Soerjopranoto Si Raja Mogok
Anak bangsawan yang terjun ke pergerakan. Mengorganisasi pemogokan buruh di seluruh Jawa sehingga dijuluki Si Raja Mogok.
Periode 1919 hingga awal dekade 1920-an, terjadi pemogokan buruh pabrik di berbagai daerah di Jawa. Zaman ini kemudian dikenal sebagai zaman mogok. Salah satu organisatornya adalah seorang anak bangsawan keraton yang memilih turun ke pergerakan. Ia adalah Soerjopranoto yang terkenal dengan julukan Raja Mogok.
R.M. Soerjopranoto lahir pada 1871 sebagai anak bangsawan. Ayahnya adalah Pangeran Soerjaningrat dari Keraton Pakualaman. Ia juga merupakan kakak dari Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.
Soerjopranoto lulus dari OSVIA Magelang dan Sekolah Pertanian di Buitenzorg (Bogor). Ia kemudian bekerja di Dinas Informasi dan Penyuluhan Pertanian di Wonosobo pada 1914.
Baca juga: Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa
Suatu ketika, Asisten Wedana Temanggung dipecat karena menjadi anggota Sarekat Islam (SI). Soerjopranoto kemudian melabrak Asisten Residen Banyumas. Namun, setelah adu debat, Sorjopranoto sadar bahwa sia-sia berdebat dengan aparat kolonial.
Soerjopranoto kemudian mengeluarkan surat pengangkatan jabatan dan surat ijazah dari Middelbare Landbouwschool dan menyobek-nyobeknya di hadapan pembesar kolonial.
"Sejak detik ini aku tidak sudi lagi bekerja untuk pemerintah Belanda!" ujar Soerjopranoto dikutip dari Raja Mogok, R.M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan.
Pendirian Soerjopranoto begitu kuat. Meski pada 1918, rekan-rekannya seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), ia tetap keras menolak jabatan yang sama.
Di Yogyakartaa, Soerjopranoto mendirikan koperasi petani dan bekel. Karena usaha ini gagal, ia lalu aktif di Boedi Oetomo Yogyakarta.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
Bersamaan dengan peristiwa kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan, Yogyakarta, pada Agustus 1918, Soerjopranoto mendirikan Arbeidsleger (tentara buruh) sebagai cabang dari Adhi Dharma, sebuah perkumpulan para pangeran. Adhi Dharma sendiri awalnya hanya membantu buruh-buruh yang dipecat untuk memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selagi mencari kerja.
Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, menyebut pada masa ini dimulailah zaman mogok. Kala itu, kaum buruh pabrik gula resah karena penurunan upah terus-menerus.
Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh Soerjopranoto beserta pasukan buruhnya. Ia kemudian mengumumkan berdirinya Personeel Fabrieks Bond (PFB) pada November 1918.
"Sekarang adalah zaman demokrasi, zaman volksregering (pemerintahan rakyat). Raja tidak (boleh lebih lama lagi) memerintah semaunya, tapi rakyat sendiri harus bersuara, turut serta dalam membuat aturan-aturan dan tidak boleh hanya diperintah," sebutnya dalam surat edaran pertama PFB.
Baca juga: Jejak Buruh di Awal Mei
"Tetapi," lanjutnya, "kami, rakyat, siap menaati hukum yang kami nilai sah. Semua buruh harus memiliki kebebasan dan persamaan (di muka hukum), dan mereka berhak bersuara tentang segala tindakan yang diambil kaum kapitalis sehubungan dengan dirinya."
Dalam edaran ini, Soerjopranoto secara tegas mengatakan bahwa buruh adalah kunci kehancuran kapitalisme. "Kami tahu persis bahwa kapitalisme akan hancur jika tidak ada buruh. Kami juga tahu benar bahwa modal hanya hasil akumulasi keluhan dan erangan kaum buruh," jelasnya.
PFB kemudian mengorganisir tukang, juru ukur, teknisi, juru tulis, dan pemegang buku yang menjadi pekerja tetap. Awalnya perkembangan PFB agak lambat. Pada Maret 1919 anggotanya hanya 750 orang dan terbatas di Yogyakarta. Tetapi, musim panen dan penggilingan tahun 1919 menjadi masa jaya PFB. Anggotanya menjamur di semua tanah perkebunan gula di Jawa.
Sejak itu, di berbagai pabrik gula terjadi pemogokan buruh atas inisiatif sendiri untuk menuntut kenaikan upah, persamaan hak antara buruh Belanda dan bumiputra, perbaikan kondisi kerja, delapan jam kerja sehari, libur dengan bayaran satu hari dalam seminggu serta tambahan bayaran untuk kerja lembur.
Baca juga: Kongres Buruh Seluruh Indonesia, Serikat Buruhnya Kaum Sosialis
Untuk melancarkan pemogokan, para buruh meminta pemimpin pusat PFB agar organisasi itu mengirim propagandis untuk memimpin pemogokan. Wakil-wakil PFB kemudian dikirim dan mendirikan afdeling (cabang) PFB di daerah.
"Karena sikap netral pemerintah, banyak pemogokan yang berhasil dengan suskes. Merasa mendapat angin, afdeling-afdeling PFB menuntut lebih banyak dari pabrik dan lagi-lagi dengan sukses mengorganisir pemogokan," tulis Takashi Shiraishi.
Pemogokan meluas, PFB pun berkembang pesat. Pada Juni 1919, jumlah anggota PFB mencapai seribu orang. PFB juga mulai menerbitkan surat kabar Boeroeh Bergerak dengan Soerjopranoto, Soemodihardjo, dan Hadisoebroto sebagai editor.
Pada akhir 1919, PFB menjadi serikat buruh yang paling besar dan militan di Hindia Belanda dengan sembilan puluh afdeling. Anggota dan calon anggotanya mencapai angka sepuluh ribu di seluruh Jawa.
Soerjopranoto sendiri kemudian dikenal sebagai propagandis serikat buruh terkemuka dengan Sarekat Islam Yogyakarta sebagai pusat pergerakan baru. Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menjulukinya "de Javaanse Edelman met een otembare wil" yang artinya "bangsawan Jawa dengan tekadnya yang tak terjinakkan".
Soerjopranoto kemudian juga memimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Dari kantor PPKB, Soerjopranoto mengkoordinasi pemimpin-pemimpin pemogokan dengan rapi. Hingga 1920, PPKB membawahi 22 sarekat buruh dengan jumlah anggota 72.000 orang.
"Soerjopranoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat. Dan karena aksinya itulah maka pers Belanda memberi gelar kepadanya sebagai De Stakingskoning atau Si Raja Pemogokan," ungkap Bambang Sukawati dalam Raja Mogok, R.M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan.
Atas aksi-aksinya, Soerjopranoto tiga kali kena delik dan masuk penjara. Pertama ia dipenjara di Malang selama tiga bulan pada 1923. Kemudian pada 1926, ia dipenjara di Semarang selama 6 bulan. Sementara di Bandung, ia dibui di Sukamiskin selama 16 bulan.
Sejak 1950, Soerjopranoto menghentikan kegiatan politik praktisnya. Ia lebih aktif di dunia pendidikan dan kepenulisan hingga akhir hayatnya. Pada 15 Oktober 1959, Si Raja Mogok meninggal dunia dalam usia 88 tahun di Bandung. Ia kemudian dimakamkan di Kota Gede, Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar