Masuk Daftar
My Getplus

Pram Minta Karyanya Dikembalikan

Pramoedya Ananta Toer pernah menulis surat kepada Kerajaan Belanda. Minta karyanya yang dirampas dikembalikan.

Oleh: Andri Setiawan | 11 Feb 2020
Pramoedya Ananta Toer. (Repro iBuku).

Pada September 1965, Pramoedya Ananta Toer mengirim surat kepada Kerajaan Belanda melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Surat itu berisi permintaan Pram kepada pemerintah Belanda agar mengembalikan karya-karyanya yang dirampas saat Agresi Militer Belanda pertama pada 1947.

Surat tersebut juga ditembuskan kepada Menteri Jaksa Agung, kantor berita Antara, serta redaksi Lentera Bintang Timur. Pram meminta empat naskah yakni tiga perempat bagian dari naskah Di Tepi Kali Bekasi, novel Sepuluh Kepala Nica dan dua karya terjemahannya. Selain itu, ia juga menuntut Belanda mengembalikan satu buku hariannya.

Di Tepi Kali Bekasi ditulis Pram pada 1947 berdasarkan kisah revolusi yang terjadi sejak bulan-bulan pertama revolusi sampai tentara Belanda menduduki Bekasi pada 1946. Bercerita tentang perlawanan para pemuda Indonesia terhadap tentara Jepang, Inggris-India, dan tentara Belanda, serta adanya kontra revolusi dari dalam negeri.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pram dan Arsipnya

Naskah itu dirampas oleh Marinir Belanda pada 27 Juli 1947. Seperempat bagian naskah Di Tepi Kali Bekasi yang bisa diselamatkan kemudian diterbitkan dengan judul yang sama oleh Usaha Penerbitan Gapura, Jakarta pada 1951.

Sementara itu, Pram menulis Sepuluh Kepala Nica pada 1946. Menurut Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat, pada pertengahan 1946 Pram diangkat menjadi perwira persuratkabaran letnan dua yang memimpin 60 prajurit dan bermarkas di Cikampek. Pada masa inilah Pram menulis novel Sepuluh Kepala Nica. Kisah novel ini berangkat dari kejadian-kejadian revolusi selama tiga bulan pertama revolusi Indonesia di Jakarta.

Novel ini sama sekali belum pernah diterbitkan. A. Teew dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer menyebut naskah Sepuluh Kepala Nica dihilangkan oleh Penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta.

Pram juga menuntut dua naskah terjemahannya dikembalikan yakni Moeder, Waarom Leven Wij atau Bunda, Mengapa Kita Hidup? karya Lede Zielens dan terjemahan Het Rijk der Mensen atau Bumi Manusia karya Antoine de Saint-Exupery.

Baca juga: Pram Menemukan Minke

Menurut Pram, naskah-naskah itu lenyap ketika ia ditangkap tentara Belanda di rumah tumpangannya di Gang Mangga, Kemayoran, Jakarta, dua hari setelah Agresi Militer Belanda pertama tahun 1947. Bersama penangkapan itu, rumah digeledah dan naskah-naskah Pram pun disita.

“Penggeledahan dan penyitaan tersebut dilakukan sampai berulang-ulang kali, terakhir oleh kesatuan dari basis Commando Batavia tentara Belanda,” tulis Bintang Timur, 5 September 1965.

Selain karya-karya tersebut, Pram juga menyebut satu buku hariannya yang dirampas tentara Belanda. Buku harian itu tebalnya 5 cm dan terbuat dari kertas kuning buatan Padalarang serta diikat dengan tali sepatu militer Republik. Buku harian ini ditulis pada rentang 1941 hingga 1946.

Buku harian ini dirampas dari tangan Soegiarto, seorang bekas kopral dalam Kesatuan Bung Pram, yang ditugaskan khusus untuk mengambil buku harian tersebut. Antara bulan Februari hingga Juni 1947, Soegiarto ditangkap di Bekasi ketika hendak memasuki Jakarta. Ia dijebloskan ke penjara Glodok selama empat bulan. Sementara buku harian Pram langsung lenyap dirampas.

Baca juga: Pram dan Soemitro

Pada 1948, Pram pernah meminta secara lisan melalui Sersan Mayor Vos dari Basis Komando Batavia. Saat itu Pram sedang dipenjara di Bukit Duri. Sersan Vos, terkait naskah Di Tepi Kali Bekasi, menjawab sambil tersenyum: “Oh, itu tulisan tuan sendiri? Interessant.”  

“Pada akhir surat gugatannya itu, pengarang Pramoedya Ananta Toer menutup bahwa setelah lebih dari 17 tahun naskah-naskah tersebut berada di tangan Kerajaan Belanda, maka sekarang dituntut untuk menyerahkan kembali kepada yang berhak dan jika tidak ada kemungkinan kembali untuk menyerahkannya maka pengarang ini menuntut diadakannya ganti rugi,” tulis Bintang Timur.

Menurut Pram, ganti rugi tersebut bukan untuk keuntungan pribadinya melainkan akan digunakan untuk mendirikan sanggar serbaguna dan biro penghimpunan materi-materi sejarah modern Indonesia.

Angga Okta Rachman, cucu Pram yang juga mengurusi arsip Pram, mengatakan bahwa ia sendiri belum pernah melihat surat itu maupun mengetahui adakah balasan dari Kerajaan Belanda.

"Mungkin dibalas mungkin enggak. Tapi kalau dibalas pun pasti sudah kena vandalisme Oktober 65 di rumah Pram. Yang jelas sampai saat ini, aku nggak pernah liat surat itu di arsip Pak Pram. Juga naskah-naskah dan buku hariannya tidak pernah dikembalikan," ujar Angga kepada Historia.

Surat Pram tampaknya memang tak membuahkan hasil. Hingga kini kita tak bisa membaca Sepuluh Kepala Nica, tiga perempat Di Tepi Kali Bekasi, maupun buku hariannya.

TAG

pramoedya sastra repatriasi

ARTIKEL TERKAIT

Hilangnya Pusaka Sang Pangeran Seputar Prasasti Pucangan Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Koleksi-koleksi Repatriasi Benda Bersejarah Mengenal Kelompok Seni Pita Maha Menyongsong Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi Sejarah Perkembangan Repatriasi dari Belanda ke Indonesia Menteri Nadiem: Masih Banyak Benda Bersejarah Indonesia yang Belum Dikembalikan Sastra Melayu Tionghoa, Pelopor Sastra yang Merana Perjuangan di Balik Nama Pena