KEBERHASILAN Pajang menguasai Demak berujung duka. Pihak yang kalah terpaksa menerima segala titah penguasa baru. Memang tidak selamanya buruk. Namun tidak pula diterima begitu saja. Semangat penolakan dari rakyat Demak masih terasa di sebagian daerah. Meski akhirnya mereka tersingkir hingga ke tepi laut.
Setelah memastikan penetapan kekuasaan atas bekas wilayah Demak, Pajang mulai bertindak agresif terhadap bekas penduduk Demak. JJ Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Jaavanse Rijkskroniek menyebut jika segala perlawanan para penguasa bekas bawahan Demak berhasil ditumpas oleh Pajang. Hingga tidak ada seorang pun yang berani melakukan perlawanan, kecuali Jipang.
Baca juga: Dua Wali dalam Konflik Demak
Tindakan memasukan bekas rakyat Demak ke Pajang tidak berjalan lancar. Banyak penguasa dan priyai Demak yang menolak Pajang. Mereka lebih memilih melarikan diri dan hidup mandiri, ketimbang ada di bawah kuasa Jaka Tingkir, raja Pajang. Ke mana rakyat Demak itu pergi? Mereka berlayar menuju wilayah Palembang, Sumatera Selatan. Diperkirakan sampai sebelum 1572.
“Tatkala negeri Demak dikalahkan oleh Sultan Pajang, maka banyaklah raja-raja dan priyai yang lari, maka yang masuk ke Palembang bernama Gedeng Sura,” tulis Roo de la Faille dalam Dari Zaman Kesultanan Palembang.
Lantas mengapa Palembang yang dipilih oleh para pelarian itu sebagai tempat menetap? Alasannya adalah kota bekas wilayah milik Sriwijaya itu pernah bekerja sama dengan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah (1500-1518) dalam rencana penyerangan terhadap wilayah Malaka. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, Demak yang sedang berusaha menjadi kekuatan maritim, meminta bantuan Palembang untuk memukul Portugis dari Malaka.
“Negeri Palembang merupakan negeri terbaik yang dimiliki oleh Pate Rodim (Raden Patah), bahkan melebihi negerinya sendiri. Namun negeri ini telah dihancurkan oleh kita (Portugis). Rakyat Palembang berperang di Malaka secara terpaksa dan kini mereka semua tewas,” ucapnya.
Baca juga: Raja Demak Terakhir Dimakamkan di Banten
Embrio Kesultanan Palembang
Ki Gedeng Sura dan para Priyai Demak dikisahkan berhasil mendarat di Palembang. Mereka tiba ketika kekuatan Kerajaan Palembang telah melemah pasca serbuan ke Malaka. Menurut HJ De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Ki Gedeng Sura berasal dari Surabaya. Ia dahulu mengabdikan dirinya kepada Demak. Ketika kerajaan itu jatuh, Ki Gedeng Sura memilih untuk pergi ketimbang tunduk di hadapan Pajang.
Dari hasil penelitian De Graaf, Ki Gedeng Sura telah membangun pemerintahan di Palembang sejak 1572. Ia memegang kekuasaan tertinggi di dalam pemerintahannya itu. Namun De Graaf tidak menyebut nama kerajaannya. Sehingga diperkirakan jika kekuasaannya ada pada cakupan yang tidak terlalu besar. Agama kerajaan itu kemungkinan besar bercorak Islam, jika melihat latar belakang Ki Gedeng Sura.
Keberadaan orang-orang dari Jawa dalam pemerintahan di Palembang diperkuat oleh tulisan pejabat Belanda Willem van Thijen, “De Instructie door Willem van Thjien, opperhoofd van Palembang voor Zijn opvolger Sr. Willem Bolton” dalam De Graaf. Thijen menyebut jika orang-orang ini terdesak oleh suatu kekuatan sehingga mereka terpaksa menetap di Palembang.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Palembang
“Penduduk kerajaan ini berasal dari Jawa. mereka baru tinggal seratus tahun di sana. Pada abad ke-16, antara putra-putra bupati tertinggi yang sudah meninggal di Jawa, timbul persengketaan yang meluas sedemikian rupa, sehingga putra yang pertama atau yang tertua berhasil meraih gelar Susuhunan atau Kaisar bagi dirinya, dan merampas daerah milik adik-adiknya,” tulis Thijen.
Seorang penguasa yang wilayahnya terampas, lanjut Thijen, mengumpulkan sejumlah besar pengikut yang masih bertahan. Mereka pun terpaksa melarikan diri ke laut karena tidak ada lagi tempat bernaung yang aman. Penguasa dari Jawa mula-mula membangun kekuasaannya di pesisir. Semenjak itu jumlah penduduknya semakin bertambah.
Kerajaan baru itu tidak hanya dihuni oleh orang-orang dari Jawa saja tetapi juga penduduk Sumatera. Ki Gedeng Sura diketahui secara terbuka menampung banyak pelarian dari daerah-daerah sekitar yang ingin mencari tempat aman dari tempat tinggal mereka sebelumnya.
Baca juga: Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara
“Jadi berita Belanda tersebut mendukung cerita tutur tentang pelarian melalui laut yang dilakukan oleh para pendiri dinasti Palembang, karena takut akan kekerasan tindakan Pajang,” ucap De Graaf
Pada 1596 Kesultanan Banten melakukan penyerangan ke Palembang. Sultan Banten, kata De Graaf, mendapat nasihat dari seorang pengembara yang mengaku sebagai keluarga Sultan Demak di masa silam. Menurut Si Musafir, Palembang masih dikuasai oleh kafir sehingga Banten harus menaklukannya agar Islam berkembang pesat di sana. Di samping kejengkelan Si Musafir terhadap Ki Gedeng Sura yang sudah tidak pernah memberikan sembah puja (upeti) kepadanya.
Serangan Banten terhadap Palembang berhasil menjatuhkan kekuatan di sana. Islam pun akhirnya dapat berkembang lebih pesat di bawah kuasa Kesultanan Banten. Tidak lama kemudian dibangun pemerintahan baru, yakni Kesultanan Palembang. Para pemimpinnya tercatat sebagai keturunan Ki Gedeng Sura dan para pelarian Demak.
Baca juga: Demak Mengislamkan Banten