Masuk Daftar
My Getplus

Dardanella Jadi Saksi Konflik Yahudi-Arab di Palestina

Palestina menjadi tujuan rombongan Dardanella saat tur ke wilayah Timur Tengah. Di sana mereka menjadi saksi ketegangan antara orang Yahudi dan penduduk Arab.

Oleh: Amanda Rachmadita | 20 Okt 2023
Penduduk Arab kembali ke kota tua Yerusalem setelah pencabutan jam malam, 22 Oktober 1938. (National Photo Collection of Israel/Wikimedia Commons).

VLADIMIR Klimanoff alias A. Piedro punya banyak mimpi besar saat merintis The Malay Opera Dardanella di Sidoarjo pada 1920-an. Salah satunya menjadikan Dardanella sebagai rombongan pertunjukan nomor satu di Nusantara.

Piedro mendirikan Dardanella tepat di hari ulang tahunnya yang ke-23 pada 21 Juni 1926. Mulanya hanya memberikan pertunjukan di tempat-tempat kecil di Jawa Timur. Seiring berjalannya waktu, dengan bergabungnya sejumlah pemain berbakat, di antaranya Tan Tjeng Bok, Soetidja yang kemudian dikenal dengan nama Miss Dja atau Dewi Dja, Astaman, hingga Miss Riboet II, Dardanella menjelma menjadi kelompok pertunjukkan yang dikenal di berbagai wilayah Nusantara.

Jalan Piedro membawa Dardanella menjadi kelompok pertunjukkan terpopuler di Nusantara mulai terbuka pada akhir tahun 1920-an. Sejarawan Jaap Erkelens menulis dalam Dardanella, Perintis Teater Indonesia Modern: Duta Kesenian Indonesia Melanglang Buana bahwa di sepanjang tahun 1927 hingga 1935, Dardanella tampil di berbagai wilayah di pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga wilayah Indonesia timur. Sukses menarik perhatian masyarakat di Nusantara, membuat hasrat Piedro untuk meningkatkan popularitas Dardanella semakin besar. Ia pun membidik masyarakat internasional.

Advertising
Advertising

Tur internasional Dardanella dimulai pada 1935. Singapura menjadi negara pertama yang dikunjungi. Setelahnya Dardanella tampil di berbagai negara. Tur ke wilayah Timur Tengah pada 1938 menjadi pengalaman tak terlupakan. Dardanella tampil mulai dari Basrah, Baghdad, hingga Beirut di Lebanon. Piedro menilai keuntungan dari pertunjukan di tempat terakhir tidak menjanjikan. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengadu nasib di Mesir.

Baca juga: Dardanella Menembus Panggung Dunia

Dardanella meninggalkan Beirut melalui Haifa pada 2 Juni 1938. Mereka menumpang kapal Champollion milik perusahaan Prancis Messageries Maritimes menuju Aleksandria. Setibanya di sana, Dardanella menggelar pertunjukkan selama dua minggu. Seusai pentas mereka bertamasya ke Kairo serta berkunjung ke museum dan piramida. Setelahnya mereka kembali ke wilayah Palestina, di mana mereka dijadwalkan tampil di Teater Mograbi pada 21, 22, dan 23 Juni 1938.

Menurut Erkelens saat Dardanella berangkat dari Aleksandria, Piedro telah memiliki perjanjian dengan seorang impresario Yahudi untuk berkeliling di negeri itu selama dua bulan. Ia berniat menggelar pertunjukan di seluruh Palestina. Namun, meningkatnya ketegangan antara orang Yahudi dan penduduk Arab di Palestina membuat rencana Piedro sulit dilaksanakan.

“Ketegangan antara orang Yahudi dan penduduk Arab di Palestina menyebabkan diberlakukannya jam malam mulai pukul 18.00. Selain itu semua instansi publik, toko, dan teater ditutup pada malam hari,” tulis Erkelens.

Selama dua bulan itu, rombongan Dardanella hanya dapat melakukan pertunjukan delapan kali, yakni di Tel Aviv, Yerusalem, Jaffa, dan Haifa. Ketegangan antara orang Yahudi dan penduduk Arab membuat kegiatan Dardanella menjadi lebih berisiko. Seperti saat Dardanella hendak menggelar pertunjukan di Haifa. Pementasan gagal karena sebuah bom meledak tepat di depan pintu masuk utama. Beberapa pengunjung yang berdiri di loket untuk membeli tiket terbunuh. Piedro dan rombongan selamat karena melarikan diri ke dalam gedung teater.

Baca juga: Miss Riboet Memadukan Seni dan Olahraga

Pada kesempatan lain, Dardanella menggelar pertunjukan dengan lancar di Jaffa. Namun, seusai pertunjukan, dalam perjalanan kembali ke Tel Aviv dengan dua bus –bus satu mengangkut pengunjung Yahudi, sedangkan Piedro dan rombongan menumpang bus kedua–, bus dengan penumpang Yahudi dilempar bom yang menyebabkan banyak orang tewas dan terluka.

