Komandan Pesindo Bernama Sarwono Sastro Sutardjo
Tokoh Pesindo Sumatra ini disebut-sebut berandil besar dalam peristiwa Revolusi Sosial di Sumatra Timur. Dari Pesindo, dia kemudian menjadi kader PKI yang duduk di DPR.
NASIB Sarwono Sastro Sutardjo di ujung tanduk. Laskar Naga Terbang pimpinan Timur Pane berhasil menangkapnya. Timur Pane bahkan hendak membunuh Sarwono. Tapi, Timur Pane akhirnya gagal menjagal Sarwono. Saat itu bertepatan dengan kedatangan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Pematang Siantar. Nyawa Sarwono pun tertolong.
“Kupanggil Timur Pane ke tempat aku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuhnya. Dia sendiri kusuruh pergi ke Tapanuli untuk minta bantuan senjata ke laskar Tapanuli. Aku menyuruhnya pergi ke Tapanuli, sebab ia bermaksud akan menggempur daerah Medan,” tutur Bung Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi.
Peristiwa itu terjadi sekitar Juli 1947, tak lama setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama. Saat itu memang merupakan tahun-tahun rawan di antara kalangan laskar di Sumatra Utara. Meski sama-sama menghadapi tentara Belanda, mereka juga saling gempur satu sama lain, berebut pengaruh maupun persenjataan. Laskar Naga Terbang pimpinan Timur Pane dan Kesatria Pesindo, organ kelaskaran Pesindo, pimpinan Sarwono termasuk yang terkuat. Selain di Sumatra Timur, Kesatria Pesindo Aceh juga barisan laskar yang sangat kuat.
Baca juga: Timur Pane: Lakon Sang Bandit
Sarwono Sastro Sutardjo, seperti disebut dalam direktori profil Kami Perkenalkan terbitan Kementerian Penerangan (1951), lahir di Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah pada 17 Juli 1917. Sebelum masuk organisasi politik Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Sarwono merupakan pengurus Perguruan Nasional Taman Siswa di berbagai tempat di Sumatra sejak 1935 sampai 1945. Dalam kurun waktu itu, Sarwono sempat menjadi pimpinan cabang daerah Perindra Surijawirawan dan Gerakan Muhammadiyah di Sumatra. Setelah Indonesia merdeka, mantan guru Taman Siswa ini kemudian bergabung dengan Pesindo Sumatra Timur. Pesindo sendiri merupakan organ pemuda dari Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifuddin.
Meski merupakan organisasi politik, Pesindo di masa revolusi lebih mengutamakan perjuangan ke arah fisik (kelaskaran) daripada politik. Pesindo mempunyai cabang dan ranting di seluruh Sumatra Timur, termasuk barisan kelaskarannya Kesatria Pesindo. Dalam Pesindo, Sarwono semula bergerak di Medan menghimpun para pejuang dalam kelompoknya. Pada Oktober 1945, Sarwono muncul sebagai kepala salah satu geng petarung terkuat di pusat kota, bernama Gagak Hitam.
Pada pengujung 1945, Sarwono menjadi pemimpin tunggal Pesindo Sumatra Timur. Takao Fusayama, perwira penghubung (LO) Jepang yang pernah bertugas di Medan, menyebut Sarwono begitu berbeda dengan wakilnya, Hendrik Sihite yang pendiam dan misterius. Sarwono digambarkan punya kepribadian yang lebih dapat dipahami, terang, dan bersih. Sihite kemudian terbunuh oleh Pesindo cabang Brastagi. Sarwono mengaku bertanggung jawab atas penahanan Sihite karena mencurigainya sebagai mata-mata Belanda.
“Sesuai perintah rahasia dari pemerintah kami, saya menginstruksikan Pesindo Brastagi untuk menahan Sihite, tetapi mereka membunuhnya karena keliru. Para pemuda yang pergi menahannya menembaknya sampai tewas karena keliru. Sihite sudah mati. Saya memikul tanggung jawab untuk memperbaharui suasana dan semangat Pesindo sebagai komandan yang baru,” kata Sarwono seperti dikisahkan Takao Fusayama dalam memoarnya berjudul A Japanese Memoir of Sumatra, 1945---1946: Love and Hatred in The Liberation War.
Sebagaimana kebanyakan pentolan laskar di masa Perang Kemerdekaan yang kerap bertindak sebagai raja kecil, demikian pula Sarwono. Fusayama menyaksikan Sarwono senantiasa dikelilingi oleh anak buahnya sambil meletakkan tangan di pistol yang tergantung di pinggang. Sementara itu, sejarawan Anthony Reid menyebutkan Sarwono menghimpun para bandit dan resedivis ke dalam barisan laskar Pesindo. Salah satu bandit rekrutan Sarwono yang paling terkenal bernama Amat Boyan, seorang rampok dan resedivis di zaman kolonial dan pendudukan Jepang. Sarwono menempatkan Amat Boyan dalam unit khusus bersenjata bernama Pasukan Cap Kampak.
“Selama bulan Desember, Sarwono menjadi ketua Pesindo Sumatera, dan berhasil membagi Medan menjadi delapan sektor, masing-masing berisi sekelompok sekitar tiga puluh penjahat yang dikenal sebagai Pelopor (pasukan pemukul) yang bertanggung jawab atas kejahatan yang lebih kejam yang dilakukan di daerah itu,” catat Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra.
Baca juga: Kisah Amat Boyan, Raja Bandit dari Medan
Dalam politik, Sarwono berpatron kepada Abdul Xarim MS, seorang tokoh pergerakan kiri yang pernah diasingkan pemerintah kolonial ke Boven Digul. Sebagaimana Xarim, Sarwono juga terlibat dalam Revolusi Sosial pada Maret 1946. Peristiwa berdarah itu jadi tonggak kehancuran kerajaan-kerajaan di Sumatra Timur oleh kekuatan revolusioner yang anti-feodalisme.
Sarwono dari Pesindo didapuk menjadi ketua Markas Agung, badan koordinasi yang menyatukan berbagai badan perjuangan termasuk kelaskaran. Selain Sarwono, beberapa tokoh partai politik duduk dalam susunan pengurus Markas Agung. Nathar Zainuddin, Abdul Xarim, Mr. Luat Siregar, dan M. Yunus Nasution dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sedangkan dari Partai Nasional Indonesia antara lain M. Saleh Umar dan Yacub Siregar.
“Tokoh-tokoh ini merupakan pendorong dan penggerak utama lahirnya Revolusi Sosial yang penuh darah itu, baik di Sumatra Timur maupun Aceh,” seperti disebut dalam otobiografi Sjamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal yang ditulis Ramadhan KH dan Hamid Jabar.
Menjelang Revolusi Sosial (Februari 1946), Markas Agung berubah nama mengikuti gerakan Persatuan Perjuangan di Jawa, menjadi Volksfront. Susunannya sama seperti Markas Agung. Sarwono tetap menjadi ketua Volksfront, begitupun dengan para penasihatnya.
“Sarwono adalah bekas seorang guru Taman Siswa yang kemudian jadi anggota Pesindo Sumatra Timur dan seterusnya menjadi pengikut politik Xarim MS. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan kemudian hari yang dia ditempatkan jadi anggota DPR Pusat sebagai utusan PKI Sumatra,” ungkap Tengku Muhammad Lah Husny dalam Revolusi Sosial di Sumatra Timur/Tapanuli, disertai pangkal dan akibatnya: sebuah penyegaran penelitian sejarah.
Baca juga: Taman Siswa Wadah Menjadi Manusia
Selain bentrok dengan sesama laskar, seperti Naga Terbang pimpinan Timur Pane, kepemimpinan Sarwono dalam Pesindo juga dikecam oleh sesama kelompok Pesindo. Gugatan datang dari Pesindo Aceh yang dipimpin oleh Ali Hasjmy. Sebabnya, Sarwono makin cenderung merapat kepada PKI. Pada 13 April 1949, pimpinan Pesindo Aceh menyatakan berseberangan dengan Dewan Pusat Pesindo karena dianggap telah bersekutu dengan Gerakan Muso cs. Mereka juga tidak mengakui lagi Sarwono sebagai instruktur Pesindo Sumatra. Selain karena diangkat oleh Dewan Pimpinan Pusat Pesindo, sepak terjang Sarwono dinilai mencoreng citra Pesindo.
“Di antara sebab-sebab itu: tidak cakap dan tidak bijaksana dalam menghadapi berbagai masalah, melakukan kegiatan yang merugikan organisasi, bercampur tangan, atau sekurang-kurangnya menjadi dalang peristiwa yang terjadi tahun 1948 di Aceh. Menghadapi Peristiwa Muso dkk., Sarwono sebagai Instruktur Pesindo Sumatra pun bersikap ragu-ragu,” demikian ulas Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid V 1949.
Namun, Sarwono tidak bernasib sama seperti seterunya, Timur Pane, yang hilang tanpa jejak setelah Perang Kemerdekaan. Dari Pesindo, Sarwono menyeberang menjadi anggota PKI. Kader PKI bernomor angota ini 372 ini pada 1950 menjadi anggota DPRS. Setelah Pemilu 1955, Sarwono duduk sebagai anggota Konstituante mewakili PKI hingga 1959.
Baca juga: Timur Pane Pejuang yang Terbuang
Tambahkan komentar
Belum ada komentar