REVOLUSI industri yang berlangsung sejak paruh kedua abad ke-18 tak hanya merangsang pertumbuhan sejumlah kota di Inggris, yang mendorong perpindahan ribuan penduduk dari wilayah pedesaan ke kota-kota besar. Revolusi industri juga memicu persoalan baru, salah satunya berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan warga kota yang timbul akibat kepadatan penduduk.
Seiring dengan pertumbuhan kota yang semakin besar, limbah yang dihasilkan dari berbagai aktivitas di dalamnya juga bertambah. Limbah tak hanya memicu munculnya bau tidak sedap, tetapi juga mendorong pertumbuhan tikus, hama yang umum selama revolusi industri. Tikus membawa penyakit yang mematikan sehingga banyak keluarga kaya di Inggris berlomba-lomba mempekerjakan penangkap tikus untuk membasmi hewan pengerat yang merepotkan ini.
Para penangkap tikus kebanyakan pria dewasa atau anak laki-laki. Mereka dibayar berdasarkan jumlah tikus yang berhasil ditangkap atau dibunuh. Menurut Margo DeMello dalam OnA the Job: An Encyclopedia of Unique Occupations around the World, pada masa pemerintahan Ratu Victoria, menangkap tikus dianggap sebagai pekerjaan menarik bagi orang miskin, dan tikus dianggap sebagai simbol kemiskinan, kebiadaban, dan kriminalitas (dan kemudian penyakit). Karena penghasilan yang didapatkan para penangkap tikus didasarkan pada jumlah tikus yang ditangkap, maka para penjerat ini mencari cara-cara yang jitu untuk menangkap kawanan tikus.
Baca juga:
Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa
“Para penangkap tikus membuat racun mereka sendiri, yang mereka jual di jalan, dan untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan, mereka sering melakukan atraksi meracuni tikus di depan banyak orang. Untuk menangkap tikus hidup, mereka menarik perhatian hewan pengerat itu dengan mengoleskan zat berbau manis di tangan mereka, dan ketika tikus mendekat, mereka menangkapnya. Tak sedikit juga penangkap tikus yang memelihara, dan seringkali mengembangbiakkan anjing terrier dan musang untuk membantu pekerjaan mereka,” tulis DeMello.
Kendati dianggap sebagai pekerjaan menarik bagi orang-orang miskin, kehadiran para penangkap tikus dibutuhkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan dan kelas sosial. Pihak kerajaan bahkan memiliki penangkap tikus sendiri yang secara khusus bekerja untuk sang ratu. Penangkap tikus profesional itu bernama Jack Black.
Kendati pekerjaannya kerap dipandang sebelah mata karena berurusan dengan hama yang menjijikan, Jack tahu betul posisinya sebagai penangkap tikus profesional yang dipekerjakan oleh Kerajaan Inggris membuatnya bersikap dan berpenampilan seperti orang penting. Lisa T. Sarasohn menulis dalam Getting Under Our Skin: The Cultural and Social History of Vermin bahwa Jack mengenakan selempang yang dihiasi dengan ornamen tikus yang dibuat dari tembaga. Pada selempang itu juga tertulis huruf “V-R”, singkatan dari Victoria Regina. Seiring dengan meningkatnya popularitas pekerjaan menangkap tikus di kalangan masyarakat pada abad ke-19, nama Jack Black pun ikut naik daun.
Jack memulai kariernya sebagai penangkap tikus sejak masih kecil sekitar tahun 1800, dengan menangkap tikus di sekitar Regent’s Park, yang saat itu masih berupa padang rumput dan ladang. Dia pernah tiga kali hampir mati karena gigitan tikus. Namun, ketika ia mulai memperjualbelikan tikus yang ditangkapnya di tahun 1830-an, Jack telah belajar cara menanganinya.
“Menyadari bahwa ia dapat memeroleh keuntungan dari hewan yang dianggap hama itu, baik dengan membunuh maupun menjual tikus, Jack membuat kostum dan mulai menjual racun tikus di gerobak. Untuk menarik perhatian publik, ia juga melakukan pertunjukan dengan menaruh tikus di dalam kemeja atau di dalam saku mantel dan celana, membiarkan tikus-tikus itu bermain untuk sejenak, mengelus punggung mereka, dan selanjutnya membunuh hewan pengerat tersebut dengan racun yang dijualnya,” tulis Sarasohn.
Jack juga mendorong perkembangbiakan tikus, mengawinkan tikus dari berbagai jenis untuk menghasilkan “koleksi tikus-tikus baru”. Pria yang dijuluki “penguasa tikus” itu juga melatih ratusan tikus yang dikembangbiakannya, lalu menjual tikus-tikus tersebut sebagai hewan peliharaan dan mendorong munculnya tren fancy rats –istilah yang dinamai sesuai dengan kelas dan status sosial para penggemarnya, bukan karena kemewahan yang ada pada seekor tikus. Menurut Maud Ellmann dalam The Nets of Modernism, ketika Jack menangkap tikus dengan warna yang tidak biasa, ia akan membiakkannya untuk “wanita muda yang anggun untuk dipelihara di kandang tupai.” Salah satu pelanggan Jack adalah Beatrix Potter, seorang penulis wanita yang cukup dikenal di Inggris. Pada 1908, Beatrix mendedikasikan bukunya The Roly-Poly Pudding untuk mengenang tikus peliharaannya bernama Samuel Whiskers.
