Mossad Berburu sampai Batu
Benarkah Mossad melakukan operasi intelijen memburu Dr. Azahari Husin yang berakhir di Batu, Malang?
Tiga ledakan bom mengguncang New Delhi, ibu kota India, pada 29 Oktober 2005. Ledakan pertama di pasar Paharganj, dekat stasiun kereta api; ledakan kedua dekat sebuah bus di daerah Govindpuri di bagian selatan kota; dan ledakan ketiga di pasar Sarojini Nagar di Delhi selatan.
“Serangan itu kemudian ditetapkan sebagai pekerjaan kelompok al-Qaeda di Kashmir, Lashkar-e-Toiba atau Soldiers of Fortune. Lebih dari enam puluh orang tewas dan lebih dari seratus luka parah,” tulis Gordon Thomas dalam Gideon’s Spies: The Secret History of the Mossad. Laporan news24.com (31/10/2005) menyebut ledakan itu menelan korban jiwa 62 orang dan 210 orang luka-luka.
Gordon menyebutkan, katsa (case officer atau perwira kasus) Mossad di New Delhi mengetahui bahwa Dr. Azahari Husin, pembuat bom al-Qaeda yang paling berpengalaman, berada di New Delhi tidak lama sebelum bom merobek kota di Distrik Paharganj itu.
Mossad juga mengidentifikasi Dr. Azahari sebagai dalang di balik pengeboman di London pada 7 Juli 2005. Teroris meledakkan empat bom: tiga bom di kereta bawah tanah London dan satu bom di bus tingkat di Tavistock Square. Korban meninggal 56 orang termasuk empat pelaku pengeboman dan 784 orang luka-luka.
“Tawaran Mossad untuk membantu intelijen India melacak [Dr. Azahari] Husin dengan cepat diterima,” tulis Gordon.
Siapa Dr. Azahari?
Ken Conboy, ahli sejarah intelijen, menerangkan profil Dr. Azahari bin Husin dalam bukunya, Intel II: Medan Tempur Kedua. Pada 1980-an, Azahari sempat kuliah teknik mesin di Adelaide University, Australia, tapi tidak selesai. Dia kembali ke Malaysia untuk menyelesaikan kuliahnya. Pada 1990, dia mendapat gelar doktor dalam bidang statistik permodelan dari University of Reading, Inggris.
Dr. Azahari yang berbakat dalam matematika kembali ke Malaysia dan mengajar statistik. Dia mengkhususkan pada manajemen properti yang sedang naik di kawasan Asia Tenggara. Pada 1996, dia bekerja sebagai direktur kajian pasar sebuah konsultan properti di Jakarta. Ketika krisis ekonomi memukul sektor properti, dia menerima tawaran menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada selama enam bulan.
Baca juga: Mossad dan Intelijen Indonesia
Pada 1998, Dr. Azahari dan istrinya kembali ke Malaysia dan mengajar di University Technology Malaysia di Johor. Istrinya didiagnosis kanker tenggorokan. Meski sembuh, dia kehilangan suaranya dan tidak bisa mengajar.
Conboy menyebut, pada saat itulah terjadi pencerahan pada diri Dr. Azahari. Terguncang akibat penyakit istrinya, dia berpaling kepada agama dalam banyak hal. Untuk seseorang yang tidak pernah menunjukkan kesalehan berlebihan, sikap barunya cenderung fanatik. Dia kemudian bergabung dengan Jemaah Islamiyah.
“Bagi Jemaah Islamiyah, Dr. Azahari merupakan tangkapan besar,” tulis Conboy. “Meloncati beberapa anggota senior, pada akhir 1999 dia terpilih untuk menerima pelatihan al-Qaeda di Afghanistan.”
Dr. Azahari kemudian menjadi terkenal di Indonesia –tempatnya dulu bekerja– karena terlibat dalam beberapa pengeboman di Bali (2002 dan 2005), Hotel JW Marriott di Jakarta (2003), dan Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004). Dia dan Noordin Mohammad Top menjadi orang yang paling dicari di Indonesia.
