Zhagung dan Tikus versi Pram versus Karmawibhangga
Melacak awal mula jagung dan tikus. Disebut berasal dari Amerika, namun telah terpahat dalam relief Karmawibhangga di kaki candi Borobudur.
SETELAH memperkenalkan diri sebagai keturunan nabi, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa mengeluarkan pundi-pundi dari balik jubahnya. Orang-orang yang berada di pendopo Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, menyangka ia akan mempersembahkan permata. Seperti para penghadap lainnya, lelaki ini juga pelarian dari Malaka yang sudah diduduki Portugis. Ia datang ke Tuban untuk meminta perlindungan.
Ketegangan merayapi pendopo, ketika Tholib tenyata mengeluarkan biji-bijian besar berwarna bening kekuningan. Bukan batu-batu berharga.
“Tidak lain dari benih baru, ya Gusti, dari seberang dan seberangnya seberang Pulau Jawa ini. Benih beras besar, ya Gusti. Sepuluh kali lebih besar daripada beras biasa. Bila disantap sewaktu muda, ya Gusti, hanya ditunu di atas bara, gemeratak bunyinya, tapi rasanya takkan kalah dengan emping ketan bercampur kelapa dan gula. Menanamnya tak memerlukan air, malah harus ditanam pada penghabisan musim hujan. Di mana saja dapat tumbuh, di gunung, di pantai, huma, sawah kering, ladang. Dia tak memilih tanah, asal tak tergenangi air.”
Orang-orang semakin gelisah, khawatir adipati bakal gusar. Tetapi, lelaki yang juga mengaku saudagar rempah-rempah itu terus bicara. “Orang-orang dungu di Ispanya dan Peranggi mengenal ini beras Turki, ya Gusti. Orang-orang Turki memang suka menipu, Gusti. Tidak benar ini beras Turki. Yang benar Zhagung namanya, Gusti. Dalam jangka waktu lima kali musim panas, seluruh Negeri Tuban akan makan beras besar ini, Gusti, insyaallah,” lanjutnya.
Tak disangka, sang adipati ternyata menerima persembahan itu dengan wajah berseri. “Kembangkan beras besar ini, Kakang Patih. Apalagi sekarang sedang musim kering,” perintahnya pada patihnya. “Dan Tuan Sayid, apa nama negeri asal beras besar ini?”
“Negeri itu, Gusti Adipati Tuban yang mulia, orang mulai menamainya Amerika.”
“Di mana itu?”
“Di balik bumi manusia ini, Gusti.”
“Di balik bumi?” sang adipati berseru berolok, “Tentu mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung pada kaki?”
“Tidak, Gusti, mereka sama dengan kita, demikian cerita pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah.”
“Merah?”
“Merah, Gusti, seperti batu bata.”
Percakapan itu dapat ditemukan dalam roman sejarah Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer.
Baca juga: Akar Sejarah Singkong
Jagung disebut-sebut mulai ada di Jawa sejak abad ke-16 pada masa pendudukan Portugis. Di bagian lain Pram juga menyinggung hewan pengerat yang datang hampir bersamaan dengan hadirnya jagung. “Di daerah bandar sendiri orang pun mulai berkenalan dengan binatang baru: tikus,” tulisnya.
Informasi itu bukan hanya datang dari Pram. American University dalam Area Handbook for Indonesia (1964) menyebut kedatangan orang Portugis dan Spanyol di abad ke-15 membawa bermacam tanaman. Gula (tebu), misalnya, ditanam pertama kali di beberapa pulau. Orang Portugis dan Spanyol juga membawa jagung, tembakau, ubi jalar, dan cokelat dari Amerika Selatan.
Di tahun 1967, ekonom Amerika Geraldine Waldo Abbott dalam Agriculture in Indonesia menyinggung tentang metode budidaya jagung. “Ada sedikit perubahan sejak budidaya jagung Indonesia diperkenalkan sekitar 400 tahun yang lalu,” ungkapnya.
Begitu pula Peter Boomgaard dalam Maize and Tobacco in Upland Indonesia, 1600–1940. Profesor sejarah lingkungan dan ekonomi Asia Tenggara ini menyebutkan, dengan kedatangan Portugis dan Spanyol di Kepulauan Indonesia tidak lama setelah tahun 1500, banyak tanaman baru, sebagian besar dari Amerika, menambah daftar tanaman di Indonesia. Dua di antaranya, jagung dan tembakau, dengan cepat menyebar. “Saat ini, membayangkan kehidupan sehari-hari di Indonesia tanpa jagung dan tembakau akan sama sulitnya dengan membayangkan Eropa tanpa kentang, atau Afrika tanpa singkong,” tulis Boomgaard.
Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Lalu Alice May Roberts dalam Tamed-Ten Species that Changed Our World (2017), memberi bukti mengapa jagung Indonesia dikatakan berasal dari negeri Paman Sam. Bahwa jagung di garis lintang tropis, mulai dari Indonesia hingga Cina, secara genetik paling dekat dengan jagung Meksiko. “Sejarah memberikan detailnya. Portugis memperkenalkan jagung ke Asia Tenggara pada awal tahun 1496. Gelombang jagung lainnya datang bersamaan dengan kolonisasi Spanyol di Filipina pada abad ke-16,” terang antropolog biologi Inggris ini.
Ihwal tikus, sayang Pram tidak menyebut jenisnya. Jika yang dimaksud tikus cokelat, Asia Tenggara justru disebut-sebut sebagai tempat nenek moyang tikus tersebut di seluruh dunia –bukan tikus hitam, hewan pengerat yang terkait dengan wabah hitam.
Menurut Zafrir Rinat dalam How Rats Took Over the World (2017), tikus cokelat menyebar ke Asia timur laut 200.000 tahun lalu. Dari sini menyebar lagi ke Timur Tengah sekitar 3600 tahun yang lalu.
“Penemuan tikus cokelat asal Asia Tenggara dilakukan tim yang melibatkan lebih dari 20 lembaga penelitian. Tim ini melakukan pengurutan DNA seluruh genom dari 110 tikus cokelat liar dari seluruh dunia. Mereka membangun pohon evolusi tikus berdasarkan informasi dari 25 juta sampel DNA lusuh yang dikumpulkan dari 110 individu hewan ini,” tulis Zafrir Rinat.
Baca juga: Surga Neraka di Kaki Borobudur
Kembali ke muasal zhagung yang diceritakan Pram dengan indah itu. Masanya tentu terpaut jauh dengan wanti-wanti Jayabaya terkait penjajahan bangsa asing di Nusantara, yang salah satunya menyebut: kejajah saumur jagung karo wong cebol, atau di versi lain berbunyi si kate cebol saumur jagung panguasane.
Raja sakti dari Kediri (Daha) itu hidup sekitar awal abad kesepuluh. Merujuk kata “seumur jagung” yang disebutkan dalam ramalan Jayabaya, itu berarti orang Jawa sudah mengenal tanaman ini setidaknya sebelas abad silam. Bahkan tiga abad sebelumnya, penampakan jagung sudah terpahat di relief Karmawibhangga di kaki candi Borobudur.
“Relief Karmawibhangga memperlihatkan seorang petani menggunakan dua ekor sapi untuk membajak tanah, yang menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui teknik pengolahan tanah. Relief Karmawibangga lainnya menunjukkan ladang jagung dan beberapa orang yang menyajikan makanan,” tulis Kiyoko Kanki, dkk., dalam Borobudur as Cultural Landscape.
Selain itu, di salah satu panel relief juga digambarkan tanaman padi diserang hama tikus. “Tikus menggigit batang bagian tengah dari tanaman padi, hingga batang atas tempat padi berbuah jatuh ke atas tanah untuk dimangsanya,” sebut arkeolog M. Dwi Cahyono dalam “Tikus Sawah pada Relief Cerita Mahakarmawibangga di Candi Borobudur: Tikus Hama Padi Hingga Tikus Kantor si Koruptor”.
Baca juga: Bunga dan Buah pada Zaman Kuno
Menurut Dwi Cahyono, relief candi mengemban beragam fungsi, antara lain fungsi dokumentatif dan informatif. Dalam fungsi dokumentatifnya, kondisi nyata di masa lalu terdokumentasi secara visual dalam bentuk seni pahat (relief). Adapun fungsi informatifnya, pada tampilan visualnya dapat “dikeluarkan” informasi tentang sesuatu di masa lalu, yang bukan tidak mungkin sesuatu itu masih didapati hingga kini. Kedua fungsi itu acuan untuk mengungkap cerita dari relief di teras I candi Borobudur, yakni relief Karmawibhangga, terkait tikus sawah sebagai hama padi.
Jika Asia Tenggara dituduh sebagai muasal tikus cokelat, bukan mustahil jagung pun punya silsilah yang sama, setidaknya punya sejarah yang lebih panjang. Seperi disebutkan Al Semantani Jones dalam Kitab Tamadun Melayu, kedatangan para penghijrah Nusantara ke benua Afrika di abad ke-5, juga membawa beberapa tanaman. Di antaranya pisang raja, ubi jalar, keladi, kelapa, padi, dan jagung.
Ia mengutip profesor Amerika George Murdock yang meneliti tahun 1959, tanaman-tanaman tersebut dibawa orang-orang Nusantara ketika membuka koloni di Madagaskar. Contohnya di Yorubaland, telah ditemukan ubin yang memiliki ukiran puntung jagung.
Jagung bukan tanaman asli Afrika. Ada kemungkinan bahwa jagung dikenal para pelaut Nusantara –yang layak digelari Viking Timur– setelah interaksi mereka dengan benua Amerika.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar