PAGI 15 Agustus 2016 itu, pemain legendaris Jerman dan Borussia Dortmund (1982-1993) Lars Ricken baru saja menutup diskusi di hadapan 35 wartawan asing di sebuah lounge di Stadion Signal-Iduna Park. Momen itu langsung dimanfaatkan Indra Citra Sena, wartawan Tabloid Bola, untuk berfoto bareng sang legenda sambil memamerkan souvenir topi dan stiker berlogo Bola dan stiker Si Gundul. Pesanan kantor buat dokumentasi, katanya.
Di pertengahan Agustus itu, hanya dua wartawan dari Indonesia yang diundang Bundesliga menyaksikan laga DFL Cup antara Borussia Dortmund vs Bayern Munich pada 14 Agustus dan tur ke Dortmund. Indra salah satunya. Pertemuan dengan Ricken dan beberapa petinggi Dortmund merupakan bagian dari tur.
Selain diberikan kepada Ricken, maskot Si Gundul juga dihadiahkan Indra untuk Carsten Cramer, Chief Operating Officer BVB, badan hukum klub itu. “This is Si Gundul. The icon of our media,” cetus Indra menerangkan saat Ricken dan Cramer memerhatikan stiker Si Gundul. Keduanya menyambut dengan senyum hangat.
Baca juga: Willie, singa berambut ala personel The Beatles, pelopor tradisi maskot
Sebetulnya, stiker dan topi Si Gundul juga diberikan kepada Lothar Mätthaus, legenda timnas Jerman dan Bayern Munich (1979-2000), yang ditemui di sebuah restoran di Düsseldorf sebelum laga. Namun, sambung wartawan berkepala plontos yang agak mirip Si Gundul itu, “Mätthaus enggak mau karena posisi dia di media juga waktu itu, Fox Sports.”
Toh, Indra bisa memahami dan tetap senang. Selain bisa memperkenalkan Si Gundul pada bos Dortmund dan Ricken, Indra juga bisa menyebarkan Si Gundul lewat kaos, stiker, dan topi yang diberikan kepada Jean Zahibo, wartawan undangan asal Pantai Gading, sebelum kepulangan kami ke tanah air.
Kenangan bersama Indra tiga tahun silam di negerinya Gottlieb Daimler dan Adi Daessler itu seketika menyeruak kala mendengar Bola akan gulung tikar dua pekan lalu. Keputusan bubar itu dituangkan redaksi dalam akun Twitter @TabloidBOLA, 17 Oktober 2018: “Sesuai sejarahnya, edisi pertama BOLA pada 1984 terbit pada hari Jumat dan akan berakhir pada Jumat pula. Terbit 56 halaman dan full color. #TerimaKasihPembaca.”
Berakhirnya Bola pada Jumat, 28 Oktober, mengakhiri pula eksistensi Si Gundul yang mejeng di rubrik Sepakbolaria. Jika Tabloid Bola, lahir pada 1984, awalnya bermula dari sisipan di Koran Kompas, karakter Si Gundul karya Hanung Kuncoro alias Nunk pertamakali hadir di Bola empat tahun berselang bersamaan dengan Bola lepas dari sisipan Kompas.
Baca juga: Nasib nelangsa maskot pertama dan satu-satunya maskot hidup di Asian Games
Karakter berkepala plontos itu kerap mengundang tawa pembaca dengan beragam adegan slapstick-nya. Dalam perkembangannya, Si Gundul tak hanya mengisi rubrik Sepakbolaria namun juga opini dan dijadikan beragam ilustrasi tulisan lain, dan gambar di kaos merchandise yang dijual Bola sekitar tahun 1990. Saking nyantolnya Si Gundul di dalam memori masyarakat, tak mengherankan bila banyak warganet penggila bola prihatin terhadap kabar penghentian Bola dan menumpahkan nostalgia di beragam linimasa media sosial.
