Masuk Daftar
My Getplus

Ncing Sambo Maen Pukulan

Maen pukulan bukan buat mentang-mentang jadi jagoan, tetapi buat menjaga diri dan keluarga.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 29 Agt 2022
Pertunjukan bela diri Betawi dalam suatu acara perkawinan di Rawasari, Jakarta, tahun 2008. (Gunawan Kartapranata/Wikimedia Commons).

Masyarakat Betawi umumnya menyebut seni bela diri sebagai maen pukulan. Sebutan lain yaitu silat, maen akal, maen taplekan, bhe si atau beksi, gisauw, dan kuntao atau kundao. Tiga istilah terakhir kental pengaruh Tionghoa.

Masyarakat Betawi mengartikan maen pukulan sebagai permainan yang melibatkan kontak fisik serang-bela dengan atau tanpa senjata. Di dalamnya terdapat unsur bela diri. Disebut maen pukulan karena gerakannya didominasi oleh pukulan yang disinyalir terpengaruh ilmu bela diri dari imigran Tionghoa Selatan. Maen pukulan juga menabukan penggunaan kaki atau tendangan. Kalau pun ada tendangan hanya sebatas pusar ke bawah.

Menurut Gusmanuddin Natawidjaja alias G.J. Nawi dalam Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, konteks kata maen (dialek lokal untuk “main”) menandakan ada unsur kesenangan. Dengan kata lain, ilmu bela diri bagi masyarakat Betawi awalnya hanyalah permainan, bukan untuk menunjukkan kehebatan fisik maupun sifat jago.

Advertising
Advertising

Baca juga: Jago Pukul Betawi

Sejarawan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe menyebut para jago maen pukulan ditakuti bukan hanya karena kepandaiannya dalam ilmu bela diri, tetapi karena mereka membela kebenaran dan ahli ibadah yang tidak menonjolkan diri. Sebab, orang-orang Betawi dulu sebelum belajar maen pukulan harus lebih dulu mempelajari agama. Jadi, tidak heran kalau para jagoan Betawi banyak ditemui di masjid-masjid dan majelis-majelis taklim. Murid-muridnya juga belajar di masjid-masjid. Untuk belajar maen pukulan para murid harus mematuhi peraturan yang disyaratkan oleh para gurunya. Mereka tidak bolah berjudi, berzina, mabuk-mabukan, dan jangan lupa salat. Dengan demikian, tujuan belajar maen pukulan bukan untuk mentang-mentang menjadi jagoan, tetapi untuk menjaga diri dan keluarga.

Dalam bukunya yang lain, Saudagar Baghdad dari Betawi, Alwi Shahab menyebutkan bahwa maen pukulan bagi masyarakat Betawi terdahulu sudah mendarah daging. Tidak ada orang Betawi yang sama sekali nihil dari maen pukulan. Bahkan, kaum perempuan pun mahir memperagakan jurus maen pukulan mulai jurus dasar sampai jurus pamungkas. Karenanya tidak heran, dalam cerita rakyat Betawi, kerap muncul jago-jago dari kaum perempuan yang membela rakyat tertindas, menentang pimpinan yang zalim, dan menegakkan amar makruf nahi munkar.

Baca juga: Siapa Sebenarnya Si Pitung?

“Sebut saja nama Mirah, yang memperoleh gelar ‘singa betina dari Marunda’ atau Nyi Mas Melati, tokoh pejuang revolusi fisik pada 1945 di Tangerang yang berada di medan perang dengan keberanian luar biasa,” tulis Alwi Shahab.

Menurut Nawi yang mengutip tuturan lisan masyarakat setempat, Marunda dulu menjadi tempat berkumpulnya jago-jago maen pukulan Betawi. Marunda merupakan kawah candradimuka bagi para jago dan jagoan. Kisah tentang Si Mirah, Si Ronda, sampai Si Pitung tertanam kuat dalam bentuk cerita rakyat.

“Setiap jago Betawi jika ingin menguji kemampuan maen pukulannya, akan menyambangi Kampung Marunda,” tulis Nawi.