Baca juga: Mossad dan Kontrak Skyhawk
Ternyata, tidak hanya di Indonesia, menurut Gordon, Mossad juga mengidentifikasi bahwa Dr. Azahari juga terlibat dalam pengeboman di New Delhi pada 2005 yang dilakukan oleh Lashkar-e-Toiba.
Menurut Conboy, Lashkar-e-Toiba atau Lashkar-e-Tayyiba (Tentara Kaum Saleh) merupakan kelompok militan Kashmir terkait dengan al-Qaeda yang mengobarkan kampanye separatis melawan pemerintah India di Jammu dan Kashmir.
Anggota al-Qaeda, Umar Faruq, menyebut bahwa tujuh orang Indonesia asal Ambon dikirim untuk pelatihan paramiliter di bawah Lashkar-e-Toiba di Pakistan pada 2001. Pada akhir April 2003, pekerja sosial asal Barat yang bertugas dekat daerah kendali Pakistan di Kashmir dikabarkan melihat seorang Asia Tenggara bersenjata yang ditengarai sebagai warga negara Indonesia.
Akhir Dr. Azahari
Israel telah memiliki Konsulat di Mumbai sejak 1953. Namun, hubungan diplomatik penuh antara Israel dan India baru terjalin pada 1992. Ditandai dengan saling membuka kedutaan besar di New Delhi dan Tel Aviv.
Selain kerja sama dalam bidang ekonomi, kedua negara juga memiliki hubungan militer dan strategis yang mencakup pelatihan militer bersama dan berbagi informasi intelijen tentang kelompok teroris. Sehingga Mossad membantu intelijen India untuk melacak Dr. Azahari yang diyakini terlibat pengeboman di New Delhi.
“Selama tiga minggu pencarian tidak menghasilkan jejak salah satu teroris paling dicari di dunia itu,” tulis Gordon. Kemudian datang kabar dari seorang sayan di Jawa Timur. Sayan atau sayanim adalah aset di negara asing yang mencari informasi untuk Israel dan Mossad.
Gordon tidak mengungkapkan bagaimana sayan mendapatkan informasi keberadaan Dr. Azahari. Mungkin saja informasinya diperoleh dari pihak Indonesia. Dia hanya menyebutkan bahwa sayan itu memberi tahu pengawas katsa-nya bahwa sejumlah laki-laki telah menyewa rumah di pinggiran kota Batu, Malang. Dua orang di antaranya mirip dengan foto-foto teroris di surat kabar yang dicurigai berada di balik penyerangan sebuah restoran di Bali yang mengakibatkan 23 orang meninggal.
“Dalam beberapa jam katsa tiba di Batu,” tulis Gordon. “Foto-foto surat kabar tersebut adalah Azahari Husin dan Noordin Mohammad Top, seorang pembunuh kejam seperti Musab al-Zarqawi di Irak. Sayan melaporkan bahwa Top telah meninggalkan Batu malam sebelumnya.” Noordin Mohammad Top tewas dalam penyergapan Densus 88 di Jebres, Solo, pada 17 September 2009.
Gordon menyebut katsa bekerja dengan aturan yang memastikan kehadiran Mossad tidak diketahui. Dia segera memberi tahu kepala stasiunnya di Kedutaan Besar Israel di New Delhi. Kementerian Luar Negeri India diberitahu yang lalu menghubungi mitranya di Jakarta.
Mossad sendiri tidak terlibat dalam penyergapan (kill or capture) Azahari yang sepenuhnya dilakukan oleh Densus 88.
Baca juga: Pengeboman Gereja di Jawa Timur
“Dalam satu jam sejak panggilan pertama, operasi skala penuh sedang berlangsung di Batu. Dipimpin oleh kesatuan elite antiteroris Indonesia [Densus 88], penembak jitu ditempatkan di atap rumah tetangga dan pertempuran sengit dimulai,” tulis Gordon.
Teroris melawan dengan melemparkan granat dari dalam rumah. Densus 88 menyerbu rumah sambil menyapu dengan rentetan tembakan. Saat mereka masuk, Dr. Azahari meraih detonator di sabuk peledak yang dipakainya, tetapi digagalkan oleh tembakan anggota kesatuan yang mengenai dada dan kakinya. Namun, tidak ada waktu untuk menghentikan teroris lain meledakkan ikat pinggangnya. Ledakan itu merobohkan atap rumah.
“Akhir hidup Azahari Husin seperti kebanyakan korbannya, [berada] di tengah kehancuran [akibat] bom bunuh diri,” tulis Gordon.
Azahari Husin tewas pada 9 November 2005.
Kritik atas Klaim Gordon Thomas
Alto Labetubun, analis konflik dan keamanan, mengkritisi dengan tajam klaim Gordon Thomas yang tidak berdasar (baseless) dan imajinatif. Pertama, klaim bahwa Dr. Azahari berada di balik pengeboman London pada 7 Juli 2005 tidak berdasar karena pelakunya empat orang, yaitu Lindsay, Hussain, Tanweer, dan Khan. Dalam laporan resmi dari House of Common tanggal 11 Mei 2006 dilaporkan bahwa “belum ada bukti kuat untuk menguatkan klaim ini atau sifat dukungan al-Qaeda, jika memang ada. Namun, sasaran dan modus serangan pengeboman 7 Juli adalah tipikal al-Qaeda dan terinspirasi oleh ideologinya.”
Kedua, Gordon mengklaim bahwa Dr. Azahari berada di Delhi tidak lama sebelum bom di Delhi, India. Dia menulis tiga minggu setelah bom India, Mossad mencari Dr. Azahari di India tapi tidak berhasil menemukannya. Akhirnya, kontak mereka di Batu, Malang, menginformasikan bahwa orang dengan ciri-ciri sebagai Dr. Azahari telah mengontrak rumah di Batu.
Baca juga: Teror di Negeri Matador
“Bom di Delhi itu terjadi tanggal 29 Oktober 2005, sedangkan Dr. Azahari tewas 9 November 2005. Itu gak sampai tiga minggu dari kejadian bom Delhi. Jadi, yang tiga minggu dicari pasca Bom Dehli itu siapa?” kata Alto.
Alto menambahkan, pasca bom Bali tahun 2002, keberadaan Dr. Azahari semuanya terdeteksi di Indonesia. Pada 2003, dia lolos pengepungan di Bandung dan tahun 2004 lolos pengepungan di Jakarta Barat.
“Sebagai orang nomor satu yang dicari pemerintah Indonesia saat itu, adalah tidak masuk akal jika Dr. Azahari akan pergi ke India ‘hanya untuk’ menjadi tokoh kunci bom di sana, dan kemudian balik lagi ke Indonesia. Logistik dan risiko tertangkap sangat tinggi,” kata Alto.
Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda
Ketiga, Gordon menulis bahwa setelah Dr. Azahari ditemukan oleh agen Mossad, mereka menginformasikan ke Kementerian Luar Negeri India (karena penulis mengklaim bahwa India meminta bantuan Mossad melacak Dr. Azahari), dan Kemlu India menghubungi counterpart mereka di Indonesia.
Menurut Alto, ini bukan hierarki laporan dan koordinasi antarlembaga intelijen asing. Jadi, koordinasi antara Mossad bukan ke Kemlu India, tapi ke Dinas Rahasia India. Counterpart mereka di Indonesia adalah Badan Intelijen Negara (BIN). Sama dengan BIN, jika ingin berbagi informasi intelijen dengan pemerintah India, maka jalurnya langsung dengan partner/counterpart BIN di India, bukan dengan Kemlu India.
Alto menyimpulkan “apa yang ditulis oleh Gordon Thomas dalam bukunya, Gideon’s Spies: The Secret History of the Mossad, tentang operasi Mossad mencari dan menemukan Dr. Azahari di Batu, Malang, adalah sebuah imajinasi yang penuh halusinasi.”
Tulisan ini diperbarui pada 20 Februari 2021. Penulis berterima kasih kepada Bapak Alto Labetubun, analis konflik dan keamanan, atas tanggapannya yang memperbaiki tulisan ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar