Mempertanyakan Solusi Dua Negara Israel-Palestina
Dunia internasional berulang-kali mendorong solusi dua negara. Namun Israel menyiratkan menghapus penyelesaian itu dari kamusnya.
SEIRING gempuran brutal Israel yang masih berkecamuk di Rafah, Jalur Gaza, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati posisi baru Palestina. Ada harapan besar keputusan anyar itu bisa mendorong Palestina menjadi anggota penuh PBB demi melancarkan two-state solution sebagai penyelesaian konflik Palestina-Israel yang berkepanjangan.
Sebelumnya, Palestina sekadar berstatus negara pemantau permanen tanpa hak dan kewajiban sebagaimana 193 anggota PBB lainnya. Mengutip laman resmi PBB, keputusan voting di Majelis Umum pada Jumat (10/4/2024) itu berupa status Palestina tetap sebagai negara pemantau permanen namun memiliki posisi baru dengan tujuh hak dan keistimewaan seperti: berhak duduk setara bersama para anggota PBB lain menurut urutan abjad, mengajukan sebuah proposal atau mendukung proposal yang diajukan anggota lain, dan hak anggota delegasi Palestina untuk dipilih sebagai pejabat sidang pleno dan komite utama majelis umum.
Keputusan itu dirilis setelah dilakukan voting di antara 193 negara anggota untuk kemudian jadi rekomendasi pengajuannya ke Dewan Keamanan (DK) PBB. Sebanyak 143 anggota setuju, 25 lainnya abstain, dan sembilan sisanya menolak. Mereka yang menolak adalah Argentina, Amerika Serikat (AS), Republik Ceko, Hungaria, Mikronesia, Nauru, Papua Nugini, Palau, dan tentu Israel.
Baca juga: Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno
Israel akan mengandalkan ‘bekingnya’, AS, untuk kembali menjegal pengesahan Palestina menjadi anggota PBB ke-194 di DK PBB. Sejak mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1988, Palestina tak pernah lolos disahkan jadi anggota meski hingga kini negara Palestina sudah diakui 134 negara di dunia.
Di sisi lain, sahnya keanggotaan Palestina di PBB bisa jadi salah satu faktor signifikan untuk mewujudkan solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik yang didengungkan banyak negara, termasuk AS dan Indonesia, di berbagai forum internasional. Akan tetapi masalahnya, sejak menggempur Jalur Gaza tanpa pandang bulu pada Oktober 2023, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menyiratkan untuk menghilangkan solusi dua negara itu dari kamusnya jika “urusannya” di Gaza sudah selesai.
“Dalam menyusun masa depan Israel perlu kontrol keamanan di semua teritorial sebelah barat Sungai Yordan. Ini berbenturan dengan gagasan kedaulatan (Palestina). Apa yang bisa Anda lakukan? Perdana menteri mesti mampu mengatakan ‘tidak’ kepada para sahabat kami,” tegas Netanyahu, dikutip Al Jazeera, 18 Januari 2024.
Baca juga: Lobi Israel Menyandera Amerika?
Antara Apartheid dan Pembersihan Etnis
Kengerian operasi militer Israel yang membabi-buta sejak Oktober 2023 membuat pakar studi politik University of Chicago Prof. John J. Mearsheimer kian pesimis akan solusi dua negara. Menurutnya, Israel makin bulat pada arah kebijakannya dengan menciptakan Israel Raya dengan melakukan pembersihat etnis orang-orang Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
“Mengenai solusi dua negara, di mana Israel mendapatkan (wilayah) pra-1967 dan Palestina menguasai wilayah Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza, Israel tidak akan mau menerimanya. Titik. Habis cerita. Mereka enggan menerima solusi itu dan dengan dukungan kuatnya Lobi Israel, AS tidak akan memaksa mereka menerima solusi dua negara dan tentunya takkan ada negara yang bisa memaksanya,” ujar Mearsheimer di siniar bertajuk “Endgame: What’s Behind Biden’s Blank Check Support for Israel?” di Youtube Gita Wirjawan, 21 Maret 2024.
Solusi dua negara sedianya bukan hal baru. Solusi tersebut pertamakali digaungkan dalam “Palestine Royal Commission Report” tahun 1937 yang dikeluarkan Komisi Peel. Komisi Peel dibentuk pemerintah Kerajaan Inggris dengan diketuai Lord William Peel untuk menindaklanjuti laporan investigasi Pemberontakan Arab di Palestina (1936-1939) antara masyarakat Arab Palestina dan kaum pendatang Zionis.
Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah
Dalam laporan itu, Peel mengajukan sebuah “Partition Plan” atau rencana pemisahan. Pihak Yahudi, menurutnya, akan mendapatkan wilayah kecil dari Gunung Mar Elias sampai ke Be’er Tuvia, Lembah Marj Ibnu Amir/Lembah Jezreel, hingga Galilee. Sementara masyarakat Arab berada di wilayah Judea (kini Hebron), Samaria (Nablus), hingga Gurun Negev.
“Allon Plan di mana Agensi Yahudi dan Raja Abdullah dari Yordania secara rahasia kurun 1946-1947 juga mengadopsi rekomendasi Komisi Peel. Kesimpulan rencana itu meng-endorse solusi dua negara, walau kaum Arab mendapat wilayah yang lebih kecil, 70-90 persen dari Tepi Barat,” tulis sejarawan Israel Benny Morris dalam One State, Two States: Resolving the Israel/Palestine Conflict.
