SUNGAI Musi dengan Jembatan Amperanya kini merupakan ikon kota Palembang bersama pempek. Sungai sepanjang 750-an kilometer itu telah lama menjadi urat nadi kehidupan kota teramai di bagian selatan Sumatra itu. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga hari ini.
“Lokasi ibukota Sriwijaya dekat dengan Kota Palembang sekarang, tepatnya di pinggir Sungai Musi. Sriwijaya mengalami perkembangan secara terputus-putus antara abad ke-7–ke-13, walaupun tidak selalu berpusat di Palembang,” tulis Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe: Dari Marco Polo sampai Tan Malaka.
Peran penting itu terus berlanjut hingga ketika Sriwijaya telah runtuh. Di zaman Kesultanan Palembang, kota ini sudah terkenal ramainya.
“Kota ini terletak di daerah berawa yang datar, beberapa mil di atas delta sungai, sekitar enam puluh mil dari laut, namun begitu jauh dari pegunungan di pedalaman sehingga tidak terlihat. Membentang sekitar delapan mil di sepanjang kedua tepian sungai,” catat William Marsden dalam History of Sumatra.
Baca juga: Tanpa Pajak, Palembang Kaya
Marsden (1754-1836) adalah pejabat Inggris yang ditempatkan di Bengkulu tahun 1771-1779. Ketika menjabat itulah dia mengunjungi beberapa tempat di Sumatra.
Sungai Musi merupakan sarana penting bagi perekonomian masyarakat dan kesultanannya. Selain menjadi sumber makanan penduduk, Sungai Musi juga jalur transportasi. Berkat Sungai Musi, kapal-kapal dari luar kesultanan bisa memasuki pelabuhan kota Palembang sehingga perdagangan bisa terjadi. Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, Merle Calvin Ricklefs menyebut di zaman Sultan Abdul Rahman (1662-1706), kesultanan bisa kaya karena lada meski VOC memonopoli perdagangan lada di sana juga.
“Palembang muncul kembali dalam wujud kesultanan Islam di bawah pengaruh Jawa, dan kondisi perekonomiannnya kembali bangkit pada abad ke-16 berkat pengiriman hasil panen lada oleh petani lada Minangkabau ke pasar Palembang melalui Sungai Musi. Hal itu berhasil menarik perhatian pembali lada dari Cina, Portugis, Belanda, dan Inggris,” tulis Reid.
Baca juga: Orang Hulu Kuasai Kota Palembang
Di masa pra-abad ke-19, bentuk rumah di Palembang dipengaruhi oleh alam sekitarnya yang dipenuhi hutan dan rawa.
“Bangunan-bangunan, kecuali istana raja dan masjid, semuanya terbuat dari kayu atau bambu yang berdiri di atas tiang-tiang dan sebagian besar ditutupi dengan daun palem,” catat Marsden.
Selain rumah-rumah di atas tanah, ada pula bangunan-bangunan terapung di atas air dengan rakit bambu. Bangunan-bangunan terapung itu ada yang rumah, ada juga berupa toko. Rumah dan toko terapung itu biasa berpindah-pindah. Pemiliknya bisa berpindah ke daerah aliran sungai lain berdasarkan keadaan.
Sewaktu Marsden ke Palembang, kota itu belum punya banyak jalan raya. Palembang, katanya “dipenuhi air pasang” dan “hampir tidak ada jalan raya.” Perahu menjadi alat transportasi penting saat itu. Setelah kuasa Belanda menguat dan Kesultanan Palembang melemah, pemerintah Hindia Belanda menjadikan bekas pusat Kesultanan Palembang sebagai Gemeente (kotapraja) pada 1919.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Palembang
Namun, Palembang menyimpan potensi negatif. Setidaknya untuk ukuran pejabat Belanda, kota ini dianggap tertinggal.
“Kota air bekas kesultanan ini menyimpan bahaya besar bagi kelangsungan kota itu sendiri. Persoalan pertama, kota ini mengalami kesulitan terhadap ‘tanah tinggi’, sebab masyarakat lokal yang tinggal ‘di atas air’ semasa hidupnya, kemudian di mana ‘matinya’ justru berdiam di tanah tinggi,” catat Dedi Irwanto Muhamad Santun dalam Venesia Dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang Dari Kolonial Sampai Pascakolonial.
Sejak awal zaman kesultanan, tanah lebih banyak dijadikan kuburan oleh masyarakat setempat. Masalah lainnya adalah air bersih untuk kota. Ketika air sungai surut, air yang ada keruh dan kotor.
Lahan baru di daratan pun terus dibuka, hingga makin meluas. Thomas Karsten membantu pemerintah membuat masterplan perencanaan kota. Orang-orang Belanda kemudian membangun perumahan modern untuk orang Eropa di Palembang. Dedi Irwanto menyimpulkan, Belanda mengubah ruang air menjadi ruang daratan di kota itu. Pejabat pemerintah kotapraja setidaknya melakukan penimbunan terhadap Sungai Tengkuruk.
Baca juga: Cheng Ho dan Bajak Laut Buronan di Palembang
Meski masih ada rumah-rumah rakit di sekitar pesisir sungai, makin lama makin banyak rumah di dalam kota. Pertokoan di atas rakit tentu kini tak populer lagi sebab ada banyak pertokoan di Pelembang. Di sisi utara sungai Musi dan Benteng Kuto Besak, ada beberapa pusat perbelanjaan yang sambung-menyambung. Di antara pertokoan yang dekat dengan sungai adalah Pasar 16. Tepi sungai di dekat pasar dijadikan pelabuhan kecil angkutan barang.
Sebagai pusat kesultanan, di Palembang terdapat keraton dan istana. Di sanalah sultan dan keluarganya tinggal.
“Bagian dalam atau istana dikelilingi oleh tembok tinggi, interiornya tidak diketahui oleh orang Eropa, tetapi bagian dalamnya tampak besar, tinggi, dan banyak hiasan di bagian luar,” catat Marsden.
Daerah tertutup kesultanan itu dikenal sebagai Benteng Kuto Besak, yang letaknya sangat dekat dengan tepi Sungai Musi. Letak bekas istana itu bersebelahan dengan rumah residen Palembang dan kini tidak jauh dari Jembatan Ampera.*