Yogyakarta, Februari 1947. Sebuah mobil memasuki halaman kepresidenan. Di depan ruang tunggu pada sayap kiri gedung kediaman Presiden mobil berhenti. Menteri Sosial Maria Ulfah Santoso keluar, mengapit tas, naik ke beranda, lalu menghilang ke belakang. Wakilnya Mr. Abdulmajid Djojodiningrat mengikuti dari belakang. Langkahnya santai saja.
Tidak lama, decit ban mobil kembali menggeser pasir dan kerikil istana. Muncul Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan. Di belakangnya sang wakil Lukman Hakim terlihat berlari kecil. Mobil berikutnya tiba. Kini muncul Menteri Pekerjaan Umum Martinus Putuhena, bersama Menteri Muda Pekerjaan Umum Herling Laoh. Keduanya melempar senyum lebar ke arah wartawan Siasat Rosihan Anwar.
“Demikianlah mereka datang. Dua-dua, terkadang sendirian menyelinap dari samping seperti Menteri Negara Wikana atau melenggang besar-besar dari muka seperti Menteri Kesehatan Darmasetiawan. Demikian para menteri dalam berbagai gaya serta ragamnya datang berkumpul di Kepresidenan untuk bersidang jam 10 pagi sebagaimana tercantum dalam acara rapat,” kata Rosihan dalam bukunya, Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 7.
Baca juga: Ketika Rosihan Anwar Mendampingi Diplomat Inggris
Anehnya, jam 10.00 rapat belum juga dimulai. Banyak kursi di ruang persidangan yang masih kosong. Sebagian menteri masih duduk santai membaca, atau bercakap-cakap dengan menteri lain di samping ruang rapat. Hanya Sekertaris Kabinet Mr. Ali Budiarjo yang terlihat rajin mondar-mandir dari satu ruangan ke ruangan lain.
“Bagaimana keadaan di pedalaman sekarang ini?” tanya Rosihan kepada Menteri Muda Perhubungan Setiajit Sugondo yang sedari tadi berdiri bersilang tangan di ambang pintu yang menghadap ke pekarangan.
“Tidak lebih bagus, tidak lebih jelek,” jawabnya diiringi sebuah senyuman yang sulit Rosihan tafsirkan.
Waktu menunjukkan pukul 10.30. Lorong-lorong menuju ke ruang persidangan sudah mulai dijaga oleh polisi yang mondar-mandiri menyandang karabin. Di dalam ruang sidang, meja-meja diatur agar para menteri duduk saling berhadapan. Pada deret utara, yakni meja-meja yang letaknya menghadap jalan besar Malioboro duduk Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirtoprodjo dengan Menteri Mudanya Mr. Hadi. Kemudian Menteri Pekerjaan Umum dan Wakilnya, Menteri Muda Pertahanan, Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi, dan Menteri Negara Hamengku Buwono IX.
Berhadapan dengan deret utara, yakni deret selatan, duduk Menteri Kemakmuran A.K. Gani, Menteri Keuangan dan wakilnya, Menteri Negara, Kepala Polisi Sukanto, Menteri Muda Sosial Abdulmadjid Djojoadiningrat. Sementara di deret timur duduk Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri Mohammad Roem, Menteri Perhubungan Djuanda Kartawidjaja, dan di tengah-tengah baris ini duduk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Baca juga: Menterinya Dibilang Goblok, Sukarno Tersinggung
Depan deret presiden, deret barat, duduk Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, sekaligus ketua sidang Sutan Sjahrir. Di sampingnya terdapat Menteri Penerangan dan wakilnya A.R. Baswedan, Menteri Negara Tan Po Goan, Menteri Kesehatan dan wakilnya J. Leimena yang datang terlambat, kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr. Soewandi dan wakilnya Ir. Gunarso. Pada meja tersendiri, di belakang Presiden, duduk Sekertaris Negara. Sementara di belakang Perdana Menteri, duduk Mr. Ali Budiarjo selaku notulis. Rosihan sendiri mengambil kursi di dekat Sekertaris Negara.
Hingga semua peserta duduk di ruangan, suasana masih belum tenang betul. Masih banyak yang sibuk berbicara. Presiden baru masuk. Tiba-tiba ketua rapat mengetok meja. Hadirin diam. Setelah membuka rapat, dibacakanlah agenda pagi itu: pengesahan ikhtisar rapat kabinet 1946 dan 1947; pembicaraan tentang politik luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan; soal anggaran belanja; membicarakan usul-usul yang masuk; pertanyaan keliling; dan menetapkan hari serta tempat sidang berikutnya.
Pembicaraan pertama dibuka dengan agenda rapat ke-4, yakni tentang usul-usul yang masuk. Agenda satu sampai tiga ditangguhkan sebab belum adanya kelengkapan sidang. Ditambah Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin belum juga tiba dari Jakarta. Pada agenda ke-4, Menteri Kehakiman Susanto menjadi pembicara pertama. Dia berbicara panjang lebar soal kesukaran-kesukaran hidup yang dialami oleh pegawai negeri, terutama pegawai Republik di Jakarta, setelah keluarnya ORI (Oeang Republik Indonesia).
Baca juga: Mengenal Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA)
Susanto lantas beranjak dari kursinya, lalu memberikan sebuah surat kepada Sjahrir. Disebutkan di sana bahwa setiap pekerja di Jakarta hendaknya diberi bantuan oleh pemerintah. Sementara itu Menteri Penerangan M. Natsir juga berdiri dan menyerahkan sebuah telegram kepada pimpinan sidang. Telegram dari Walikota Jakarta Suwiryo tersebut berisi permohonan perhatian kabinet akan nasib rakyat Jakarta sejak merosotnya nilai ORI.
Menteri Muda Sosial Abdulmajid membeberkan data-data tentang bagaimana sulitnya kehidupan buruh di Jakarta. Upah bersih seorang buruh dalam seminggu rata-rata 22,44 rupiah. Sementara kebutuhan mereka untuk jangka waktu yang sama sebesar 55 rupiah. Menteri Sosial Maria Ulfah lalu mengusulkan supaya tunjangan istimewa bagi kota Jakarta kembali dihidupkan.
Suasana mulai tegang ketika Menteri Kemakmuran A.K. Gani menyebut kesukaran itu bisa saja terjadi karena adanya praktek korupsi pejabat. Menteri Negara Sudrasono membantah tudingan tersebut. Dia menyebut jika itu pun ada mungkin merupakan bagian dari politik harga, yang mestinya disesuaikan dengan keadaan, bukan malah menyusahkan.
Para menteri beramai-ramai mengutarakan pendapatnya. Sanggahan demi sanggahan terkadang membuat arah pembicaraan semakin tidak karuan, membuat pimpinan rapat sesekali menegaskan agar tetap berfokus kepada Jakarta. Lalu Wakil Presiden Mohammad Hatta yang sedari tadi hanya terdiam mulai mengutarakan pendapatnya.
Baca juga: Bung Hatta Skakmat Kawan yang Mengelabuinya
“Segala pembicaraan sampai sekarang hanya dilihat dari sudut partieele oplossing (pemecahan sebagian) saja. Itu tidak beres. Soal ini sebenarnya soal kompleks. Pokok untuk memecahkan soal ekonomi sekarang ialah sistem distribusi yang komplit,” tegas Hatta. Panjang lebar dia membentangkan pikirannya dengan tenang, namun tajam, membuat para hadirin terdiam.
Setelah melalui pembicaraan mendalam, akhirnya diambil keputusan untuk memberi beberapa opsi guna membantu kehidupan rakyat Jakarta yang mengalami kesukaran. Sidang kabinet memasuki agenda istirahat pukul 2 siang. Setelah menyantap sepiring nasi goreng dan sedikit beristirahat, sidang kembali dilanjutkan hingga pukul 8 malam.
“Demikianlah pengalaman saya, yang walaupun bukan menteri toh dapat menghadiri sidang kabinet di Yogya. Barangkali itu merupakan sebuah pertanda pula akan hubungan baik wartawan dengan pemerintah dalam zaman perjuangan itu yakni tiada seorang pun menteri menganggap aneh kehadiran saya dalam ruang persidangan kabinet. Dan saya sebagai wartawan menganggap para menteri itu sebagai teman seperjuangan betul-betul,” kata Rosihan.
Menurutnya keakraban hubungan antara wartawan dengan menteri seperti yang pernah dilihatnya itu barangkali hanya timbul satu kali saja dalam sejarah Indonesia yaitu dalam masa revolusi dan masa perjuangan kemerdekaan.