Pun dalam “Partition Plan” di dalam Resolusi 181 PBB yang dikeluarkan 29 November 1947, direncanakan negara Arab (Palestina) memiliki wilayah 42 persen sementara 56 persen sisanya negara Yahudi. Resolusi ini pula yang jadi dasar deklarasi kemerdekaan negara Palestina pada 1988.
Namun sejumlah peperangan yang terjadi berdampak pada mandeknya usulan solusi dua negara. Termasuk usulan serupa yang kembali diungkit dalam Pertemuan Camp David 2000 antara Presiden AS Bill Clinton, PM Israel Ehud Barat, dan Ketua Otoritas Palestina Yasser Arafat. Pertemuan itu tak menghasilkan kesepakatan berarti lantaran Israel dan Palestina masih berbenturan pada lima kepentingan, di antaranya terkait status Yerusalem, pengungsi dan hak orang Palestina kembali ke tanah kelahirannya, dan permukiman Yahudi.
“Faktanya setelah (pertemuan) Camp David 2000 Arafat dan pihak Palestina sedianya terus bernegosiasi dengan pihak Israel. Negosiasi terait solusi dua negara dengan pemerintahan Barak tidak berakhir di Camp David. Bahkan saat Barak digantikan Ariel Sharon, masih terjadi negosiasi. Walaupun apa yang terjadi di Camp David sebenarnya adalah momen paling dekat jika ingin mewujudkan solusi dua negara,” ujar Mearsheimer dalam kesempatan lain saat diwawancara UnHerd, 16 Desember 2023.
Namun jika membicararakan realisasinya, Mearsheimer menganggap Israel sudah tutup buku terkait solusi dua negara. Hal yang sama kembali ia tegaskan dalam siniar bersama Gita Wirjawan di atas. Ambisi menciptakan Israel Raya, katanya, takkan menyisakan ruang bagi eksistensi negara Palestina yang berdaulat dan disahkan PBB sebagai anggota penuh.
“Sangat penting untuk memahami bahwa apa yang terjadi di sini (Gaza), adalah hasil dari Perang (Enam Hari) 1967 yang secara efektif menciptakan Israel Raya yang meliputi perbatasan Israel pada 1967 ditambah Yerusalem Timur ditambah Tepi Barat ditambah Gaza. Dan di dalam Israel Raya Anda memiliki sekitar 7,3 juta orang Palestina dan 7,3 juta Yahudi Israel. Jadi Anda akan memiliki wilayah Israel Raya dengan jumlah populasi orang Palestina sama besarnya dengan orang Yahudi,” sambung Mearsheimer.
Baca juga: Di Balik Kabut Deklarasi Kemerdekaan Palestina
Dalam Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) melawan Mesir, Suriah, Yordania, dan Irak sekaligus, Israel sebagai pemenang sukses mencaplok banyak wilayah sebagai perwujudan Israel Raya. Wilayah-wilayah yang direbut itu adalah Dataran Tinggi Golan dari Suriah, Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dari Yordania, dan Jalur Gaza serta Semenanjung Sinai dari Mesir.
“Ke depannya potensi besar jumlah populasi orang Palestina tumbuh lebih besar dari Yahudi dan itu artinya Anda tidak bisa memiliki Israel Raya yang demokratis: satu orang satu suara (dalam pemilu, red.). Karena nantinya Israel Raya tidak akan lagi menjadi negara Yahudi melainkan akan menjadi negara Palestina. Jadi demokrasi takkan jadi pembicaraan,” lanjutnya.
Dengan keengganan Israel terhadap solusi dua negara, Mearsheimer melihat hanya akan menyisakan dua opsi: negara apartheid dan pembersihan etnis. Bila negara apartheid yang dipilih, orang-orang Arab Palestina akan “diterima” sebagai penduduk tapi berstatus warga kelas dua atau kelas tiga seperti yang terjadi dalam sepanjang pendudukan Israel hingga sekarang.
“Human Rights Watch, Amnesty International, dan B’Tselem yang merupakan organisasi HAM terbesar di Israel, sudah menulis banyak laporan yang menyatakan Israel adalah negara apartheid. Dan faktanya sejumlah pemimpin Israel menggunakan retorika itu. Banyak warga Israel juga sudah paham negaranya sudah menjadi negara apartheid,” tambah Mearsheimer.
Opsi kedua, menurut Mearsheimer, tak lain adalah pembersihan etnis untuk mengatasi masalah-masalah negara apartheid. Gejala-gejala itu sudah kasat mata terjadi dan bahkan tak malu-malu dilakoni Israel meski diserbu kecaman dunia internasional.
“Dengan opsi itu Anda akan memiliki Israel Raya yang dipenuhi orang Yahudi dan setidaknya kurang dari 20 persen orang Palestina. Apalagi Zionisme pada dasarnya sejak awal kan ingin menciptakan negara Yahudi dan para Zionis paham sejak mula pula bahwa Anda harus melakukan pembersihan (etnis),” lanjutnya.
“Tidak mungkin orang Yahudi atau Zionis pindah dari Eropa dan datang ke area yang penuh dengan orang Palestina dan menciptakan negara Yahudi tanpa membersihkan area itu. Sudah sangat jelas dari banyak dokumen sejarah. Zionis datang dari Eropa dan meletakkan fondasi Israel yang sekarang, paham bahwa mereka harus melakukan hal-hal mengerikan kepada orang-orang Palestina demi menciptakan negara Yahudi. Itu tak bisa terhindarkan. Anda takkan bisa menciptakan negara Yahudi dengan cara lain,” tandas Mearsheimer.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar