Lebaran dan Natalan Terakhir Bersama Wiji Thukul
Fajar Merah kesulitan menggambarkan Wiji Thukul. Wahyu Susilo dengan getir mengingat kumpul keluarga terakhir di hari raya.
FAJAR Merah terduduk di sebuah lahan berumput. Meski badannya menghadap ke kamera yang dipasang Yuda Kurniawan sang sutradara, matanya seringkali melengos ke kanan-kiri. Butuh satu helaan nafas panjang baginya sebelum bisa menjawab satu pertanyaan sulit yang dilontarkan Yuda.
“Sejauh apa aku mengenal bapakku? Gimana ya,” cetus Fajar berupaya menjawab pertanyaan tentang Wiji Thukul ayahnya.
Scene itu jadi salah satu inti cerita dokumenter Nyanyian Akar Rumput karya Yuda Kurniawan, yang diputar sejumlah bioskop mulai 16 Januari 2020.
Kegagapan Fajar menggambarkan Wiji Thukul bisa dimaklumi lantaran sang ayah tak bisa berperan sebagai ayah sebagaimana umumnya di sebuah keluarga akibat aktivitasnya sebagai aktivis HAM di masa Orde Baru yang anti-kritik. Fajar baru berusia lima tahun kala Wiji Thukul jadi korban penghilangan paksa pasca-Tragedi Mei 1998.
Fajar hanya bisa mengenal ayahnya setelah remaja lewat puisi-puisi sang ayah yang dia musikalisasi bersama tiga rekannya dalam band Merah Bercerita. “Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” sambung Fajar.
Baca juga: Hanyut dalam Nyanyian Akar Rumput
Meski sudah turun layar sejak 23 Januari 2020, Nyanyian Akar Rumput setidaknya mengingatkan publik dan pemerintah bahwa kasus-kasus semacam kasus Wiji Thukul masih jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan negara. Selain itu, menurut Wahyu Susilo yang juga adik Wiji Thukul, film kedua tentang kakaknya itu –yang pertama, drama Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen– juga menyingkap beberapa sisi tentang Wiji Thukul yang jarang diperhatian orang.
“Dari film ini kan juga diungkapkan bahwa keluarga merasa bahwa Thukul juga bersalah. Dia melarikan diri, menghilang, enggak urus keluarga, macam-macam. Dalam konstruksi keluarga yang normal, (Thukul) tak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga,” ujar Wahyu kala ditemui Historia di sebuah rumah makan di gedung toko buku ternama di Matraman, Jakarta Timur.
“Ini juga penting ya bagi orang yang selama ini selalu mendewa-dewakan aktivis demokrasi macam-macam, tapi juga ada nilai keluarga yang saya kira juga penting untuk disajikan,” sambungnya.
Natal dan Lebaran Terakhir
Rumah makan di gedung toko buku itu berseberangan dengan sebuah restoran masakan Padang. Dalam perbincangan dengan Historia, tetiba Wahyu terdiam kala menengok ke jendela besar yang menghadap restoran masakan Padang itu.
“Kira-kira di situ. Dulu di situ rumah makan Padang juga, tapi enggak sebesar ini. Di situ dulu saya ketemu Mas Thukul. Salah satu momen terakhir ketemu dia,” ujarnya yang kemudian berdiri ke dekat jendela dan menatap restoran Padang itu.
Baca juga: Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli
Seingat Wahyu, pertemuan dengan Wiji Thukul di restoran Padang itu terjadi medio Oktober 1997. Seetahun sebelumnya, sang kakak dituduh sebagai dalang Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) 1996 oleh rezim Soeharto.
“Jadi ketika disebutkan dalang peristiwa 27 Juli itu, ada lima orang aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik). Mas Thukul salah satunya. Kemudian dia menyingkir. Berpindah-pindah sebagai statusnya buron. Sempat bersembunyi sampai ke Kalimantan, sampai akhirnya balik ke Jakarta dan ketemu saya di restoran Padang itu,” kata Wahyu.
Keterbatasan waktu dan kewaspadaannya membuat Wiji Thukul tak bisa bicara banyak dengan Wahyu. “Masih diskusinya tentang perkembangan politik. Sedikit juga bicara tentang keluarga. Mas Thukul menanyakan bagaimana kabar Mbak Sipon (Siti Dyah Sujirah, istri Wiji Thukul) dan anak-anak,” tambahnya.
Nada bicara Wahyu berubah, suaranya bergetar, dan matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan tentang kumpul keluarga besar lengkap dengan Wiji Thukul yang terakhir.
“Di keluarga kami kan ada yang Katolik dan ada yang Muslim. Biasanya kumpul bareng itu di Yogya untuk Natalan sekaligus lebaran. Karena kan akhir tahun 1997 dan awal 1998 itu Natal sama lebaran harinya dekat. Itu juga sembunyi-sembunyi ketemunya. Itu Desember 1997 terakhir ketemu fisik dengan mas-ku. Jadi Natalan dan lebaran berikutnya akhir tahun 1998 sudah mulai enggak lengkap,” tuturnya lirih.
Keluarga di Belakang Wiji Thukul
Selain keluarga dan rekan aktivis seangkatannya, mungkin banyak yang tak mengenal dari keluarga seperti apa Wiji Thukul tumbuh sampai menjadi penyair yang kata-katanya ibarat peluru buat rezim Soeharto. Keluarga itulah yang jadi kisah Wahyu selanjutnya.
Wiji Thukul merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Di antara Wiji dan Wahyu sebagai si bungsu, ada Nasri Nugroho. Orangtua mereka, Sayem dan Kemis Harjosuwito, orang biasa dengan ekonomi pas-pasan.
“Dulu ceritanya kakek saya orang Karanganyar, dari utaranya Solo. Kemudian mereka jadi transmigran awal di Metro Tanggamus, Lampung. Bapak dan ibuku menikah di sana, tapi kemudian jadi urban ke Solo sekira tahun 1955-1956, setelah jual sawah untuk beli becak. Pekerjaan bapak ya penarik becak. Kalau ibu, ikut cari nafkah dengan jadi pembatik,” ungkap Wahyu.
Sejak kecil, kata Wahyu, Wiji Thukul sudah getol dengan banyak kesenian. “Seingat saya bapak ya pernah ikut kesenian di desa. Ya mungkin di zaman lalu, berkesenian di desa itu biasa selain narik becak,” sambungnya.
Ketiga bocah sering diajak ayah mereka menyaksikan gamelan di Masjid Agung Solo saat Sekatenan. “Waktu Maulid-an, dulu biasanya selalu ada gamelan Kiai Guntur Madu dan gamelan Kiai Guntur Sari. Biasanya selepas (waktu salat) Isya’ sampai tengah malam diajak sama bapak,” tutur Wahyu.
Di usia sekolah dasar sampai SMP, Wiji Thukul mulai tumbuh jadi anak yang kreatif dan relijius. Selain rajin ibadah, Thukul sering terlibat dalam banyak kegiatan seni di gereja. “Aktivitas seninya sebenarnya karena pengaruh gereja. Dia anggota paduan suara, anggota teater paroki, sampai dia masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Mengintip Belakang Layar Nyanyian Akar Rumput
Namun Thukul tak sampai menamatkan sekolah itu. Ia memilih putus sekolah agar biaya pendidikan yang ditanggung kedua orangtuanya dialihkan untuk kedua adiknya. “Ya itu. Dia orangnya baik, enggak pernah jahil sama adik-adiknya. Selalu ngalah orangnya sama adik-adiknya,” kata Wahyu yang kembali terdiam setelahnya.
Meski putus sekolah, kegiatan teater Wiji Thukul jalan terus. Ia ikut ke Teater Jagat, lalu mendirikan perkumpulannya sendiri, Teater Suka Banjir.
“Saya ketemu Mas Thukul di Teater Jagat. Kemudian kita dekat sampai menikah. Tapi karena di Teater Jagat ada aturan anggotanya enggak boleh menikahi sesama, akhirnya Mas Thukul keluar dan membuat Sanggar Suka Banjir,” ungkap Sipon dalam salah satu cuplikan di Nyanyian Akar Rumput.
Wiji Thukul mulai menyentil rezim Orde Baru dengan puisi-puisinya kala sudah terlibat di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), perkumpulan seniman dan budayawan yang kemudian menjadi salah satu sayap organisasi di PRD.
“Sebelumnya dia nulis puisi-puisinya di masa awal-awal, ya semacam puisi gelaplah. Puisi yang abstrak begitu. Sempat dibacakan di Radio PTPN Solo tahun 1979-1980-an, waktu saya masih SD. Mulai isu-isu politik di puisinya sejak di Jakker itu. Dia yang jadi kepala seksi budaya dan seni di PRD itu dengan Jakker-nya,” sambung Wahyu.
Imbas dari aktivitasnya itu, kediaman keluarga Wiji Thukul acap menerima teror. Namun, lanjut Wahyu, keluarga akhirnya terbiasa. Tetapi ketika sudah sampai puncaknya, saat Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM lain dihilangkan paksa, sampai detik ini keluarga belum mau menyerah walau mulai lelah setelah 21 tahun.
“Harapan kita (keluarga) itu, dulu dia ngumpet atau apa, tapi ternyata kan enggak pulang-pulang. Hasil investigasi KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, red.) bahwa ternyata menjelang kejatuhan Soeharto ada gerakan-gerakan yang, enggak tahu terkomando atau tidak, dari militer melakukan penculikan,” sambungnya.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Museum HAM
Pada 2000, KontraS menyatakan 13 aktivis HAM yang hilang itu jadi korban penghilangang paksa, termasuk Wiji Thukul. Tidak hanya Sipon dan kedua anaknya, Wahyu dan kedua orangtuanya pun turut memendam pedih.
Rona kepedihan itu dihadirkan Yuda Kurniawan dalam Nyanyian Akar Rumput lewat footage Sayem dan Kemis Harjosuwito turut hadir dalam penyerahan penghargaan Yap Thiam Hien 2002 untuk Thukul yang diterima keluarga. Footage itu didapat Yuda dari Lexy Rambadeta, videografer-aktivis yang sering mengikuti aktivitas keluarga Wiji Thukul semasa memperjuangkan pencarian sang akvitis.
“Dari ceritanya Mas Lexy, Mbah Sayem dan Mbah Kemis di situ berpikirnya dia akan ketemu Wiji Thukul, tapi ternyata enggak ada. Setelah acara selesai, mereka menanyakan terus, ‘Dadi piye iki, Wiji Thukul iki? Kapan sido mulih?’ (Jadi bagaimana Wiji Thukul? Kapan jadinya dia pulang),” kata Yuda pada Historia di tempat berbeda.
Adegan lain yang tak kalah mengharukan adalah ketika Fajar menginap di rumah Wahyu di Depok. Kebetulan Yuda berhasil merekam momen Mbah Sayem membangunkan Fajar yang tidur di sofa depan rumah Wahyu.
Seraya mengucek mata, Fajar menyambut pelukan Mbah Sayem yang pecah tangisnya. “Kangen aku, le,” (Kangen aku, Nak).
“Ngopo, Mbah? Kalo ketemu pasti nangis,” jawab Fajar.
Sayem mengira Fajar adalah Wiji Thukul, anaknya yang hilang lebih dari dua dasawarsa lalu. “Karena mungkin perawakannya Fajar mirip ya sama bapaknya. Rambutnya ikal, badannya kurus, wajahnya juga mirip banget. Sampai dicubit-cubit pipinya Fajar,” sambung Yuda.
Kemis dan Sayem Harjosuwito tak pernah mendapatkan jawaban sampai keduanya menutup usia. Kemis wafat pada 2005, sementara Sayem pada 2017.
“Mereka (Kemis dan Sayem) selalu tanya. Kadang-kadang kita enggak tahan juga, kan, baik saya maupun Mbak Sipon. Kita hanya bisa bilang, ya (Thukul) belum pulang, begitu terus. Kita juga enggak ingin menyampaikan anaknya hilang karena politik. Bapak dan ibu enggak pernah berhenti tanya sampai hari terakhirnya,” tandas Wahyu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar