal: grup itu malah dihujani serangan udara Inggris. “Seseorang bernama Isa Idris kemudian dengan cepat bergerak ke tempat Bung Tomo melakukan pidato siaran langsung dan mengingatkan keteledorannya itu,” tulis Nugroho
[pages]