Nama Ki Padmasusastra memang kurang populer dalam jagat sastra. Padahal, perannya bukan “kaleng-kaleng”. Tanpa sumbangsihnya, bisa jadi sastra Jawa hanya tinggal sejarah.
Sastra Jawa sudah ada sejak masa Jawa Kuno, sekitar tahun 700 Masehi, ketika periode animisme dan dinamisme. Eksistensinya berlanjut pada saat Islam menyebar sekitar abad ke-15, yang sekaligus menandai dimulainya periode Sastra Jawa Baru. Ketika Mataram terpecah oleh Perjanjian Giyanti, perkembangan sastra Jawa surut. Produksi karya-karya sastra dilakukan hanya dengan menerjemahkan kitab-kitab sastra Jawa Kuno ke bahasa Jawa baru. Tiga tokoh yang berpengaruh pada periode ini adalah Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita.
Setelah Ranggawarsita wafat, perlahan kiprahnya dilanjutkan “muridnya”, Ki Padmasusastra. Tokoh dengan nama lahir Suwardi -yang kemudian ganti nama menjadi Mas Ngabehi Kartadirana dan kembali berganti nama menjadi Mas Ngabehi Bangsayuda III– itu memulai kariernya dengan menjadi abdi dalem Mantri Gedhong Kiwa. Selama menjadi abdi dalem, ia telah aktif menulis.
“Tahun 1865 Ki Padmasusastra telah berumur kira-kira dua puluh empat tahun, mulai menulis di surat kabar Jawi Kandha yang terbit di Surakarta,” kata Renggo Astuti, dkk. dalam buku Kepengarangan Pujangga Ki Padmasusastra.
Baca juga: Prapanca, Pujangga Majapahit yang Diasingkan
Selain menulis di Jawi Kandha, sejak tahun 1870 Ki Padmasusastra aktif menulis di surat kabar Bromartani. Salah satu penulis Belanda yang mempengaruhi karya tulis Ki Padmasusastra adalah C.F. Winter.
“Ki Padmasusastra banyak menggunakan buku-buku C.F. Winter sebagai bahan perbandingan dan acuan terhadap karangan-karangannya,” sambung Renggo Astuti dkk.
Ki Padmasusastra muncul sebagai tokoh sastra Jawa baru yang lebih modern. Setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai abdi dalem, ia mantap menggunakan nama Ki Padmasusastra.
Saat itu ia berumur 42 tahun, jabatannya kepala Kantor Kriminal Surakarta, dengan nama Ngabehi Kartipradata. Ia terlilit utang yang tidak dapat dibayar. Lantaran dianggap kurang baik, jabatannya pun dicabut oleh pihak keraton.
Baca juga: Nama Sebenarnya Penulis Nagarakrtagama
Setelah lepas dari lingkungan keraton, Ki Padmasusastra mengikuti ajakan DF Van der Pant mengajar bahasa Jawa di Jakarta. Van der Pant adalah seorang guru bahasa Jawa Gymnasium Koning Willem III afdeeling B di Meester Cornelis.
Di sana, Ki Padmasusastra bergaul dengan sarjana-sarjana bangsa Eropa yang belajar tentang bahasa dan kesustraan Jawa. Ki Padmasusastra pun terpacu dan semakin giat menulis dan menekuni kesusastraan Jawa.
Kendati hanya lima tahun di Jakarta, kegiatan tersebut mempengaruhi gaya kepenulisan Ki Padmasusastra. Ia mulai menapaki dunia sastra Jawa modern tanpa meninggalkan pijakan gaya sastra Jawa sebelumnya. Pada 1888, Ki Padmasusastra kembali ke Surakarta dan menjadi redaktur Djawi Kandha.
Inspektur De Nooy, pejabat Belanda yang mengurusi pendidikan pribumi, mengajak Ki Padmasusastra ke Belanda pada 14 September 1890. Akan tetapi sakit membuat Ki Padmasusastra hanya satu tahun tinggal di Belanda. Sekembalinya ke Surakarta, ia menjadi redaktur Djawi Kandha.
Ki Padmasusastra semakin berkembang, ia lalu dipercaya menjadi direktur di beberapa surat kabar. Selain Djawi Kandha, ia juga redaktur di Bromartani. Oleh Radya Pustaka ia dipercaya untuk mengurus surat kabar Sasadara dan Tjandracantha. Memegang banyak media tak menghalangi Ki Padmasusastra untuk “eksis” dengan idealismenya. Dalam konteks ini, ia menerbitkan majalah yang diberi nama Waradarma.
Ki Padmasusastra kemudian juga mendirikan kursus bahasa dan kesusastraan Jawa di daerah Jatinom, Klaten. Dari lembaga kursus ini muncul penulis-penulis terkenal. Dua di antaranya Djie Siang Ling, redaktur Djawikandha, dan RP Partarahatja, redaktur Retna Dumilah.
Baca juga: Jinarwa Raden Ngabehi Ranggawarsita
Kegiatan Ki Padmasusastra menulis dan mengajar membuat sastra Jawa masih berproduksi hingga kini. Ki Padmasusastra pensiun pada tahun 1924. Dua tahun setelahnya, ia wafat dan dimakamkan di Kebonlayu Begalon.
Ia meninggalkan banyak karya sastra. Antara lain Rangsang Tuban, Layang Madubasa, Serat Pathibasa, Paramabasa, Wamabasa, Serat Erang-erang, Layang Basa Jawa, Serat Kancil Tanpa Sekar, Serat Urapsari, Piwulang becik, Baletri, Serat Tatacara, Hariwara, dan Kawruh Klapa. Masih ada karyanya yang belum terdeteksi.