Asal Usul Si Gundul
Si Gundul, dengan hanya dua helai rambut menjuntai di kepala gundulnya plus wajah minimalis berupa sebidang oval dengan dua titik sebagai sepasang mata dan segaris lengkung mulut, merupakan karakter jenaka yang begitu kuat.
“Kenapa seperti itu? Saya melihatnya kan gini. Bola itu kan bulat ya. Saya harus bikin maskot atau ikon yang simple, polos, sporty dan menggemaskan. Ya dari corat-coret yang awalnya saya bikin, ketemulah bentuk Si Gundul itu. Lalu untuk menguatkan karakternya, kita harus kuasai bahasa tubuhnya, bahasa ekspresi,” ujar Hanung saat dihubungi Historia.
Si Gundul pertamakali mengorbit pada 17 Juni 1988. Hanung menamakan strip kartunnya “Sepakbola La La La”. Saat itu, Hanung yang baru lulus dari Jurusan Ekonomi Universitas Diponegoro, baru sekadar ilustrator lepas. Namun karena mengidamkan kerja di media dan untuk membunuh waktu di saat belum memiliki pekerjaan tetap, dia sering mengirim strip kartun ke Bola.
“Waktu terbit pertamakali di tanggal itu saya enggak menyangka. Saya lihat Tabloid Bola di peron Stasiun Tawang untuk nunggu kereta api ke Jakarta. Waktu itu saya sedang ingin tes masuk PGN (Perusahaan Gas Negara). Habis itu saya beranikan main ke kantor Bola sekaligus ambil honor,” lanjut pria asli Rembang itu.
Baca juga: Seputar maskot-maskot Asian Games (bagian I)
Honor Hanung kala Rp15 ribu terbilang besar. “Buat membandingkan, harga nasi goreng saja waktu itu cuma Rp600,” jelasnya. Bukan main senangnya Hanung. Makin semangat dia mengirim strip kartun Si Gundul, terlebih dia juga gagal masuk masuk PGN.
“Akhirnya September (1989) saya kembali ke Jakarta. Wapemred (wakil pemimpin redaksi) Pak Sumohadi Marsis ingin ketemu. Pas mengobrol, dia tanya keseriusan saya untuk jadi ilustrator Bola. Saya jawab serius karena memang cita-cita saya memang itu. Akhirnya setelah ikut beragam tes, Mei 1990 saya resmi di Bola,” kenangnya.
Strip kartun bernama Sepakbola La La La itu kemudian berganti nama jadi Sepakbolaria. “Memang saya yang ganti sendiri biar lebih efisien dan simple menyebutnya. Tidak belibet. Sama redaksi juga enggak masalah saya ganti,” tambah Hanung.
Sejak 1988 sampai Bola edisi terakhir, terbit 26 Oktober 2018, bentuk Si Gundul sudah mengalami enam kali perubahan. “Ya tidak terasa saja itu berubah. Bentuk pertamanya pun sebelum saya kirim ke Bola yang diterbitkan 1988 itu sudah lupa. File lama saya sudah enggak tahu ke mana,” ujarnya.
Baca juga: Seputar maskot-maskot Asian Games (bagian II)
Lantas, bagaimana kelanjutan “hidup” Si Gundul setelah Bola gulung tikar mengingat hak patennya secara resmi sudah dimiliki Bola?
“Hak paten itu dibeli secara resmi pada 2011. Jadi yang dibeli karya intelektualnya. Tetapi hak cipta masih pada saya. Soal kelanjutan, memang Si Gundul kan aset punya Bola. Tapi kan saya sebagai penciptanya masih ada. Alangkah mubazir kalau Si Gundul juga sudah tidak ada lagi. Saya berharap Si Gundul masih bisa eksis, entah bagaimana caranya. Senin (29 September 2018) nanti ada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Selasa akan keluar hasilnya. Kalau toh diserahkan pada saya, akan saya kelola mandiri. Kalau ada hasil lain, biar nanti ada pembicaraan lain lagi,” tutupnya.