Masuk Daftar
My Getplus

Bobo dari Belanda ke Indonesia

Bobo dikenal sebagai pionir majalah khusus anak di Indonesia. Ide kemunculannya berkaitan dengan majalah Bobo di Belanda.

Oleh: Amanda Rachmadita | 10 Okt 2023
Pameran majalah Bobo di Erasmus Huis, Jakarta, 9-19 Oktober 2023. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

SIAPA yang tak mengenal Bobo, Coreng, Upik, dan Cimut? Keempat karakter ini kerap menghiasi berbagai cerita dalam majalah Bobo. Pionir majalah anak-anak di Indonesia ini terbit pertama kali pada 14 April 1973. Mulanya Bobo berupa lembaran khusus untuk anak di harian Kompas. Sambutan positif pembaca memunculkan gagasan untuk menerbitkan majalah khusus anak-anak. Terlebih pada masa itu majalah khusus anak yang tersedia dalam bahasa Indonesia masih belum banyak ditemukan.

Menurut Kurniawan Junaedhie dalam Rahasia Dapur Majalah Indonesia, gagasan menerbitkan majalah khusus anak ini datang langsung dari P.K. Ojong. Wartawan dan pengusaha yang turut mendirikan Kelompok Kompas Gramedia itu tertarik menerbitkan majalah khusus anak di Indonesia setelah membaca majalah anak-anak berbahasa Belanda, Bobo, terbitan CV Oberon yang telah menarik perhatian publik dan anak-anak di Negeri Kincir Angin sejak tahun 1968.

“Untuk merealisasikan gagasannya, Ojong mengangkat Tineke Latumeten, mantan sekretaris redaksi Kompas, yang selama itu ikut mengelola halaman anak-anak Kompas dengan nama Kak Tina, sebagai pemimpin redaksinya,” tulis Junaedhie.

Advertising
Advertising
Pameran majalah Bobo di Erasmus Huis, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Ojong kemudian menjalin kerja sama dengan CV Oberon dengan membeli copyright majalah anak-anak tersebut guna mendapatkan bahan-bahan untuk majalah khusus anak di Indonesia. Dari bahan-bahan berupa color separation itulah Bobo mendapatkan materi untuk isi majalahnya.

Setelah melalui berbagai persiapan, majalah Bobo terbit 16 halaman dan ditujukan untuk anak-anak TK hingga SD. Isinya sebagian besar komik, permainan, dan cerita terjemahan. Semboyannya “Belajar Sambil Bermain”. “Penampilan majalah anak-anak ini terkesan meriah. Selain gambar sampulnya yang beraneka warna, sebagian halaman isinya juga dicetak berwarna. Dengan itu, Bobo tercatat sebagai majalah anak-anak pertama yang menggunakan halaman berwarna-warni,” tulis Junaedhie.

Baca juga: Jurnalisme Kepiting Jakob Oetama dengan Kompas

Sejak kemunculannya di Indonesia, majalah Bobo sukses menarik perhatian publik, khususnya anak-anak dengan cerita-cerita yang menarik, serta hadiah-hadiah berupa stiker maupun mainan. Sementara itu, menurut Tineke, keunggulan Bobo dibanding majalah-majalah pendahulunya adalah sifatnya yang lebih menghibur. Kala itu P.K. Ojong pun selalu mewanti-wanti agar Bobo menjadi bacaan rekreatif untuk anak-anak. Majalah itu pun sebisa mungkin tidak membahas mengenai pelajaran sekolah karena setiap hari anak-anak sudah dijejali pekerjaan rumah.

Dalam perkembangannya Bobo selalu beradaptasi dengan tuntutan zaman, salah satunya perubahan logo. Majalah khusus anak yang tahun ini berusia 50 tahun sudah mengalami tiga kali perubahan logo. Selain itu, sejak tahun 1980-an, Bobo mulai mengurangi dominasi cerita dan komik impor dan menggantinya dengan menampilkan lebih banyak komik dan cerita karya pengarang lokal. Bobo juga mulai memunculkan rubrik nonfiksi.

Majalah Bobo Indonesia dan Bobo Belanda dalam pameran di Erasmus Huis, Jakarta. (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Dede Lilis Ch. dalam Media Anak Indonesia: Representasi Idola Anak dalam Majalah Anak-anak menyebut mulai edisi tahun 1993, Bobo memunculkan rubrik “profil” dan “liputan”. “Rubrik ‘liputan’ melaporkan tentang peristiwa, tempat dan kegiatan yang berkaitan dengan dunia kanak-kanak, baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan ‘profil’ lebih banyak menampilkan anak-anak berprestasi serta orang dewasa yang berprofesi di berbagai bidang,” sebutnya.

Popularitas Bobo membuat majalah ini menjadi bacaan yang paling dinanti anak-anak. Sejak awal kemunculannya, tiras Bobo edisi perdana yang dicetak 50 ribu eksemplar langsung diserbu masyarakat. Edisi-edisi Bobo berikutnya, pesanan agen terus bertambah. Bahkan, oplah tertinggi Bobo mencapai 385.000 eksemplar. Tak hanya dibeli oleh pelanggan tetap, Bobo juga diedarkan ke sekolah-sekolah dasar sebagai bacaan para siswa.

Baca juga: Komik Strip Panji Koming di Kompas Merekam Zaman

Selanjutnya Bobo menerbitkan Bocil, singkatan dari Bobo Kecil. Jika Bobo kebanyakan dibaca anak-anak sekolah dasar, maka Bocil ditujukan untuk anak-anak pra-TK. Kesuksesan Bobo sebagai pionir majalah anak di Indonesia mendorong terbitnya beragam majalah anak-anak lain.

Dalam rangka merayakan Hari Anak Belanda dan memperingati 50 tahun majalah Bobo di Indonesia, diadakan kegiatan bertajuk “Growing Up with Bobo: from the Netherlands to Indonesia” di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta. Selain diskusi yang menghadirkan perwakilan majalah Bobo Indonesia dan Belanda pada Sabtu, 7 Oktober 2023, acara ini juga menampilkan pameran edisi awal majalah Bobo dari kedua negara.

Baca juga: Si Gundul Tabloid Bola dalam Memori

Menariknya, di salah satu sudut pameran, pengunjung dapat melihat pohon keluarga Bobo yang menampilkan perbedaan-perbedaan antara karakter majalah Bobo Belanda dan Indonesia. Salah satu perbedaan yang cukup mencolok adalah nama-nama karakternya. Meski karakter utama sama-sama bernama Bobo, anggota keluarganya memiliki nama yang berbeda. Di Belanda misalnya, adik-adik Bobo bernama Krabbel, Boemsi, dan Tumtum; sementara di Indonesia namanya Coreng, Upik, dan Cimut.

Tak hanya itu, pengunjung juga dapat melihat boneka Bobo versi Belanda dan Indonesia, serta beragam aksesoris terkait kelinci biru ini. Pameran diselanggarakan mulai tanggal 9 hingga 19 Oktober 2023, buka setiap hari kecuali Minggu, dari pukul 10.00–16.00 WIB.*

TAG

media massa

ARTIKEL TERKAIT

Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben