Masuk Daftar
My Getplus

Oom, Om, dan Om-om

Sapaan om dari bahasa Belanda, oom, sempat populer di masyarakat. Orang kemudian enggan dipanggil om gara-gara om-om senang.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 28 Apr 2022
Om-om kelahiran 1997. (Twitter @DDYSTRN).

Kelahiran 97 trending topic setelah akun twitter @DDYSTRN memposting foto orang pacaran yang diambil dari akun sosial media TikTok. Pada foto itu, perempuan memberi caption: “pacaran kok seumuran? Sama om om dong.” Perempuan kelahiran tahun 2003 itu menganggap pacarnya yang kelahiran 1997 sebagai om-om.

Warganet twitter pun memberikan tanggapan beragam, seperti akun @ditamoechtar mencuit: “Kebangetan ni embrio. 97 dibilang om2. Yg kelahiran 80an apa? Artefak?”

Mari kita coba telusuri asal-usul oom, om, dan om-om.

Advertising
Advertising

Istilah om-om berasal dari sapaan om, dari bahasa Belanda, oom yang artinya paman. Pasangannya adalah tante, juga dari bahasa Belanda. KBBI mengartikan om sebagai “kakak atau adik laki-laki ayah atau ibu” dan “kata sapaan kepada orang laki-laki yang agak tua”.

Baca juga: Bung, Saudara Serevolusi

Menurut Nathanael Daldjoeni, kolomnis, dalam Dari Katabelece sampai Kakus: Kumpulan Kolom Bahasa Kompas, panggilan om sebagai pengganti paman atau paklik (bapak cilik, sapaan kepada adik laki-laki ibu atau ayah) ada ceritanya sendiri. Di zaman Hindia Belanda, panggilan om dalam keluarga Jawa hanya berlaku bagi paman yang berpendidikan bahasa Belanda; begitu pula tante adalah pengganti bulik (ibu cilik, sapaan kepada adik perempuan ibu atau ayah). Om dan tente tidak diberlakukan untuk pakde atau bude, seperti dalam bahasa Belanda. Bagi orang Belanda, om dan tante juga berlaku bagi kakak dan adik dari nenek.

J.S. Badudu, ahli bahasa, dalam Pelik Pelik Bahasa Indonesia (Tata Bahasa) mencatat, karena pengaruh bahasa Belanda, kata-kata sapaan seperti oom (menjadi om dan um di daerah Sunda), tante, broer, zus, opa, dan oma, banyak dipakai untuk menyapa seseorang.

Baca juga: Call Me Mbak

Selain itu, kata sapaan dari bahasa Belanda adalah meneer dan mevrouw.

Firman Lubis, seorang dokter, dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja, mengingat bahwa pada 1950-an, panggilan meneer dan mevrouw atau tuan dan nyonya karena pengaruh sisa peninggalan zaman Belanda masih banyak digunakan di Jakarta untuk memanggil lelaki atau perempuan dewasa golongan menengah ke atas, apalagi untuk orang Belanda dan Tionghoa kebelandaan. Panggilan bapak atau ibu belum lazim digunakan secara umum. Hanya untuk panggilan-panggilan kepada orang-orang tertentu, seperti guru.

“Panggilan om dan tante hanya untuk mereka yang sudah kita kenal baik atau orang tua teman kita,” tulis Firman.

Panggilan meneer dan mevrouw kemudian tidak digunakan. “Kata sapaan yang resmi, tuan dan nyonya kurang populer, kurang disenangi penggunaannya, mungkin karena terasa agak feodalistis,” tulis Badudu.

Baca juga: Sejarah Panggilan Papah dan Mamah

Selain meneer dan mevrouw, kata sapaan lain yang juga tidak digunakan lagi adalah broer (saudara laki-laki) dan zus dari zuster (saudara perempuan). Kini kata sapaan yang biasa digunakan dalam pergaulan adalah bro dari bahasa Inggris, brother.

Sementara itu, sapaan om yang semula digunakan di lingkungan keluarga, kerabat, dan kolega, justru menjadi populer di masyarakat. Sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi membahasnya dalam dua buku tentang bahasa, Badak Sunda dan Harimau Sunda: Kegagalan Pelajaran Bahasa dan Bus Bis Bas: Berbagai Masalah Bahasa Indonesia.