H. Muhammad Sambo Ishak, guru maen pukulan Marunda Pulo yang disebut Pamor Kurung. (Dok. G.J. Nawi). 

Salah satu jago maen pukulan di Marunda adalah H. Muhammad Sambo Ishak yang biasa disapa Ncing Sambo. Menurut Ncing Sambo, zaman dulu ilmu agama dan ilmu maen pukulan merupakan kewajiban bagi setiap anak laki-laki. Bahkan, kemampuan dalam dua ilmu itu menentukan seorang lelaki Betawi diterima sebagai menantu atau tidak.

Orang-orang tua Betawi zaman dulu sebelum mungut mantu laki selalu mempunyai harapan dengan bertanya kepada lelaki yang hendak melamar anak gadisnya mengenai dua perkara, yaitu ilmu agama dan ilmu maen pukulan. “Tradisi menjatuhkan harapan kepada calon mantu laki ini disebut kekudangan,” tulis Nawi.

Baca juga: Bandit Menguasai Malam di Batavia

Kalau calon mantu tidak mampu menguasai ilmu agama dan ilmu maen pukulan, maka calon mertua biasanya akan mengatakan dalam bahasa Betawi, “Kalau elu kagak bisa ngaji atawe maen pukulan lebih baek kagak usah jadi mantu gue!”

Namun, jika calon mantu menguasai kedua ilmu itu, dia harus mempraktikannya di hadapan keluarga mempelai perempuan. Ujian ilmu agama yaitu mengaji Al-Qur’an. Sedangkan maen pukulan diuji oleh calon mertua atau wakilnya. Ujian dilakukan di tempat tertutup untuk menjaga harga diri keduanya. Kalau calon mantu menang, maka dia diterima, dan mertuanya akan belajar kepada calon mantu atau gurunya.

Baca juga: Bandit-Bandit Kakap di Batavia

“Tradisi kekudangan diakhiri acara makan bersama sebagai cerminan jalinan keluarga baru. Sayangnya, tradisi kekudangan kini sudah tidak terdengar lagi,” tulis Nawi. Kini, maen pukulan biasanya diperagakan dalam prosesi palang pintu di acara perkawinan.

Ncing Sambo sendiri seorang guru maen pukulan terkenal di Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara. Dia belajar maen pukulan tahun 1972 dari Abdul Ghani atau Ra Kaucin yang konon berasal dari Cirebon. Sebelumnya, dia sudah menguasai maen pukulan aliran lain yang didapatnya dari mengembara.

“Dari ilmu itu dia membuat formulasi jurus maen pukulan Marunda Pulo yang disebut Pamor Kurung,” tulis Nawi.

Baca juga: Bandit-Bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya

Menurut Ncing Sambo, gerakan maen pukulan Marunda Pulo terbilang jelek, sehingga tidak bisa untuk atraksi panggung. Namun, untuk menguasainya, seseorang harus memiliki dasar ilmu bela diri lebih dulu, karena butuh fisik kuat dan wawasan luas dalam menerima pelajaran.

Maen pukulan Marunda Pulo memiliki 20 jurus. Jurus pamungkasnya Pamor Kurung yang merupakan gabungan dari semua gerak jurus dan langkah. Itu sebabnya maen pukulan ini sering disebut maen pukulan Pamor Kurung.

Maen pukulan Marunda Pulo memiliki gerakan yang rumit. Kuda-kuda umumnya sedang dan hentakan pukulannya bertenaga. Yang paling khas adalah gerak jurusnya atraktif, bisa secara tiba-tiba berubah dari kuda-kuda rendah setengah rebahan menjadi kuda-kuda tinggi. Pada jurus Bangke Ngamuk misalnya, gerakannya bagai orang mabuk.

Nawi menyebut maen pukulan Marunda Pulo tidak hanya memiliki gerak dan jurus secara fisik, tetapi juga “ilmu dalam” kebatinan Islam yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an seperti babuna wa kholiquna wa subatulillahita’ala yang digunakan sebagai amalan ilmu kebal.*

TAG

silat betawi

ARTIKEL TERKAIT

Rochjani Soe'oed, Putra Betawi dalam Sumpah Pemuda Komponis dari Betawi Samsi Maela Pejuang Jakarta Mencicipi Sejarah Soto Betawi Di Balik Topeng Betawi Lebaran Afdol dengan Dodol Melacak Jejak Pencak Silat Pencak Silat Warisan Mataram Menembus Zaman Dari Merpati Putih untuk Gajah Putih Pendekar Konyol dan Ajaran 212