Pada suatu hari di tahun 1958, Kolonel Djatikusumo dipanggil Presiden Sukarno ke Istana Merdeka. Oleh presiden, mantan KSAD itu diberi tugas yang di luar bidang profesinya.
“Heh, Djati. Kamu mau saya jadikan Konjen di Singapura!” kata Sukarno.
“Pekerjaan Konjen itu apa sih, Bung?” jawab Djati.
“Tidak tahu!”
“Lalu suruh apa?”
“Tahu sendiri!”
Itulah dialog Djati dengan presiden di Istana yang dituliskan Solichin Salam dalam biografi berjudul GPH Djatikusumo: Prajurit-Pejuang dari Kraton Surakarta.
Djati akhirnya memenuhi permintaan tersebut. Dia menjabat sebagai konsul jenderal di Singapura merangkap konsul di Sarawak, Brunei dan Tawao dari 1958 sampai 1959. Selama masa jabatannya, Djati memainkan peran penting. Antara lain, sebagaimana yang dikatakan KSAD Nasution, membantu Lee Kuan Yew dalam memenangkan pemilihan umum. Bantuan itulah yang membuatnya dekat dengan Lee. Saking dekatnya, Djati sampai pernah mengadukan soal dijadikannya Singapura sebagai tempat penjualan senjata yang digunakan untuk kombatan PRRI dan itu merugikan Indonesia.
“Singapura, ternyata dijadikan tempat penjualan senjata kalangan Barat untuk mensuplai senjata kepada gerakan separatis itu. Kepada Letjen Djatikusumo, konsul jenderal Indonesia di Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan, bahwa kalau ia nanti berkuasa, para pedagang senjata (arms dealers) itu akan dikeluarkan dari Singapura,” tulis Sulastomo dalam Lengser Keprabon.
Baca juga: Rahasia Lee Kuan Yew
Soal dijadikannya Singapura sebagai tempat penjualan senjata itu bahkan dipermasalahkan Djati sejak awal. Dia mengemukakannya kepada Mr. David, sekretaris Gubernur Singapura William A.C Goode, saat menyerahkan exequatur (surat resmi dari pemerintah Indonesia untuk meminta izin memulai tugas di negeri bersangkutan). Dalam pertemuan tersebut, David menanyakan Djati apa permasalahan Singapura-Indonesia yang bisa diselesaikan saat itu.
Pertanyaan itu menjadi kesempatan buat Djati untuk mengutarakan kedongkolannya. “Itu ada penyelundup-penyelundup mbok ditindak. Itu ada teman-teman pemberontak, mbok itu jangan dikasih visa,” kata Djati menjawab pertanyaan David, dikutip Solichin.
“Di sini tidak ada penyelundup, yang ada pedagang,” kata David.
“Saya mengerti, orang Indonesia yang sudah meninggalkan perairan wilayah indonesia, di Singapura itu sudah orang dagang. Saya tahu, kembalinya mereka membawa senjata. Apa ini tidak bisa ditindak?”
Baca juga: Singapura Tak Terima KRI Usman Harun
Permintaan Djati ditolak David lantaran pada prinsipnya Singapura tidak bisa menindak seseorang bila tidak melakukan sesuatu yang melanggar undang-undang. Singapura tak peduli bila orang itu melanggar aturan hukum di negeri asalnya. Pernyataan itu membuat Djati mencari akal.
“Bolehkah saya ambil tindakan di wilayah Indonesia sendiri?” tanyanya.
“Yah, itu hak Saudara,” jawab David.
Jawaban David menjadi acuan Djati untuk mengambil tindakan terhadap pesawat-pesawat RAF yang digunakan untuk mendrop senjata ke kombatan PRRI. “Maka ia pun kirim surat kepada KSAD AH Nasution dan KSAU Suryadarma dengan permintaan, coba pasang mitraliyur ukuran 12,7 di pulau depan Singapura. Dengan pesan, kalau ada pesawat RAF terbang rendah, tembak! Tapi jangan sampai kena. Kalau kena, repot. Hanya sebagai peringatan saja, bahwa mereka telah melanggar wilayah Indonesia,” tulis Solichin.
Tiga hari setelah mengirim surat kepada KSAD dan KSAU, Djati mendengar suara tembakan dari rumahnya ketika sedang makan siang. Saat kembali ke kantornya, dia mendapat telepon dari David dan diminta datang karena ada hal serius yang mesti dibicarakan. Djati pun menyanggupinya.
David menginformasikan, dia ditelepon panglima RAF (AU Inggris) di Singapura Marsekal Udara Earl of Bandon dan diberitahu pesawat-pesawatnya ditembaki serdadu-serdadu Indonesia. David meminta Djati menanganinya karena RAF merupakan organisasi militer resmi, bukan gerombolan atau milisi.
Mendengar keterangan David, Djati dengan enteng memberi jawaban. “Ya, memang begitu,” kata Djati yang membuat David bingung dan kesal. David pun kembali melontarkan pertanyaan mengapa bisa begitu tindakan yang diambil Indonesia.
“Katanya kemarin saya boleh ambil tindakan di rumah saya sendiri. Dan sekarang ada pesawat terbang asing terbang rendah di wilayah kita, kita suruh tembak. Itu kan hak kita,” Djati menjawab.
Baca juga: Adik Jadi Korban Prinsip Tak Kompromi Kolonel Djati
David yang kesal lalu menjelaskan bahwa pesawat RAF diizinkan terbang rendah di wilayah Indonesia sejak masa Hindia Belanda. Penjelasan itu menjadi blunder buatnya karena Djati langsung menjawab bahwa sepengetahuannya tidak ada perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Inggris terkait izin terbang rendah pesawat RAF di wilayah Indonesia.
Kegagalan David mengatasi masalah tersebut membuat panglima RAF di Singapura turun tangan menyelesaikannya. Dia mengundang Djati makan malam hari itu juga dan dipenuhi Djati. Pertanyaan kenapa pesawat-pesawat RAF ditembaki personil APRI langsung dikeluarkan tuan rumah.
Djati menceritakan obrolannya dengan David siangnya, sebagai jawaban terhadap pertanyaan Bandon. Penjelasan Djati membuat panglima RAF itu menjadi paham. “Orang-orang sipil itu tidak mengerti apa-apa. Nanti saya urus. Tapi besok pagi, pesawat saya jangan ditembaki lagi!” ujar Bandon.
Djati pun menyanggupi permintaan Bandon. Sejak keesokan harinya, tak ada lagi penembakan terhadap pesawat-pesawat RAF. Sebaliknya, penyelundupan senjata menggunakan pesawat-pesawat RAF juga tak ada lagi sejak itu.