Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merebak di berbagai sektor usaha menyusul pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Roda ekonomi melambat. Pemasukan perusahaan mampat. Ratusan ribu orang menjadi penganggur. Menanggapi keadaan ini, pemerintah mengeluarkan kartu prakerja bagi para penganggur terpilih. Bentuknya transferan uang untuk pelatihan dan kebutuhan hidup sementara.
Sejarah Indonesia mencatat campur tangan pemerintah dalam menekan kenaikan angka penganggur. Terlebih lagi pada masa ekonomi sulit seperti ini. Dekade 1930-an menjadi titik mula melihat kembali fenomena ini. Saat itu, perekonomian Hindia Belanda rontok tertular depresi ekonomi dari Amerika Serikat dan Eropa. Dua wilayah ini membatasi impor dari negara lain.
"Krisis ekonomi dekade 1930-an digerakkan oleh perkembangan buruk pasar dunia yang berlangsung sejak pertengahan dekade sebelumnya. Indonesia kolonial menjadi korban ketergantungan yang sangat tinggi terhadap permintaan pasar ekspor," catat J. Thomas Lindblad dalam "Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20" termuat di Dari Krisis ke Krisis.
Barang-barang melimpah di pasaran, tapi tak ada pembelinya. Harganya pun meluncur ke titik terendah. Pengusaha dan industriawan barang-barang ekspor kehilangan pemasukan. Mereka memotong biaya operasional dengan mem-PHK sebagian buruhnya, baik anak negeri, Eropa, dan Tionghoa. Semua kena.
Kemunculan Penganggur
Penganggur muncul di kota-kota. Kebanyakan mereka memilih pulang kampung. Lainnya tetap tinggal di kota dan menjadi gelandangan sembari menunggu bantuan.
"Pengangguran di kalangan bangsa Eropa diperkirakan berjumlah 10.000. Akhir tahun 1934, mungkin adalah puncaknya," ungkap John Ingleson dalam Tangan dan Kaki Terikat.
Pengangguran anak negeri lebih banyak daripada Eropa dan Tionghoa. Tapi secara umum, data John Ingleson menunjukkan peningkatan angka penganggur dari semua golongan penduduk sejak 1931 sampai 1936.
Baca juga: Bertahan Menghadapi Resesi Ekonomi 1930
Peningkatan angka penganggur bikin khawatir pemerintah kolonial. Mereka mengira akan ada pihak tertentu menjadikannya alat politik untuk menyerang tatanan kolonial. Selain segi politis kekhawatiran lainnya menyangkut dugaan akan munculnya ketegangan sosial.
"Ada banyak tanda tentang hal ini yang bisa dilihat: meningkatnya pencurian dan bahkan pembentukan kelompok-kelompok kecil garong beranggotakan kuli kontrak yang pulang kampung," catat Ben White dalam "Pengalaman Tiga Resesi: Yogyakarta Masa 1930-an, 1960-an, dan 1990-an", termuat di Dari Krisis ke Krisis.
Demi mencegah hal-hal tersebut terjadi, pemerintah kolonial melakukan beberapa kebijakan untuk menekan angka penganggur. Mereka memulainya dengan menggelar survei pengangguran melalui Kantor Tenaga Kerja.
Komite Sentral dan Lokal
Para petugas mendatangi kampung dan bertanya kepada kepala kampung atau bahkan penganggur itu sendiri di Batavia. Bandung, Semarang, dan Surabaya. Mereka meminta kepala kampung dan penganggur agar jujur dalam memberikan keterangan.
Tapi survei itu kurang mendapat tanggapan dari para penganggur. "Dan bila saya jujur dengan jawaban-jawaban saya, upah apa yang akan diberikan mereka pada saya? Akankah mereka menolong saya? Tidak akan pernah!" kata seorang penganggur seperti termuat di Sin Po, 12 Agustus 1933.
Meski banyak kelemahan dalam metode pengumpulan data, pemerintah kolonial tetap menggunakan hasil survei itu untuk merumuskan kebijakan bantuan bagi penganggur.
Langkah selanjutnya adalah membentuk Komite Pendukung Pengangguran Pusat di Batavia pada Desember 1930.
Kedudukan komite berada di bawah Kantor Tenaga Kerja. Sesuai asas desentralisasi pemerintahan sejak 1905, pemerintah kolonial juga membentuk komite-komite lokal untuk mengurus penganggur di luar Batavia. Sampai 1932, komite itu telah ada sebanyak 36 di seluruh Jawa.
Baca juga: Menelaah Sejarah Otonomi Daerah
Komite lokal bertugas menyalurkan bantuan langsung tunai dan menyelenggarakan latihan keterampilan kepada para penganggur. Syaratnya, penggangur sudah tidak mampu lagi mengandalkan keluarga dan jejaring kampungnya untuk bertahan hidup. Kelompok ini disebut penganggur individual.
Pejabat pemerintahan mengusulkan bantuan hanya bagi penganggur Eropa saja. "Batasan tersebut sebagian untuk alasan finansial, namun sebagian juga karena pemerintah percaya bahwa kebutuhan dari kebanyakan pengangguran Indonesia dan Cina telah terpenuhi," tulis John Ingleson.
Bahkan untuk memperkecil bantuan bagi penganggur anak negeri dan Tionghoa, pemerintah kolonial menetapkan dua syarat tambahan. Semua calon penerima harus sudah menganggur sedikitnya satu tahun terakhir. Upah minimalnya pun mesti di atas f.100 per bulan.
"Mengingat tingkat gaji para pekerja kerah putih, seperti guru dan supir —yang hanya separuh dari jumlah minimum— kita melihat bahwa sasaran program kantor pemerintah adalah pegawai lapis atas," ungkap Ben White.
Pemerintah kolonial agak mengubah kebijakannya setelah menimbang bahwa dampak pengangguran kalangan anak negeri dan Tionghoa dapat mempercepat ketegangan sosial. Tetapi mereka juga tak bisa membantu semua penganggur dari kalangan luar Eropa. Akhirnya mereka tempuh jalan tengah.
"Pengangguran Indonesia dari para pekerja utama (mereka setara dengan status juru ketik atau yang lainnya di atas) harus diperlakukan serupa dengan pengangguran Eropa," terang John Ingleson.
Dalam bayangan para pejabat pemerintah, jumlah pekerja anak negeri semacam itu tidaklah sebanyak golongan Eropa. Tapi cukup untuk bisa meredam gejolak sosial jika mereka dapat bantuan.
Sumber Dana Bantuan
Dana bantuan berasal dari kocek Komite Sentral dan usaha mandiri Komite Lokal seperti pasar malam, pesta dansa, dan lotere. Tapi usaha tersebut bisa berbeda jauh satu sama lain.
Di Bandung, Komite Lokal mengajak anak sekolah membawa uang beberapa sen untuk menolong penganggur. Di Blitar, Komite Lokal membuka bengkel sepeda dan sepatu untuk mempekerjakan para penganggur. Di Semarang, Komite Lokal berhasil membangun pabrik rokok kecil dari pengumpulan dana. Di Batavia, Komite Lokal membuka kursus montir selama 4 bulan dan menyerap lebih dari 1.000 penganggur. Selain itu, ada juga kursus stenograf dan elektronika. Peserta kursus harus membayar, kecuali sudah tidak punya uang sama sekali.
Selama empat tahun bekerja, Komite Sentral telah menyalurkan dana sebesar f.0.8 juta kepada komite-komite lokal untuk membantu 6.675 penganggur terpilih. Rinciannya: 2.532 Eropa, 3.372 anak negeri, dan 771 Tionghoa.
Rincian angka tadi cukup menarik. Sebab jumlah penerima bantuan dari kalangan anak negeri justru lebih tinggi daripada orang Eropa. Padahal pejabat pemerintahan berupaya keras mempersempit ruang gerak bantuan bagi kalangan anak negeri.
Baca juga: Krisis Barang pada Zaman Jepang
Angka penerima bantuan dari kalangan anak negeri bisa tinggi karena kebijakan pengurus komite lokal. Berbeda dari kebanyakan pengurus Komite Sentral yang berasal dari kalangan Eropa, sebagian besar pengurus komite lokal dipegang oleh anak negeri. Termasuk pula sub-sub komite lokalnya.
Bila pengurus komite lokal mempunyai keberpihakan kepada kalangan anak negeri, jumlah penerima bantuan anak negeri akan besar. Sebaliknya, jika mereka memilih menurut pada atasan mereka di Komite Sentral dan minimal perhatian pada nnak negeri, penerima bantuan akan lebih banyak dari kalangan Eropa.
Perubahan terjadi pada tahun-tahun setelah 1934. Penerima bantuan lebih banyak kalangan Eropa. Ini tersua di Yogyakarta. "Pada akhir 1938 kantor di Yogyakarta mengeluarkan dana sebesar f.3.250 tiap bulan kepada penganggur Eropa, f.300 untuk orang pribumi, dan f.150 untuk orang Cina," catat Ben White.
Jumlahnya terlihat jomplang antara Eropa dan anak negeri. Kemungkinan ada perubahan susunan pengurus pada Komite Lokal pada 1938.
Tahun 1938, perekonomian Hindia Belanda berangsur bangkit mengikuti keadaan di negara lain. Tapi kedatangan Jepang pada 1942 menenggelamkan kembali perekonomian Hindia Belanda.