MEMASUKI tahun 1947, serbuan tentara Belanda makin menggila di Medan Area. Hampir setiap hari pesawat pemburu mereka mondar-mandir keliling kota Medan. Tembakan dari udara menghujani kubu-kubu pasukan Republik, khususnya yang berada di front barat. Di sini, banyak orang-orang Aceh yang tergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA)
“Pada tanggal 5 Januari 1947, mereka membom serta menghujani Sungai Semayam dengan tembakan dan serangan-serangan dari udara. Serangan udara Belanda datang secara bertubi-tubi tanpa mengenal ampun,” ujar Nukum Sanany kepada penulis B. Wiwoho dalam Pasukan Meriam Nukum Sanany.
Serangan udara Belanda mengakibatkan korban berjatuhan. Dua orang luka-luka berlumuran darah dan seorang lainnya tewas. Prajurit yang gugur itu bernama Kopral Suparman yang berasal dari Batalion IX.
Baca juga: Gerilyawan Aceh di Medan Area
Kapten Nukum Sanany, komandan pasukan meriam RIMA memutuskan memindahkan basis pertahanan dari Sungai Semayam ke Kampung Lalang. Untuk menghindari serangan udara musuh, kubu pertahanan diperkuat dengan membuat parit-parit dan benteng. Pada saat-saat demikian, terjadilah suatu lelucon di tengah perang.
Seorang prajurit bernama Hasan Cumbok bikin ulah. Pangkatnya sersan satu dan bertugas sebagai komandan meriam ukuran pucuk 13 ponder. Sebagaimana dicatat Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area, sebelum bergabung dengan pasukan meriam, Hasan pernah menjadi pasukan Heiho di zaman Jepang. Prajurit Aceh asal Pidie ini berpendidikan rendah namun wataknya keras nan berani.
Sekali waktu Hasan Cumbok nekat membawa meriam ukuran 18 ponder kaliber 7,5 ke Sungai Sikambing. Tanpa instruksi komandannya, Hasan langsung melepaskan sebanyak dua kali dengan jarak maksimal. Hasan menargetkan markas tentara Belanda akan hancur lebur kena hantam meriamnya.
Baca juga: Alkisah Kompi Parang Berdarah
Menurut Nukum Sanany, Hasan belum begitu lama mengikuti latihan menembak meriam sehingga kurang menguasai sepenuhnya teknik pengoperasiannya. Dalam aksi solonya itu, Hasan mengabaikan berbagai hal, mulai dari cara bidik, mengukur jarak tembak, elevasi, dan koordinat tembakan. Tidak ayal, tembakannya melampaui sasaran.
Alih-alih mengenai tentara Belanda, tembakan Hasan malah nyasar ke kawan sendiri. Peluru-peluru meriam jatuh di kota Matsum dan Tembung. Dua kawasan ini merupakan kubu pertahanan Republik yang berada di front Medan Timur.
“Sebagai Komandan, bukan alang kepalang marah saya menyaksikan kelancangannya. Namun demikian saya berusaha menahan sabar seraya memaklumi kegelisahan anak-anak anggota pasukan yang belum terlatih betul,” kenang Nukum Sanany.
Laporan dari komandan seksi Hasan menyebutkan bahwa Hasan ingin membalas dendam karena menyaksikan rekan-rekannya diterjang peluru pesawat pemburu Belanda. Dia tidak peduli perintah komandan, tidak peduli koordinasi, tak peduli strategi dan taktik. Emosinya yang meluap menyingkirkan akal sehat.
Baca juga: Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang
“Yang penting hutang nyawa dibayar nyawa, hutang darah dibayar darah. Kalau lawan bertolak pinggang kita pun harus melakukan hal yang sama,” kata Amran Zamzami sang komandan seksi.
Pada 8 Januari 1947, persiapan parit-parit dan kubu pertahanan pasukan meriam di Kampung Lalang rampung. Namun kisah Hasan dan meriamnya tetap menjadi pembicaraan yang menggelikan di kalangan pasukan meriam. Di kemudian hari, apa yang dilakukan Hasan Cumbok ini menjadi bahan tertawaan dan ejekan terhadap Pasukan Artileri RIMA.
Baca juga: Jenderal Spoor Tewas di Sumatera?