Baca juga:
Zhagung dan Tikus versi Pram versus Karmawibhangga
Lambat laun kebiasaan memelihara tikus menjadi begitu populer di kalangan wanita bangsawan Victoria. Tikus yang sebelumnya dianggap sebagai hama dan marak dibasmi, menjelma menjadi hewan peliharaan yang dapat menentukan status seseorang. Perkumpulan pencinta hewan pengerat ini mulai didirikan pada akhir abad ke-19.
“Melalui perkumpulan tersebut, pameran hewan peliharaan yang menampilkan berbagai tikus peliharaan diadakan pada tahun 1901, yang mencerminkan minat yang semakin besar dalam penciptaan ras tikus untuk tujuan estetika,” tulis Ellmann.
Populernya pekerjaan menangkap tikus di kalangan masyarakat Inggris pada abad ke-19 juga mendorong munculnya tempat-tempat hiburan yang berkaitan dengan perburuan tikus, dikenal dengan sebutan rat pit. Tempat hiburan ini biasanya dibangun di dekat kedai minuman yang marak dikunjungi para penduduk untuk melepas penat. Salah satu tempat berburu tikus yang populer di London saat itu berada di area kedai minuman milik Jimmy Shaw. Kedainya memiliki sebuah arena untuk bertarung melawan tikus, di mana anjing-anjingnya dipekerjakan untuk membasmi hewan pengerat itu. Acapkali anak-anak Shaw ikut membantu selama perburuan tengah berlangsung, dan jari-jari mereka menjadi hitam dan berbekas gigitan tikus. Kadang-kadang seorang pria pemberani, atau mungkin gila, akan masuk ke dalam lubang dan melawan tikus-tikus itu sendiri.
Bagi banyak orang, berburu tikus menjadi hiburan menarik untuk melepas penat. Tak heran bila kemudian tempat berburu tikus seperti yang dimiliki Jimmy Shaw selalu ramai didatangi pengunjung. Mereka yang datang memiliki tujuan masing-masing: ada yang ingin menyaksikan aksi seekor anjing atau manusia bertarung melawan kawanan tikus, ada yang ingin menguji kemampuan anjing mereka dalam membunuh tikus, dan ada pula yang hadir untuk unjuk kemampuan diri atau anjingnya dalam membunuh kawanan tikus dengan waktu yang singkat. Minat yang tinggi terhadap kegiatan ini pada akhirnya mendorong diadakannya kompetisi berburu tikus yang kebanyakan diadakan untuk anjing.
Baca juga:
Namun, penangkap tikus profesional tak hanya ada di Inggris. Pekerjaan ini juga mendapat popularitas cukup tinggi di Amerika Serikat (AS). Robert Sullivan menjelaskan dalam Rats: A Year With New York’s Most Unwanted Inhabitants bahwa penangkap tikus profesional mulai muncul di Negeri Paman Sam pada pertengahan abad ke-19. Penangkap tikus profesional pertama di Amerika adalah Walter “Sure Pop” Isaacsen, yang membuka toko di Brooklyn pada 1857. Selain menjual sebuah racun yang disebut sangat kuat, Sure Pop menangkap tikus dengan bantuan musang peliharaannya.
Tak butuh waktu lama hingga orang-orang yang memiliki pekerjaan seperti Sure Pop bermunculan di berbagai wilayah AS. Beberapa nama yang terkenal di antaranya Frederick Wegner, pria asal Bavaria yang namanya terkenal setelah berhasil mengatasi serangan tikus di Kebun Binatang Central Park, dan Harry Jennings, seorang pemilik toko di So Ho dan kondang sebagai pembasmi hama terkenal yang berbasis di Manhattan.
“Ketika ia meninggal pada tahun 1891, seorang penulis editorial mengatakan ‘meskipun tidak memiliki posisi sosial yang sangat menarik di kota ini, hanya sedikit orang yang lebih berguna daripada Harry Jennings,” jelas Sullivan.
Baca juga:
Berburu Binatang Berhadiah Uang
Seperti halnya di Inggris, rat pit atau tempat berburu tikus juga bermunculan di Amerika pada abad ke-19. Di New York, Kit Burns, seorang imigran Irlandia dari Donegal yang juga dikenal sebagai “raja hewan pengerat”, membuka sebuah bar pada tahun 1840 yang dinamainya Sportsman’s Hall. Di sana, pengunjung tak hanya dapat membeli berbagai minuman keras buatan Burns tetapi juga diberikan akses untuk menyaksikan anjing-anjing yang membunuh ratusan tikus. Namun terlepas dari popularitasnya yang tinggi, Ellmann menyebut aksi berburu tikus akhirnya dilarang di AS, seiring dengan didirikannya American Society for the Prevention of Cruelty to Animals pada 1866.
Di sisi lain, berkembangnya desain dan teknologi perangkap serta racun tikus yang dijual bebas di masyarakat turut berdampak pada kelangsungan pekerjaan para penangkap tikus. Bentuk perangkap yang semakin beragam serta racun tikus yang semakin efektif dalam menjerat dan membunuh hewan pengerat itu memungkinkan konsumen menggunakannya secara langsung di tempat tinggal mereka tanpa perlu meminta bantuan dari para penangkap tikus.*