Para sejarawan memandang ketegangan antara dua kelompok itu berkaitan dengan Pemberontakan Arab di wilayah Palestina sejak tahun 1936. Sejarawan Abigail Jacobson dan Moshe Naor menulis dalam Oriental Neighbors: Middle Eastern Jews and Arabs in Mandatory Palestine bahwa salah satu aspek dari Pemberontakan Arab adalah pentingnya periode ini sebagai titik balik dalam perkembangan Yishuv (permukiman Yahudi), gerakan nasional Palestina, dan konflik Yahudi-Arab.

“Namun, ada juga yang berpendapat bahwa titik balik yang paling signifikan dalam hal pola pemisahan antara Yahudi dan Arab sebenarnya terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya, selama kerusuhan tahun 1929. Para sarjana yang membuat argumen ini tidak hanya berfokus pada segregasi ekonomi, tetapi lebih khusus lagi pada segregasi fisik, dalam bentuk migrasi orang-orang Yahudi dari Jaffa dan lingkungan di kota-kota campuran lainnya,” tulis Jacobson dan Naor.

Selama Pemberontakan Arab, aksi saling serang antara kelompok Yahudi dan Arab kerap kali terjadi. Salah satu organisasi militer Yahudi yang kerap melancarkan serangan adalah Irgun Zvai Leoumi. Selama musim panas 1938, kelompok ini aktif melakukan serangan, seperti penembakan terhadap target sipil; melemparkan granat ke arah warga sipil; dan meletakkan bom di tempat-tempat pertemuan umum –termasuk kafe, halte bus, dan pasar– di pusat-pusat wilayah Arab di Jaffa, Yerusalem, dan Haifa.

Baca juga: Ribut Sengketa Nama Miss Riboet

Mengutip surat kabar The Palestine Post, 2 Januari 1939, serangan demi serangan yang terjadi di Haifa pada paruh kedua tahun 1938 menyebabkan lebih dari 150 orang tewas dan lebih dari 350 orang terluka. Korban-korban ini diakibatkan oleh ledakan bom, penembakan, penusukan, dan pelemparan batu di berbagai wilayah di Haifa. Imbasnya, pengamanan di wilayah Haifa semakin diperketat. “Setelah bulan Juli, sekitar 700 polisi khusus direkrut untuk bertugas dan berpatroli di berbagai tempat, dan sekitar 40 ‘tembok keamanan’ didirikan di persimpangan-persimpangan strategis sebagai upaya untuk menangkap para pelaku teror. Selain itu, polisi dan militer juga menambah jumlah anggotanya untuk melakukan patroli yang mengakibatkan banyak penangkapan serta penahanan.”

Selain di Haifa, wilayah Yerusalem juga memperketat pengamanan di wilayahnya. Dalam surat kabar The Palestine Post, 29 Juni 1938, disebutkan bahwa jam malam diberlakukan di wilayah kota Yerusalem pada pukul delapan malam, dan orang-orang diperintahkan untuk tidak berada di jalanan pada jam tersebut, hingga pukul enam pagi.

Risiko besar yang dihadapi rombongan Dardanella selama dua bulan menggelar pertunjukan di tengah ketegangan kelompok Yahudi dan penduduk Arab, membuat mereka mendapat pengawalan dari tentara Inggris. Sementara itu, pembatasan aktivitas di malam hari membuat rombongan harus memutar otak agar dapat bertahan di tengah kondisi yang tak menentu.

Baca juga: Achmad Subardjo di Tengah Konflik Israel-Yordania

Dewi Dja, salah satu pemain andalan Dardanella, berkisah dalam Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella, bahwa untuk mendapat pemasukan, rombongan Dardanella meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi yang menguasai gedung pertunjukan di wilayah Yerusalem agar diizinkan menggelar pertunjukan di siang hari. Sayangnya, permintaan itu tidak dikabulkan. “Kami diharuskan menunggu sampai aman lagi. Akibatnya, maka uang keluar banyak lagi, sedangkan pemasukan tidak ada selama keadaan tidak aman,” katanya.

Dalam keadaan terdesak, Piedro memutuskan berangkat ke London menggunakan pesawat terbang guna mencari seorang impresario yang mampu dan bersedia mengatur serangkaian pertunjukan Dardanella keliling Eropa. Di sana, ia menerima bantuan dari Eric Wollheim (1879–1948). Impresario terkenal ini pernah menjadi impresario Sergei Diaghilev (1872–1929), direktur rombongan tari balet Ballets Russes di Inggris, yang membesarkan Anna Pavlova pada awal kariernya.

Wollheim mengenalkan Piedro kepada Eugene Grunberg di Paris. Dialah yang mengadakan perjanjian dengan Piedro untuk tur selama satu tahun di Eropa dan Amerika Serikat, yang direncanakan dimulai pada 1 Oktober 1938. Kerja sama itu memberi angin segar bagi Piedro dan Dardanella.

Setelah kembali ke Tel Aviv, Piedro bersama rombongan Dardanella bersiap meninggalkan wilayah Palestina. Pada 15 Agustus 1938, mereka berlayar melalui Port Said dan Aleksandria menuju ke Eropa.*

TAG

dardanella palestina israel yahudi

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Selintas Hubungan Iran dan Israel Tepung Seharga Nyawa Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Seputar Deklarasi Balfour Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina Piala Asia Tanpa Israel Mandela dan Palestina