Masuk Daftar
My Getplus

Gugurnya Pahlawan Majapahit

Lembu Sora menjadi tumbal perebutan kursi di Kerajaan Majapahit.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 21 Jul 2018
Gapura Bajang Ratu pada 1929 sebelum dipugar. Foto: Wicher Gosen Nicolaas van der Sleen/Tropenmuseum.

LEMBU Sora tengah menjadi buah bibir di istana Majapahit. Kelakuannya menimbulkan pro-kontra, terutama di antara para menteri. Dia telah menikam Kebo Anabrang hingga tewas yang tengah melawan biang keladi pemberontakan, Ranggalawe. Sebab, dia tak tahan melihat keponakannya itu kelejotan tak beradaya dipiting Kebo Anabrang.

Sudah lima tahun berlalu sejak peristiwa itu. Namun, Sang Prabu Wijaya seakan tak pernah ambil pusing dengan tindakan Lembu Sora. Padahal, kalau menurut undang-undang Kutaramanawadharmasastra, yang dijadikan pegangan dalam pemerintahan Majapahit, Lembu Sora mestinya dihukum mati berdasarkan pasal astadusta.

Kasak-kusuk itu lama kelamaan sampai ke telinga raja. Wijaya mendengar, semua orang tengah bergunjing soal dirinya yang membiarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Dia dituding berlaku tak adil. Lembu Sora bisa saja dianggap pemberontak karena perbuatannya. Sang Kertarajasa pun diam-diam gundah karenanya.

Advertising
Advertising

Di sisi lain para menteri menyadari kegudahan padukanya. Patih Nambi mendengar, sang raja sebenarnya punya niatan mencopot Lembu Sora dari kedudukannya sebagai Rakryan Patih Daha. Jabatan itu bakal diberikan kepada Kebo Taruna, putra mendiang Kebo Anabrang.

Sementara itu, Kebo Taruna yakin kalau sang raja gundah bukan karena gunjingan para menteri terhadapnya. Sepemahamannya, baginda sebenarnya masih begitu sedih dengan kematian Kebo Anabrang.

Lembu Sora sendiri akhirnya berprasangka kalau Kebo Taruna berniat membalas kematian ayahnya. Sudah pasti jika itu terjadi, dia akan meminta bantuan Nambi. Lembu Sora yang sedih mendengar dasas-desus itu, bersama dengan kawannya, Juru Demang dan Gajah Biru, memilih mati.

Apa yang oleh sejarah dicatat sebagai pemberontakan Lembu Sora sebenarnya terjadi di tengah luapan prasangka buruk para pejabat Majapahit. Huru-hara itu hanya berselang lima tahun usai pemberontakan Ranggalawe berhasil ditumpas. Serat Pararaton mencatatnya terjadi pada 1300 M.

Sama seperti sebelumnya, kekisruhan ini tak disebut dalam Nagarakrtagama. Namun, dipaparkan rinci dalam Kidung Sorandaka.

Usai prasangka buruk itu merebak, hubungan Lembu Sora dan Wijaya tak pernah lebih buruk lagi. Teks Panji Wijayakrama menunjukkan betapa hubungan kedua orang itu tak terpisahkan. Terutama, itu sejak pertempuran mereka melawan serbuan penguasa Glang Glang, Jayakatwang, ke Singhasari.

Dalam berbagai kesempatan, Lembu Sora selalu memberikan nasihat bijak kepada Wijaya. Serangan balik malam hari terhadap tentara Glang Glang yang menduduki Singhasari juga atas saran Lembu Sora. Dalam serangan itu, Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Kertanagara, Tribuwana.

Lembu Sora juga yang menahan Wijaya ketika berkeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara lainnya yang masih tertinggal dalam pura. Dia menasihati agar Wijaya dan Tribuwana menyelamatkan diri. Tentara Kadiri jauh lebih besar jumlahnya daripada sisa tentara Singhasari.

Pun ketika mereka akhirnya memutuskan mengungsi ke Madura Timur untuk minta bantuan Bupati Wiraraja. Semua itu atas nasihat Lembu Sora. “Sora menasihati, melanjutkan peperangan berarti bunuh diri. Seperti laron memasuki api,” tulis Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan.

Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaannya baik dalam persiapan mendirikan Majapahit maupun dalam perlawanan terhadap Jayakatwang dan pasukan Mongol.

“Berdasarkan hal-hal itu, sudah selayaknya Sora menjadi kekasih Raja Kertarajasa dan menduduki tempat terhormat dalam pemerintahan,” lanjut Slamet. Karenanya, pastilah bukan tanpa sebab jika kemudian Lembu Sora dikucilkan. Prasangka itu sengaja diembuskan. Lembu Sora menjadi korban iri hati.

Kalau di kisah Mahabarata ada tokoh Sengkuni, maka dalam kisah ini tukang adu domba adalah Mahapati, menteri di pemerintahan Wilwatikta. Namanya disebut dalam Kidung Sorandaka dan Serat Pararaton. Dia punya nafsu besar menjadi patih amangku bumi, jabatan yang diduduki Nambi. Namun, dia belum menemukan kesalahan Nambi.

Mahapati kemudian menarget Lembu Sora. Pasalnya, jika Nambi jatuh, Lembu Sora paling mungkin menggantikannya. Dia sadar hubungan Lembu Sora dan Prabu begitu rekat.

Karena itu, kata Slamet, sebelum menjalankan siasatnya, Mahapatih berusaha bersahabat dengan para menteri. Dia juga menjadikan dirinya kepercayaan sang prabu.

“Dia mencari kesempatan baik untuk menyingkirkan Lembu Sora, dengan alasan dia telah membunuh Mahisa Anabrang,” tulis Slamet.

Tak ayal, raja, para mentri, termasuk Nambi dan Kebo Taruna terkena hasutannya. Tanpa tahu niat jahat Mahapati, raja mempercayakan kepadanya sebuah surat untuk Lembu Sora. Lewat surat itu raja berkata kalau berdasarkan undang-undang Kutaramanawa, Lembu Sora harus dihukum mati. Namun, dia dibebaskan dari hukuman mati mengingat jasanya. Sebagai gantinya dia akan asingkan ke Tulembang.

Setelah membaca surat itu, Lembu Sora menyampaikan jawabannya secara tertulis pula. Isi suratnya menyatakan masih menaruh cinta bakti kepada raja. Dia bersedia menyerahkan jiwa raga di hadapan sang prabu. Dia takkan membantah. Surat itu, dia titipkan pula pada Mahapati. Namun, Mahapati melaporkan kepada sang prabu bahwa Lembu Sora dan kawan-kawannya akan berkhianat.

Kedatangan Lembu Sora dan pengikutnya ke istana ditolak. Mereka malah diserang tentara Majapahit yang disiapkan Nambi. Akhirnya, Wijaya lagi-lagi harus kehilangan pahlawannya. Dalam pertempuran itu, Lembu Sora gugur bersama pengikutnya.

Mahapati pun tersenyum. Ambisinya sebentar lagi terpenuhi.

Baca juga: 

Ranggalawe Melawan Majapahit
Pemberontakan Terhadap Majapahit

TAG

Majapahit Pemberontakan Lembu-Sora Raden-Wijaya Ranggalawe Mahapati

ARTIKEL TERKAIT

Serdadu Württemburg Berontak di Semarang Maddasim Dibacok Polisi Selamatkan Negarakertagama dari Aksi KNIL Kekecewaan Pasukan Pembela Keadilan Pemberontakan yang Gagal di Akhir Tahun Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno Akulturasi Budaya dalam Naskah Pegon Pemburuan Terhadap Guru Agama Naskah Pegon Tertua di Jawa Memahami "Preman" yang Diberantas Gajah Mada