MALANG. Kata itulah yang paling tepat disematkan pada anak-anak tak berdosa yang lahir dari rahim perempuan-nyai di masa kolonial. Mereka menjadi komunitas terbuang, berada di luar masyarakat kulit putih maupun masyarakat pribumi.
Anak-anak Indo-Eropa hasil pergundikan antara lelaki Belanda dan nyai pribumi itu tidak punya hubungan yang benar-benar nyata dengan masyarakat pribumi dan tidak mengusahakannya karena terlalu gengsi. Sementara untuk masuk ke dalam masyarakat Eropa mereka mendapatkan penolakan. Meski beberapa anak hasil pergundikan diakui ayah mereka sehingga bisa menyandang nama Eropa, status mereka di masyarakat tetap tidak jelas.
Kemunculan anak Indo-Eropa sebagai kelompok baru masyarakat kolonial sudah menjadi kekhawatiran sejak praktik pergundikan dilakukan para kolonialis kulit putih. Kelompok Indo-Eropa ini dikhawatirkan membahayakan prestise kulit putih dan citra kolonial sebagai pemilik budaya yang mereka anggap luhur. Hal ini menjadi titik mula ketiadaan pengakuan masyarakat kolonial akan hubungan antarras.
Anak hasil hubungan tuan-gundik diperlakukan dengan buruk bahkan sejak masa VOC. Dalam peraturan VOC tahun 1715 tercantum larangan mengangkat keturunan campuran penduduk asli menjadi pegawai VOC, apalagi bila masih tersedia orang lain (kulit putih tulen) yang berpotensi.
Aturan itu diterapkan secara ketat. Bahkan ketika VOC kekurangan pegawai pada 1727, mereka ogah merekrut orang Indo-Eropa dan lebih memilih pedagang kecil Eropa yang belum tergabung di VOC untuk mendaftar. Dalam pengumumannya, VOC menekankan bahwa orang Eropa tulen harus diterima bekerja dengan berbagai cara dan lebih diutamakan dibanding anak-anak Indo-Eropa.
Baca juga: Nyai, statusnya tak diakui tapi hidupnya dieksploitasi
Di mata VOC, tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia, orang-orang yang lahir di negeri jajahan, khususnya ras campur, statusnya sangat rendah. Mereka hanya bisa menjadi tenaga militer atau juru tulis. Masa depan untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi telah tertutup karena posisi tinggi diisi oleh lelaki yang datang dari Belanda.
Anak perempuan hasil pergundikan pun mendapat nasib sama buruknya. Gubernur Jenderal C van der Lijn bahkan mengeluarkan aturan yang melarang semua perempuan yang lahir di negeri jajahan pergi ke Belanda tanpa izin khusus pada 1649.
Diskriminasi pada orang Indo-Eropa terus berlanjut bahkan ketika kekuasaan dipegang pemerintah Belanda. Asal-usul mereka sebagai ras campur benar-benar menjadi sebuah rintangan untuk mendapat pekerjaan setara orang kulit putih tulen. Diskriminasi ini bahkan tercatat dalam hukum kolonial tahun 1839. Anak-anak yang lahir dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan non-kulit putih kehilangan hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Eropa, terlebih di Royal Academy Delft, Belanda. Padahal, pemerintah Belanda hanya mengangkat orang-orang lulusan Royal Academy untuk menjadi pejabat eselon. Oleh karena itulah orang Indo-Eropa tidak dapat menjadi pegawai tinggi pemerintahan.
Departemen dalam negeri Hindia-Belanda di Jawa dan Madura juga tidak menerima anak-anak Indo-Eropa. Pemerintah tak ingin penduduk negeri jajahan berhadapan dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ilegal, terlebih bila mereka duduk di dalam pemerintahan. Bagi pemerintah kolonial, kehadiran mereka dalam tubuh pemerintahan hanya mencoreng citra Belanda sebagai negara beradab.
Baca juga: Kisah nyai dan para lelaki kolonial yang kesepian
Diskriminasi yang mereka terima kemudian memuncak dan membuat orang-orang Indo-Eropa muak pada 1848. Pemerintah kolonial kemudian membuat pertemuan di Socitet de Harmonie. Dalam pertemuan tersebut, dilancarkan kritik atas diskriminasi terhadap kaum Indo-Eropa untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sama seperti orang-orang yang didatangkan dari Eropa. Orang-orang yang melancarkan protes tersebut kebanyakan tokoh Eropa terkemuka yang tinggal di Hindia Belanda, seperti Menteri Hindia Belanda WR Baron van Hovel.
Protes yang dilancarkan kaum Indo-Eropa ini sempat membuat Gubernur Jenderal JJ Rochussen cemas akan terjadi pemberontakan. Saking cemasnya, dia sampai menerapkan status siaga tinggi pada malam 12 Mei 1848 dan memerintahkan garnisun Batavia berjaga-jaga di Harmonie. Namun kekhawatiran itu tak terbukti karena petemuan berlangsung lancar.
Tetap saja, anak Indo-Eropa yang bisa duduk di pemerintahan dan mendapat pekerjaan layak adalah Indo-Eropa yang lahir dari ayah kaya atau berpangkat tinggi. Padahal, kebanyakan anak hasil pergundikan pada abad ke-19 lahir dari hubungan nyai dengan anggota militer berpangkat rendah.
Baca juga: Reggie Baay: Belanda sembunyikan sejarah perbudakan di Indonesia
Anak-anak Indo-Eropa yang tidak beruntung itu kebanyakan menjadi tukang, penjahit, petugas telegraf, tukang pos, mekanik, dan petugas pengukuran kadaster. Dalam Nyai and Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay menulis, tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan di kalangan Indo-Eropa sangat tinggi. Di antara mereka ada perempuan Indo-Eropa bernasib sial yang masuk ke dunia prostitusi. Karena kemiskinan, kadang gadis-gadis Indo-Eropa dijual ke orang Tionghoa kaya.
“Kerutunan ras kulit putih ini bertempat tinggal di ratusan rumah di lingkungan kumuh kota-kota di Hindia Belanda serta di perkampungan kotor dekat tangsi-tangsi,” tulis anggota parlemen Henri van Kol, seperti dikutip Baay.