Taman Siswa Wadah Menjadi Manusia
Sekolah seharusnya tak hanya mengajarkan keterampilan semata. Dimensi kemanusiaan penting dihadirkan seperti di Taman Siswa.
Butet Kartaredjasa, si raja monolog, ternyata mengidolakan Ki Hadjar Dewantara. Menurut Butet, Ki Hadjar sukses memberi sentuhan kemanusiaan di Taman Siswa, satu hal yang dilupakan institusi pendidikan di Indonesia dewasa ini.
Ki Hadjar Dewantara –nama mudanya Soewardi Soerjaningrat– terlahir dari lingkungan ningrat Paku Alaman di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Di usia 23 tahun, bersama Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, dia mendirikan Indische Partij, yang membuatnya masuk penjara.
Gagal di politik praktis, Ki Hadjar merintis Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa pada Juli 1922. Sekolahnya meluas, kendati pemerintah Hindia Belanda mencapnya sebagai “sekolah liar”.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
Di sela-sela kesibukannya menyiapkan pentas Gundala Gawat di Gedung Kesenian Jakarta, Butet berbagi cerita tentang sosok Ki Hadjar dan pengalamannya bersekolah di Taman Siswa. Berikut wawancaranya:
Mengapa Anda mengidolakan Ki Hadjar Dewantara?
Karena dia peletak dasar pendidikan formal, yang dalam mengimplementasikannya tetap mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan. Jadi anak didik tak diperlakukan hanya seperti angka-angka, namun juga subjek untuk mengembangkan diri.
Apa arti merasakan sentuhan kemanusiaan itu?
Saya menyelesaikan SMP di sana, waktu itu Taman Dewasa Ibu Pawiyatan. Saya merasa betul ada dimensi kemanusiaan di sana. Anak didik dihargai secara utuh, punya martabat, punya harga diri.
Baca juga: Kisah Cinta Ki dan Nyi Hajar Dewantara
Jadi, ukurannya bukan sukses akademik, namun sukses sebagai manusia. Bagi saya itu lebih penting. Dan tiga nilai dari ajaran Ki Hadjar ada di sana, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani; yang di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang mendorong.
Apa saja yang diajarkan di Taman Siswa?
Waktu itu, misalnya mata pelajaran ke-Taman Siswa-an, yang gak ada di sekolah lain. Isinya ya tentang sejarah. Sejarah Ki Hadjar. Cita-citanya. Nilai-nilai kebangsaannya. Kemudian ada pelajaran ekstra, yaitu pencak silat dan menari; salah satu wujud menghargai produk kebudayaan dan menanamkan nilai.
Apakah nilai-nilai yang diajarkan Taman Siswa itu memengaruhi Anda?
Jelas. Saya mulai mencintai sastra, membaca novel, itu dimotivasi oleh guru saya, guru bahasa Indonesia yang namanya Pak Rusmiadi atau Ki Rusmiadi. Lalu suka melukis, mengelola majalah dinding, yang memotivasi Ki Sukirno. Mereka memberi perhatian khusus. Namanya anak SMP kan bangga mendapat penghargaan personal, dan menjadi rajin. Saya yang sebelumnya bandel, suka membolos, kemudian menjadi percaya diri dan merasa bangga karena merasa punya talenta.
Sampai saat ini, saya selalu memakai sandal “Taman Siswa”, sandal yang dulu dikenakan guru-guru di Taman Siswa. Mungkin jalan sejarah hidup saya akan lain jika tidak sekolah di Taman Siswa. Di situlah terbuka perspektif saya.
Semangat apa yang Anda dapatkan dari sosok Ki Hadjar Dewantara?
Semangat ayah saya mendirikan padepokan Bagong Kussudiardja tidak jauh beda dengan semangat Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan Taman Siswa. Nah, sepeninggal Pak Bagong, saya mengelola padepokan Bagong Kussudiardja, dengan warisan semangat yang sama pula.
Sekarang saya meneruskan cita-cita almarhum ayah saya, menanamkan visi kepada orang yang datang belajar di padepokan, yang bukan sekadar belajar keterampilan seni namun juga menciptakan manusia yang punya integritas, mimpi besar, dan tanggung jawab sosial. Di titik ini, ayah saya dipengaruhi Ki Hadjar Dewantara, sedang saya dipengaruhi ayah saya. Jadi, ini suatu rentetan, suatu produk pendidikan yang bukan model kurikulum, karena ada dimensi kemanusiaannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar