Setiap warga Indonesia tentu tahu lagu kebangsaan Indonesia berjudul “Indonesia Raya”. Lagu tersebut diciptakan oleh Wage Rudolf Supratman dalam perhelatan akbar kongres Sumpah Pemuda. Begitu kesohornya karya Supratman itu hingga hari kelahirannya, 9 Maret diperingati sebagai hari musik nasional.
Namun, tidak banyak diketahui bahwa lagu kebangsaan Indonesia terpilih lewat sayembara. Dalam sayembara tersebut, muncul berbagai karya lagu para peserta sayembara dari berbagai kalangan. Lagu peringkat kedua karya Nahum Situmorang sama sekali terabaikan dari ingatan kolektif maupun narasi sejarah.
“Tak banyak yang tahu bahwa pilihan kedua adalah lagu ciptaan Nahum Situmorang (1908-1969), pencipta lagu Batak Toba yang paling prolifik dan terkenal,” kata Julia Byl, etnomusikolog University of Michigan dalam Anthiponal Histories: Resonant Past in the Toba Batak Musical Present.
Ikut Sayembara
Nahum Situmorang lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan pada 14 Februari 1908. Putra dari Guru Kilian Situmorang ini merupakan anak ke-5 dari 8 bersaudara. Darah seni memang telah mengalir pada diri Nahum sejak kecil yang ditandai dengan kegemarannya bersenandung.
Pada 1928, Nahum menyelesaikan pendidikannya di Kweekschool Lembang, Bandung. Di sekolah guru bantu itulah Nahum berkesempatan mengembangkan hasrat bermusiknya. Mulai dari mempelajari berbagai instrumen musik, teknik vokal, hingga menulis lagu.
Baca juga: Ibu Sud Bahagiakan Anak Indonesia
Ketika Kongres Pemuda mengadakan sayembara lagu kebangsaan, Nahum terpanggil untuk ikut serta. Keterlibatan Nahum dalam sayembara sekaligus menuntunnya bersentuhan dengan semangat pergerakan nasional diantara kalangan bumiputra. Dalam referensi bermusik, Nahum banyak terinspirasi dari musik-musik klasik Eropa. Ia pun menyusun komposisi lagu yang nada-nadanya banyak dia serap dari kor-kor nyanyian gereja. Pada akhirnya, sayembara lagu kebangsaan dimenangkan oleh Supratman sementara Nahum sebagai finalis.
“Lagu Nahum yang berirama himne ternyata menduduki tempat kedua setelah Indonesia Raya karya W.R. Supratman,” tulis Kompas, 26 Agustus 1978.
Baca juga: Gordon Tobing dan Gitarnya
Pada 1929, Nahum mulai bekerja sebagai guru sekolah swasta Bataksche Studiefonds di Sibolga. Empat tahun berselang, Nahum pindah ke Tarutung untuk membantu abangnya, Guru Sopar Situmorang yang mendirikan sekolah swasta HIS-Partikelir Instituut Voor Westers Lager Onderwijs. Di sela-sela kesibukannya menjadi guru, Nahum tetap mencurahkan waktunya bermusik.
Bersama kelompok musiknya, Sumatra Keroncong Concours, Nahum memenangkan kontes musik keroncong di Medan pada 1936. Rombongan Nahum saat itu dipimpin oleh Raja Buntal Sinambela, putra Sisingamangaraja XII. Kedatangan tentara Jepang membuka jalan bagi Nahum untuk berkesenian sepenuhnya.
Dari Tarutung Ke Medan
Pada 1942, Belanda kalah perang lantas menyerahkan negeri Hindia kepada Jepang. Bala tentara Jepang turut menguasai Tarutung yang telah bertumbuh menjadi kota penting di Tapanuli. Pada saat itulah Nahum telah meniti jalan hidupnya sebagai seniman profesional.
Nahum tergabung sebagai anggota barisan seniman Sendenhan Hondohan yang bertugas mendukung propaganda Jepang. Pada kumpulan itulah Nahum kerap tampil mengisi pertunjukan musik di sebuah restoran. Berbagai sumber menyebut restoran itu milik Nahum sendiri. Namun, pihak keluarga mengatakan Nahum hanya sebagai pemusik di restoran tersebut.
“Nahum bukan membuka restoran, tapi bekerja sebagai penghibur tentara Jepang,” kata Bogart Situmorang mengonfirmasi kepada Historia. Bogart merupakan keponakan Nahum, anak dari Guru Sopar Situmorang.
Baca juga: Asal-Usul Lagu "Halo-Halo Bandung"
Setelah Jepang angkat kaki, restoran tempat Nahum bernyanyi di Tarutung gulung tikar. Ia pun hijrah ke kota Medan. Di ibu kota Sumatra Utara itu, Nahum menyambung hidup sebagai pedagang perhiasan.
Tapi, aktivitas Nahum tidak melulu hanya mencari uang. Dengan cermat, dia menangkap situasi yang sedang terjadi. Di Medan, Nahum melihat kaum pribumi berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kedatangan kembali orang-orang Belanda. Orasi-orasi perjuangan yang disaksikan Nahum di Esplanade (kini Lapangan Merdeka) menggugah jiwa seninya agar ikut ambil bagian. Dari sinilah Nahum terinsipirasi menciptakan lagu berjudul “Mariam Tomong Mariam Mortir”. Berikut lirik dan artinya:
Mariam tomong mariam mortir
Meriam bambu meriam mortir
Sinapang masin mangkatai disi
(Senapan mesin berbunyi di sana)
Beta da tu sampuran
(Ayo ke air terjun)
Mamereng ulok si rata rata da
(Melihat ular berwarna hijau)
Beta sukarelawan da
(Ayo sukarelawan)
Asa lao da tu pertempuran, inang
(Mari pergilah ke pertempuran, ibunda)
Ketika perang berakhir, Nahum memantapkan hati menetap di kota Medan. Di sana, lapo tuak menjadi tempat perkumpulan orang-orang Batak. Kesitulah Nahum banyak menghabiskan waktu bertemu orang-orang beragam kalangan. Kepekaan seninya kian terasah lantaran merasakan rupa-rupa pergumulan manusia yang berkunjung ke lapo.
Dari Lapo Menjadi Legenda
Dibandingkan penyanyi lapo kebanyakan, Nahum punya sejumlah keunikan. Selain terampil bernyanyi dan memainkan alat musik, Nahum juga mahir mencipta lagu dari beragam genre. Dia menciptakan lagu dengan irama rumba seperti “Ketabo”, kalipso seperti pada “Pulo Samosir”, sampai kepada slow rock seperti pada “Endengkon di Radio Bege”. Bahkan ada yang berwarna jazz seperti “Satongkin Do”. Lagu-lagunya begitu digemari karena mengusung realitas sosial dalam alam budaya orang Batak. Dalam beberapa lagu, Nahum seolah menyisipkan kisah tentang dirinya sendiri terutama mengenai lika-liku percintaan.
Antara 1950—1960 adalah tahun-tahun keemasan Nahum dalam karier bermusiknya. Bersama Nahum’s Band, dia tampil di RRI Medan, masuk dapur rekaman, hingga mengadakan konser di Jakarta.
Baca juga: Lapo Tuak, Restonya Orang Batak
Menjelang akhirnya hayatnya, pemerintah menganugerahi Nahum penghargaan sebagai pencipta lagu rakyat daerah Batak yang paling berhasil. Pada 20 Oktober 1969, Nahum wafat di Medan setelah tiga tahun lamanya terbaring sakit akibat stroke. Pada hari yang berhujan itu, orang-orang berjubel memadati pekuburan Kristen di Jalan Gadjah Mada. Mereka melepas kepergian komponis lagu Batak yang dihormati di kota Medan itu.
Menurut Nortier Simanungkalit, komponis lagu mars nasional, Nahum adalah nama yang penting dalam perkembangan musik dan lagu Batak, di samping sejumlah nama besar lainnya. “Bahkan komponis generasi muda sekarang ini banyak yang berkiblat kepadanya,” kata Nortier dikutip Kompas, 6 Juni 1994.
Hingga tutup usianya, Nahum tetap melajang. Hak cipta atas karya-karyanya diwariskan kepada saudara-saudaranya yang kini dilembagakan dalam Ikatan Keluarga Pewaris Komponis Nahum Situmorang (IKPK-NS). Tercatat, Nahum telah menciptakan sebanyak 120 lagu semasa hidupnya. Sekalipun Nahum telah tiada, karya-karyanya tetap hidup dalam semesta lagu pop Batak. Ia terus bergaung, dipopulerkan para musikus lintas generasi, entah itu di pojok lapo tuak, rumah-rumah, atau hajatan akbar.
Baca juga:
Kisah selengkapnya Nahum Situmorang baca di Historia Premium: Bukan Seniman Lapo Tuak Biasa