Masuk Daftar
My Getplus

Terbentuknya Peradaban Kepulauan

Inilah ciri-ciri peradaban kepulauan Nusantara. Masihkah kita punya?

Oleh: Risa Herdahita Putri | 28 Mar 2019
Kapal bercadik layar ganda di relief Candi Borobudur. (Wikipedia).

Para penutur Austronesia yang berlayar ke berbagai tempat yang jauh selalu kembali ke tempat asalnya (homeland). Ada proses migrasi balik. Terciptalah jejaring tanpa melupakan asalnya. Proses globalisasi ini hanya bisa terjadi dengan teknologi kelautan yang maju. 

“Mereka tidak pernah betul-betul terpisah tapi kembali kepada hubungan di antara mereka. Dengan cara ini mereka menjalin jaringan yang tidak pernah putus dengan asalnya,” kata Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gajah Mada.

Mereka pun menjadi perantara pertukaran jarak jauh berbagai komoditas. Awalnya jejaring mereka untuk menjamin ketersediaan barang dan jasa. Dengan melibatkan banyak pihak, kemudian menumbuhkan watak partisipatoris.

Advertising
Advertising

Menurut Daud, hal itu yang memunculkan peradaban kepulauan, yaitu bukan semata-mata kepada laut, tapi keseimbangan daratan dan lautan. Karenanya orang Indonesia sering menyebut tempat hidupnya sebagai tanah air. “Bukan father land dan mother land? Tanah dan air adalah kesatuan tidak bisa dipisahkan,” ujar Daud.

Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar

Terkait dengan itu, Daud berpendapat, sebetulnya Indonesia merdeka dua kali: 17 Agustus 1945 merdeka secara teritorial daratan dan 13 Desember 1957 dengan Deklarasi Juanda menandai merdekanya perairan Indonesia. 

“Jadi ada dua tahapan seperti itu, tapi ini barangkali tentu saja bukan pandangan yang biasa, karena 17 Agustus lautnya masih sebagian internasional bukan milik Indonesia,” kata Daud.

Pengaruh Majapahit

Karakter lainnya, sebagai komunitas penjelajah, bangsa Austronesia lebih mengutamakan kuasa kelola daripada kuasa terhadap suatu wilayah. Ini muncul dalam sikap politis Majapahit. Kerajaan itu tak pernah benar-benar menguasai teritorial. Namun pengaruhnya begitu luas sebagaimana disebut dalam Kakawin Nagarakrtagama. 

“Jadi peradaban kita itu menundukkan dengan pengaruh bukan menjajah. Ia (Majapahit, red.) kemampuannya mengelola tidak perlu teritorial,” jelas Daud. 

Mereka juga punya sikap multikultur. Sikap toleran tetapi tetap memegang kecerdasan lokal (local genius). Sebabnya mereka selalu dalam kondisi persilangan budaya. Hal ini tampak dari hasil budaya materinya, misalnya pura di Bali, wayang Tiongkok-Jawa, dan arsitektur menara Masjid Kudus.

Baca juga: Toleransi Beragama ala Sunan Kudus

Ciri peradaban kepulauan lainnya, kata Daud, adanya harmoni antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Sebagai bangsa penjelajah, kehidupan para penutur Austronesia seringkali menghadapi bahaya. Mereka harus membaca alam sebagai petunjuk.

“Itu masih banyak ditemui di masyarakat tradisional kita,” kata Daud. 

Terakhir, Daud menegaskan bahwa peradaban kepulauan tidak pernah lupa kepada daratan. “Kalau hanya fokus pada laut kita akan mengalami kegagalan. Jika sedang getol memperkuat di laut, jangan lupa daratan,” ujar Daud.

TAG

Austronesia Majapahit

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Dua Arca Ganesha di Pameran Repatriasi Satu Rumpun Bahasa Ketika Rahib Katolik Bertamu ke Majapahit Jejak Kejayaan Raja-raja Jawa Semerbak Aroma Sejarah Pencegah Bau Ketiak Raja-Raja Jawa dalam Lintasan Masa Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog Sihir Api Petir dari Meriam Majapahit Epos Majapahit Lebih Seru dari Game of Thrones Kemenangan Raden Wijaya Mengusir Pasukan Mongol