Masuk Daftar
My Getplus

Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno*

Mereka dulu anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang siap mati demi keselamatan Presiden Sukarno. Mereka dari kepolisian.

Oleh: Petrik Matanasi | 18 Okt 2023
Para mantan anggota DKP dan keluarga hadir dalam acara Silaturahmi DKP, 15 Oktober 2023 (Petrik/Historia)

IRAMA musik keroncong mengalun dari salah satu rumah nan asri di sekitar kawasan Limo, Depok, Jawa Barat. Tuan rumahnya, Mayor Purnawirawan Sribusuno, menyapa satu persatu tamu-tamu yang bertandang ke rumahnya pagi, 15 Oktober 2023, itu. Mereka yang datang itu sejawat Sribusuno ketika dulu mengawal Presiden Sukarno.

Selain anak-anak Kombes Mangil Martowidjojo, atasan Sribusuno sekaligus komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP), tampak hadir dalam acara tersebut anak dan menantu Kapten Sogol Djauhari Abdul Muchid. Sogol dikenal sebagai juru cicip makanan dan minuman yang akan disuguhkan kepada Bung Karno agar si Bung tidak keracunan.

DKP merupakan pasukan pengawal lingkar terdalam Presiden Sukarno. Anggotanya tak hanya laki-laki tapi juga perempuan dari Polisi Wanita (Polwan). Para anggota DKP selalu dekat dengan presiden. Sejak awal hingga berakhirnya masa kepresidenan Sukarno, DKP selalu mengawalnya. Komisaris Besar Mangil dan pasukan dari polisi itu mengawal Bung Karno sejak zaman revolusi. DKP selalu ada ketika Presiden Sukarno dalam bahaya.

Advertising
Advertising

Dalam Peristiwa Cikini, 30 November 1957, ketika Presiden Sukarno hendak dilempar granat, anggota DKP bernama Ngationo berjuang melindungi Sukarno agar tidak terkena pecahan granat.

“Ngationo salah satu anggota Polisi Pengawal Pribadi Presiden sedang ditolong oleh dokter, karena dia menderita luka-luka berat di bagian kepalanya. Ternyata Ngationo yang diberitakan meninggal itu masih dapat tertolong dan selamat,” catat Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno.

Tak hanya dalam Peristiwa Cikini, DKP terus berusaha menyelamatkan Sukarno dalam beberapa percobaan pembunuhan yang lain. Seperti dalam peristiwa penembakan di Kompleks Istana saat shalat Idul Adhal, 14 Mei 1962, misalnya. Sebelum shalat dimulai, sebenarnya intel DKP sudah mendapat informasi dari Bogor bahwa ada orang yang hendak membunuh Presiden Sukarno ketika shalat ied tersebut. Namun tidak diketahui yang mana orangnya. Lantaran peralatan zaman itu tidak secanggih sekarang dan si calon penembak tidak terdeteksi, si calon penembak berhasil mendapat shaf agak depan hingga dekat dengan presiden. Di dekat presiden saat itu ada Sribusono bersama Musawir, Daryat, dan Susilo; semua dari DKP. 

Begitu waktunya dianggap tepat, si penembak nekat beraksi. Namun bukan presiden yang kena, melainkan Daryat dan Susilo. Daryat terluka dan Susilo yang tertembak kupingnya.

“Kemudian saya membantu Pak Musawir menangkap penembaknya,” kenang Sribusono.

Setelah Peristiwa Idul Adha itu, penjagaan Sukarno diperkuat. KSAD Jenderal AH Nasution membuatkan Resimen Tjakrabirawa usai melewati beberapa penolakan dari Sukarno. DKP dimasukkan ke dalam Tjakrabirawa. Selain DKP dari polisi dan Detasemen Pengawalan Chusus dari Corps Polisi Militer (CPM), terdapat pula 4 Batalyon Kawal Kehormatan yang berasal dari pasukan pilihan dari masing-masing angkatan. Batalyon-batalyon ini menjaga di ring terluar.

DKP terdiri dari personel terpilih. Ada yang diambil dari Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) —yang ini menjadi Intelkam Polri, seperti Sribusono dan Estiningsih Basuki Suyoto. Ada pula yang diambil dari Brigade Mobil (Brimob) dan Resimen Polopor (Menpor). Sudarno, ketika direkrut baru saja selesai pelatihan Brimob di Porong. Dari Porong, ada 28 orang yang diambil masuk DKP. Selain Sudarno ada Soemadyo yang anggota Menpor dengan spesialisasi penembak jitu. Mereka berasal dari berbagai suku di Indonesia.

Dalam DKP di Tjakrabirawa itu, tetap diikutsertakan personel perempuan. Rochayati menjadi perempuan pertama yang masuk ke DKP.

“Mengapa Rochayati yang dipilih? Karena Almarhumah Rochayati itu jago judo. Jadi pinter sekali judo,” aku Estiningsih, mantan DKP lainnya.

Selain Estiningsih ada pula jago judo lain, yakni Iswandari. Iswandari merupakan istri Daryat yang dadanya tertembak dalam Peristiwa Idul Adha.

Namun, kisah tentang kesetiaan para anggota DKP berubah 180 derajat usai Peristiwa G30S. Setelah G30S 1965, kekuasaan Presiden Sukarno melemah. Kebetulan ada 60 anggota Tjakrabirawa yang terlibat dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 itu. Namun ke-60 anggota Tjakrabirawa yang terlibat itu berasal dari Angkatan Darat dan mereka berada dalam komando Letnan Kolonel Untung yang juga dari Angkatan Darat.

“Memang dulu ada kejadian G30S. Di luaran terkenal yang terlibat itu orang Tjakrabirawa. Sebenarnya kita ini orang DKP, Detasemen Kawal Pribadi, yang dipimpin Bapak Mangil Almarhum tidak terlibat sama sekali,” terang Sribusono.

Kini, para mantan DKP dan juga anak-anak mereka berusaha menjaga silaturahmi mereka. Tak hanya antar-mereka, tapi juga dengan orang-orang yang dulu mereka jaga. Setiap kali ada acara, mereka selalu berusaha mengundang Megawati Sukarnoputri, Guntur Sukarnoputra atau anak-anak Sukarno-Fatmawati yang lain.

* Tulisan ini merupakan pengantar dari serial tulisan "DKP (Detasemen Kawal Pribadi)" yang akan dimuat Historia.id beberapa waktu ke depan.

TAG

dkp tjakrabirawa sukarno bung-karno peristiwa cikini

ARTIKEL TERKAIT

Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Kata DKP Prabowo Bersalah Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower Kopral Hargijono Tak Sengaja Menembak Ade Mukidjan Bukan Tjakra