Pulau Sumatra telah menjadi primadona sektor ekonomi sejak dulu kala. Beberapa wilayah di pulau itu merupakan sentra perkebunan tanaman keras, pertambangan, hingga destinasi wisata. Dengan sumber daya tersebut, Sumatra menjadi penghasil devisa negara terbesar setelah Jawa. Itulah sebabnya, pemerintah saat ini sedang menggencarkan pembangunan infrastruktur di Sumatra dengan mengembangkan Jalan Tol Trans Sumatra.
Menurut proyeksinya, Jalan Tol Lintas Sumatra akan membentang dari Lampung sampai Aceh sepanjang 2700 km yang terdiri dari 24 ruas jalan. Untuk mengerjakannya, PT Hutama Karya – BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur – ditunjuk sebagai pelaksana proyek bernilai investasi 206 trilyun ini. Dimulai pada 2014, pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra diperkirakan akan rampung pada 2024 mendatang.
“(Jalan Tol) Trans Sumatra penting sekali untuk menghubungkan wilayah Sumatra yang sebelumnya seperti kantung-kantung ekonomi yang berdiri sendiri,” kata Bondan Kanumoyoso. Menurut sejarawan dari Universitas Indonesia itu, Jalan Tol Trans Sumatra merupakan kesinambungan sedari zaman kolonial.
Baca juga:
Asal Usul Jalan Tol di Indonesia
Masa Hindia Belanda
Seturut dengan Bondan, sejarawan pakar Asia Tenggara Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatera: Antara Indonesia dan Dunia mencatat “jalan Trans Sumatra dibahas untuk pertama kali pada 1916, tetapi baru selesai pada 1938”. Pada masa itu, pemerintah kolonial hendak menghubungkan kota-kota penting di Sumatra: Medan, Padang, dan Palembang. Masing-masing dari ketiga kota besar ini merupakan pusat jaringan kereta dan jalan raya. Maka tidak heran bila roda perekonomian Sumatra pada awal abad ke-20 digerakkan dari trio kota tersebut.
Kota Medan di utara merupakan pusat perdagangan yang hiruk pikuk. Warna Eropanya sangat kuat berkelindan dengan karakter orang Tionghoa: lekat dengan bisnis. Jaringan perdagangan Medan lebih erat interaksinya dengan Malaya Inggris ketimbang pusat-pusat dagang Belanda. Padang yang terletak di tengah adalah kota kolonial tertua tetapi paling terlelap dari antara kota-kota kolonial. Palembang menjadi kota tua dengan kekayaan baru berupa minyak bumi dan yang paling dekat ke Jawa.
Baca juga:
Pada 1917, pemerintah kolonial membangun jalan raya yang menghubungkan Kota Medan dan Pematang Siantar. Kemudian, dari Pematang Siantar disambung lagi ke Prapat, kawasan sejuk di pesisir Danau Toba. “Jalan itulah rintisan pertama dari jaringan yang belakangan disebut jalan Trans-Sumatra,” tulis budayawan Sitor Situmorang dalam Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX.
Dari Prapat, pemerintah meneruskan pembangunan jalan ke Tarutung dan menghubungkannya dengan Teluk Tapiannauli di Sibolga. Mulai 1920-an, jantung Tanah Batak yaitu daerah sekitar Danau Toba, telah terbuka untuk lalulintas modern dengan angkutan bus. Lalulintas perdagangan dan penggunanaan mata uang pun meningkat.
Terbukanya Toba oleh jalan raya Trans Sumatra mempercepat modernisasi di kawasan itu. Danau Toba mulai ramai dikunjungi sebagai tempat tujuan wisata. Antara Prapat dan Tarutung tumbuh perkotaan berbentuk pasar menggantikan peranan onan (pasar tradisional Batak). Porsea, Balige, dan Tarutung muncul sebagai kota kecil yang sebelumnya tidak pernah ada. Selain itu, rakyat di desa-desa terpencil dapat mengakses pendidikan maupun layanan kesehatan yang dipelopori misi zending. Jalan raya Trans Sumatra pun disambung dengan jalan-jalan yang mencapai berbagai pelosok Toba.
Baca juga:
Pola yang sama tadinya akan dikembangkan di kota-kota lain. Namun pada 1942, balatentara Jepang keburu datang mengobarkan Perang Asia Timur Raya. Pulau Sumatra menjadi basis bagi tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang (Rikugun) dengan markasnya di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Pembangunan jalan Trans Sumatra pun terhenti untuk sementara waktu.
Proyek Lanjutan
Hingga dekade 1950-an, pembangunan jalan Trans Sumatra masih tersendat. Situasi keamanan dalam negeri tidak mendukung pemerintah oleh sebab pemberontakan di sejumlah daerah. Di Sumatra berdiri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menentang pemerintah pusat di Jawa. Akibatnya, proyek pembangunan jalan di Sumatra terkendala karena sepinya minat investor.
Agenda untuk melanjutkan kembali pembangunan Trans Sumatra baru mendapat tempat memasuki awal 1960. Adalah Adnan Kapau Gani – anggota MPRS dan ketua Front Nasional Sumatra Selatan – yang mengusulkannya kepada Presiden Sukarno. Disebutkan dalam biografi Dr. A.K. Gani: Pejuang Berwawasan Sipil Militer yang disusun Ruben Nalenan dkk, Gani gigih memperjuangkan terlaksananya pembangunan jalan raya Poros Sumatra (Central Trans Sumatra Highway). Proyek ini kemudian masuk dalam cetak biru program Pembangunan Nasional Semesta berjangka delapan tahun.
Baca juga:
Presiden Ketularan Menteri Perhubungan
Pada 1964, Presiden Sukarno membentuk penyelenggara pembangunan “Otorita Jalan Raya Lintas Sumatra”. Setahun kemudian dimulai pembangunan. Sumatra kawasan tengah dan selatan menjadi fokus perambahan jalan. Sementara Sumatra kawasan utara memasuki proses pengaspalan. Meski pada paruh kedua 1960 rezim Sukarno berakhir, program pembangunan Trans Sumatra tetap dilanjutkan oleh Presiden Soeharto.
Di masa Orde Baru, proyek jalan Trans Sumatra telah masuk dalam rencana Pembangunan Lima Tahun (Pelita) 1 (1969—1974). Pembangunannya meliputi tiga jalur sekaligus: Jalur Tengah, Jalur Timur, dan Jalur Barat. Jalur Tengah lebih dahulu dieksekusi, melintasi Sumatra Barat dari Sungai Dareh ke Jambi dan Sumatra Selatan. Sejak jalan lintas itu beroperasi, sarana transportasi darat jadi pilihan para perantau.
“Dari Sumatra Barat orang lebih suka ke Jakarta naik bus karena sehari lebih cepat dibandingkan dengan angkutan kapal sehingga para pengusaha angkutan bus penumpang naik daun,” ujar Azawar Anas, Gubernur Sumatra Barat periode 1977—1987 dalam biografi Azwar Anas: Teladan dari Tanah Minang karya Abrar Yusra.
Baca juga:
Bus Patas dari Cepat Terbatas Jadi Tanpa Batas
Selama tiga dekade kekuasaan Orde Baru, setiap provinsi di Sumatra telah terhubung lewat jalan Trans Sumatra. Meski demikian, dalam perkembangannya muncul sejumlah tantangan di jalur lintas tersebut. Mulai dari tambal sulam jalan rusak, kemacetan kala masa mudik, hingga praktek pungutan liar. Belum lagi ancaman dari para penjarah “Bajing Loncat” yang kerap mengganggu pengemudi, terlebih rentan bagi sopir truk muatan.
Sebagai solusi mengatasi masalah di jalur lintas Trans Sumatra, pemerintah pada 2012 mencanangkan Jalan Tol Trans Sumatra. Pada 17 September 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 100 tentang “Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatra”. Peraturan tersebut kemudian direvisi oleh Presiden Joko Widodo lewat Perpres No 117/2015 dengan penambahan ruas Jalan Tol Trans Sumatra dari 4 menjadi 24.
“Hasilnya dalam jangka panjang adalah terintegrasinya ekonomi Sumatra sebagai satu kesatuan yang tentu akan menjadi kekuatan pendorong ekonomi Sumatra dan Indonesia secara keseluruhan,” pungkas Bondan.