Memasuki Ramadan, Syarifah Hairiyah alias Ibu Yuyun sibuk memenuhi pesanan. "Pesanan bisa meningkat hingga lima kali lipat dari hari biasa," ujarnya. Mendapatkan keahlian secara turun-temurun, Yuyun memulai usaha dodol Betawi di Pejaten Timur, Jakarta Selatan, sejak 1980.
Sindhunata dalam Burung-burung Bundaran HI menulis dodol Betawi bukan sekadar campuran gula Jawa dan ketan. Di baliknya terkandung makna gotong royong, rukun kampung, dan minal aidin walfaizin.
Baca juga: Klepon, Makanan Istana
Tak jelas sejak kapan masyarakat Betawi membuat dodol. Di Jakarta, Depok terkenal sebagai sentra dodol.
"Siapa yang tak kenal dodol Depok?" tulis Pandji Ra’jat, 17 Desember 1946, ketika menurunkan laporan satu tahun pendudukan Kota Depok oleh tentara Kerajaan Belanda.
Dodol sendiri bukanlah penganan khas Indonesia. Ada jejak pengaruh dari dodol Cina atau kue keranjang, penganan utama pada perayaan tahun baru orang Tionghoa, sin tjia. Sejumlah daerah di Indonesia juga dikenal membuat penganan ini, seperti Garut, Kudus, dan Semarang.
Baca juga: Benjol Segede Bakpao
Lebaran memang kurang afdol tanpa dodol. Gubernur militer Jepang (Gunseikanbu) pun membagikan beras ketan ke masyarakat menjelang Lebaran, yang dibutuhkan "untuk membikin kue-kue dan makanan hari Lebaran seperti wajik, dodol, lepet, dan lain-lain sampai sebanyak 1.000 karung...," tulis Pembangoenan, 17 September 1943.
Gunseikanbu berharap penduduk bisa merayakan Lebaran dengan hati suka dan ria dalam suasana peperangan Asia Timur Raya.
"Dulu orang Betawi bilang dodol itu kue silaturahmi," kata Yahya Andi Saputra, wakil ketua Lembaga Kebudayaan Betawi. "Sebab, saat Lebaran, dodol dibawa ngider ke tetangga atau saudara sambil bermaaf-maafan. Kini tradisi itu semakin menghilang."