Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, harga barang-barang melonjak. Pada awal tahun 1966, terjadi kenaikan harga minyak dan bahan bakar hingga keadaan bertambah buruk. Presiden Sukarno mendapat tekanan dari mahasiswa, yang kebanyakan makin tidak suka kepadanya. Bahkan, mahasiswa menyebut para menterinya goblok.
Sukarno meminta semua pihak bersabar atas kenaikan harga barang-barang yang tengah melanda Indonesia. Dia menyadari menurunkan harga bukan perkara mudah. Dia pun melontarkan tantangan.
“Siapa saja yang berani dan sanggup menurunkan harga dalam waktu tiga bulan akan diangkat menjadi Menteri Penurunan Harga. Tetapi jika gagal, dia akan ditembak mati,” kata Bung Karno dalam pidatonya yang terangkum dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September 1965–Pelengkap Nawaksara suntingan Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.
Baca juga: Balada Menteri Goblok
Rupanya ada satu orang yang berani menerima tantangan Sukarno itu. Dia adalah Hadely Hasibuan SH. Pengacara yang pernah jadi wartawan itu lalu menulis surat kepada Sukarno dan mengirimnya sendiri ke istana.
“Saya ingin menolong Bung Karno. Saya punya konsep untuk menurunkan harga dalam waktu 3 bulan. Dan saya bersedia ditembak mati, bila pelaksanaan konsep itu gagal dalam tempo 3 bulan. Sekali lagi maksud saya untuk menolong Bung Karno. Hidup Bung Karno,” tulis Hadely Hasibuan dalam Pengalamanku Sebagai Calon Menteri Penurunan Harga.
Baca juga: Menterinya Dibilang Goblok, Sukarno Tersinggung
Beberapa hari kemudian, Hadely ditelepon Sekretariat Negara agar datang ke istana menghadap Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Johannes Leimena. Hadely pun bersiap. Karena merasa kurang paham soal ekonomi, dia mengunjungi Bung Hatta. Dia mengaku, Bung Hatta tidak meremehkannya, meski banyak orang meragukan dia bisa menurunkan harga dalam tiga bulan.
“Saya yakin itu dapat dilakukan. Saya yakin ekonomi Indonesia dapat diperbaiki dalam waktu tiga bulan saja,” kata Bung Hatta seperti diingat Hadely.
Setelah bertemu Bung Hatta, Hadely menyusun konsep menurunkan harga. Sementara itu, juru warta koran-koran di Jakarta mengetahui kabar bahwa Hadely akan menghadap Waperdam Leimena membawa konsepnya sebagai calon menteri penurunan harga.
Baca juga: Sukarno Tantang PBB
Konsep yang ditawarkan Hadely untuk menurunkan harga antara lain Indonesia harus segera membuat undang-undang baru tentang penanaman modal asing, membubarkan PKI, mengurangi jumlah menteri dari 100 menjadi 17, Indonesia bergabung lagi ke PBB, memanggil pulang Sumitro Djojohadikusumo untuk membantu pemerintah, serta mengakhiri Konfrontasi Ganyang Malaysia.
Hadely menghadap Waperdam Leimena pada hari yang ditentukan. Leimena yang menurut Hadely ramah, membuka pembicaraan dengan serius karena keberanian Hadely dan konsepnya itu tidak disukai Sukarno selaku pemimpin besar revolusi. Mereka pun berdebat. Hadely lalu menyerahkan konsepnya, Leimena membaca konsep itu.
Baca juga: Ketulusan Hati Johannes Leimena
“Ini konsep gila,” kata Leimena. Konsep yang menurut Leimena tidak masuk akal di bawah Presiden Sukarno ini dianggap kontrarevolusi. Mereka pun berdebat lagi. Kala itu, pemerintahan Sukarno berkeras tidak membuka penanaman modal asing dan pantang condong ke Blok Barat. Pemerintahan Sukarno juga cenderung nyaman dengan tidak menjadi anggota PBB dan membiarkan PKI.
“Ide saudara ini tidak masuk akal. Ini ide yang gila. Tidak mungkin Bung Karno menerimanya,” kata Leimena.
Hadely yang berani menerima tantangan itu pun tak dijadikan menteri dan hanya dianggap gila. Meski begitu, banyak orang menganggapnya sebagai menteri penurunan harga.
Baca juga: Johannes Leimena Pendeta Bung Karno
Dengan cepat Hadely jadi terkenal. Dia diundang ke Bandung untuk memberi pidato di hadapan kelompok yang tidak suka kepada Sukarno. Rumahnya kerap didatangi orang sampai pekerjaannya terganggu. Bahkan, dia mendapat julukan yang sangat dibencinya: Abu Nawas.
Sebagai orang yang dianggap berseberangan dengan kubu Sukarno, bahkan menjadi Ketua Umum Komite Aksi Pengusaha Nasional Indonesia (KAPNI) yang melawan pengaruh pemerintahan Sukarno, Hadely pernah dituduh PKI dan pernah juga ditahan beberapa minggu. Meski faktanya dia bukan PKI.
Setelah Sukarno jatuh dan Soeharto menjadi presiden, Hadely menjadi orang biasa. Selain menjadi pengacara, dia juga terus menjadi pimpinan umum majalah hiburan Varia dari 1958 hingga 1976. Dia mengaku pemilih Golkar dalam Pemilu.