Menurut Ajip, yang menarik dalam masyarakat, tanpa ada yang menyeponsori, menjadi populer penggunaan kata sapaan um atau om yang berasal dari bahasa Belanda, oom. Kata ini populer di kalangan bawah yang digunakan untuk menegur laki-laki siapa saja yang belum dikenal, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda dari si penegur.

“Kita mendengar pedagang asongan menggunakan kata sapaan om untuk menyapa calon pembeli laki-laki yang ditawari dagangannya tanpa memperhatikan usianya,” tulis Ajip.

Baca juga: Om Kacamata di Banda Neira

Sedangkan kata tante yang setara dengan om yang juga dari bahasa Belanda, tidak mencapai popularitas yang sama dengan kata om, walaupun kata tante dipergunakan dalam masyarakat terutama di kalangan kaum menengah. Kalangan bawah tidak menggunakan kata sapaan tante buat perempuan. Mereka menggunakan kata ibu untuk menyapa perempuan.

Anehnya, menurut Nathanael, pria dari Ambon dan Minahasa biasa dipanggil om, misalnya Om Jo (J. Leimena) dan Om Mononutu (Arnold Mononutu).

Ajip menambahkan bahwa sampai awal tahun 1950-an, kata om biasa dipakai untuk menyapa orang-orang Ambon yang banyak menjadi portir (penjaga pintu) bioskop di Jakarta –di samping digunakan di kalangan kaum menengah yang sedikit-sedikit masih berbahasa Belanda.

“Kata om rasanya lebih demokratis daripada bapak. Pemakaian kata om yang dimulai di kalangan bawah, memperlihatkan bahwa di kalangan bawah ada kecenderungan hendak mempergunakan kata sapaan yang lebih demokratis, karena dapat digunakan kepada siapa saja,” tulis Ajip.

Baca juga: Riwayat Panggilan Hormat Pada Pejabat

Namun, sekitar tahun 1970, orang enggan dipanggil om dan tante. “Ini bukan karena berjiwa nasionalis, tetapi akibat merajalelanya para om senang dan tante girang di perkotaan,” tulis Nathanael.

Tante girang sudah masuk dalam KBBI, artinya “wanita setengah baya yang suka bersenang-senang dengan pemuda”. Kenapa om senang belum masuk KBBI?

Christopher Torchia, editor The Associated Press, dalam Indonesian Idioms and Expressions: Colloquial Indonesian at Work, mengartikan tante girang sebagai seorang wanita paruh baya yang mencari gigolo. Berbekal uang tunai dan hadiah, dia memikat pria muda ke dalam hubungan romantis. Beberapa istri orang kaya Indonesia menikmati kesenangan badan karena suami mereka mengabaikannya. Ketika pasangan mereka sibuk, mengapa tidak istri menyibukkan diri sendiri?

Sedangkan om senang adalah seorang pria yang mencari rangsangan dari wanita yang lebih muda dengan harga tertentu.

Baca juga: Mengorek Sejarah Ngondek

Menurut Torchia, kedua karakter tersebut (om senang dan tante girang) menonjol selama tahun 1970-an pada masa kejayaan ledakan ekonomi di Indonesia yang kaya minyak. Didorong oleh kenaikan harga minyak global, para elite memiliki banyak uang untuk dibelanjakan secara royal.

“Beberapa orang yang tidak menyukai petualangan asmara, memperingatkan akan kemerosotan nilai-nilai keluarga dan pengabaian anak-anak,” tulis Torchia.

Tampaknya sekarang sebutan om-om dapat digunakan juga untuk laki-laki yang usianya lebih tua dibandingkan dengan pasangannya.

TAG

bahasa

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Mula Istilah Kuda Gigit Besi Slebew, Slang, dan Walikan Saltik Tiket Asal-Usul Pengamen Ketika Dokter Gila Turut Merumuskan Kamus Oxford Fakta dan Dramatisasi The Professor and the Madman Tentang Anjay dan Kata-kata Umpatan Dari Mata Keranjang hingga Mata Ijo Raja Ali Haji dan Pulau Bahasa Indonesia