Hubungan Aneh Belanda-Aceh
Aceh pernah sangat membenci Belanda, begitu juga sebaliknya. Tapi mereka pun pernah mesra dan para rajanya saling bertukar hadiah.
HUBUNGAN antara Aceh dan Belanda memang aneh. Dalam sejarah, kedua pihak tak jarang terlibat dalam bentrokan besar, yang tentunya merugikan (terutama secara ekonomi) bagi Belanda maupun Aceh. Bahkan untuk menguasai wilayah paling ujung Sumatera tersebut, Belanda perlu menerapkan strategi khusus yang belum pernah dilakukannya di negeri manapun juga.
Namun Aceh dan Belanda pernah sama-sama tertarik menjalin hubungan dagang dan birokrasi. Itu terjadi pada paruh pertama abad ke-17. Aceh adalah pandangan pertama Belanda ketika akan memulai menguasai perdagangan Nusantara. Mereka tahu bahwa Aceh telah menjalin hubungan yang sangat luas dengan India, Pesia, dan Timur Tengah.
“Kontak awal dengan Aceh jauh daripada menguntungkan bagi orang Belanda karena mereka bergantung pada kemauan baik Raja Aceh,” tulis Cees van Dijk dalam “Utusan, Budak, Seorang Pelukis, dan Beberapa Siswa” dimuat Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Baca juga: Kisah Martir Portugis di Aceh
Belanda memerlukan banyak siasat untuk menarik hati Sultan Alauddin Riayat Syah. Tetapi tidak mudah karena Portugis saat itu masih menjadi favorit sang sultan. Usaha pertama Belanda terjadi pada 1599, ketika mengirim dua bersaudara, Corenelis dan Frederick de Houtman. Namun mereka gagal meyakinkan sultan Aceh. Cornelis tewas dalam pertempuran, sementara Frederick ditawan selama dua tahun.
Dua perjalanan selanjutnya juga mengalami kebuntuan. Barulah pada usaha yang keempat, sultan mulai tergerak untuk membuka diri kepada Belanda. Pada 1601, Belanda mengirim empat buah kapal ke Aceh. Kali ini mereka tidak datang dengan tangan kosong. Ada sepucuk surat dari Pangeran Maurits, lengkap dengan hadiah berupa ribuan keping emas, senjata berlapis emas, cermin, dan barang mewah lainnya.
Di dalam suratnya, Pangeran Maurits mengatakan bahwa sultan telah disesatkan oleh omongan-omongan bangsa Portugis tentang Belanda. Pangeran Belanda itu bahkan menawarkan bantuan militer untuk melawan musuh-musuh Aceh.
“Akibat surat itu, dan tentunya beberapa hadiah, telah terjadi titik balik yang menguntungkan Belanda. Selain berkat sikap angkuh orang Portugis yang mendesak membangun sebuah benteng Portugis,” kata Cees.
Setelah menerima niatan baik Belanda itu, sultan kemudian memutuskan untuk mengirim utusan ke negeri Belanda. Ia ingin memberikan beberapa hadiah sebagai balasan, dan melihat keadaan di kerajaan yang akan menjadi kawannya itu.
Baca juga: Hadiah untuk Sang Ratu
Utusan dari Aceh terdiri dari tiga orang, yakni duta besar Aceh Tuanku Abdul Zamat (Abdul Hamid), Laksamana Raja Seri Mohmat (Sri Muhammad), dan seorang kemenakan sultan Meras San (Mir Hasan). Mereka berangkat dengan didampingi beberapa orang pembantu, pedagang Arab, dan penerjemah. Perjalanan yang dilakukan dengan menumpang kapal Belanda itu memerlukan waktu yang sangat panjang dan tidak mudah.
Pada 1602, setelah menjauhi Tanjung Harapan, di dekat Pulau Saint Helena, kapal-kapal Belanda yang membawa utusan itu dihadang oleh kapal Portugis. Setelah kejar-kejaran selama beberapa hari, akhirnya kapal Belanda berhasil ditawan. Walau nyaris celaka, tetapi para utusan akhirnya dapat sampai ke negeri Belanda.
Namun pada 9 Agustus 1602, ketika berada di Middleburg Abdul Zamat meninggal dunia dalam usia 71 tahun. Dengan tata cara syariat Islam, ia pun dimakamkan di belakang pekarangan gereja Saint Pieters, Middleburg.
“Dalam upacara yang khidmat itu, Middleburg maupun Vlissingen menjadi kosong karena penduduknya menyaksikan peristiwa yang berlum pernah terjadi sebelumnya,” tulis Cees.
Setelah prosesi pemakaman, para utusan kembali melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Maurits. Karena saat itu Belanda sedang berperang dengan Spanyol, para utusan dari Aceh secara tidak langsung ikut merasakan atmosfir pertempuran antar negara besar di Eropa kala itu.
Saat para utusan tiba, Pangeran Maurits sedang mengepung kota Grave sehingga tidak bisa menemui mereka di Middleburg. Akhirnya para utusan Aceh memutuskan mendatangi sang pangeran di medan perang.
Setelah sampai, mereka segera dikawal oleh pasukan berkuda menuju kediaman pangeran. Di sana, para utusan disambut dengan baik. Usai jamuan makan, pangeran Maurits mengundang para pembesar kerajaan untuk beraudiensi dengan Seri Mohmat dan lainnya.
Sebagai pengganti duta besar, Seri Mohamat ditugasi memberikan dua pucuk surat dan beberapa hadiah dari Sultan Aceh. Mereka membawa sebilah belati yang gagangnya dilapisi emas, piring emas, sebuah bola kayu berisi tiga cawan emas, dan sebuah piala emas. Masing-masing cawan telah diisi kamper dari Kalimantan, yang sangat disukai orang-orang Eropa.
Baca juga: Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda
“Hadiah lain yang tidak disebutkan dalam daftar itu adalah seekor kakatua merah, yang menurut cerita dapat berbicara bahasa Arab,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Setelah beberapa bulan tinggal di kediaman Pangeran Maurits, para utusan Aceh bertolak ke Amsterdam. Mereka tidak langsung kembali ke tanah air. Di sana, para utusan tinggal cukup lama untuk menikmati kota-kota di Belanda dan negara sekitar. Praktis para utusan Aceh itu tinggal selama 15 bulan di negeri Belanda, dengan biaya seluruhnya ditanggung oleh pemerintah Belanda yang mendapat bantuan dana dari VOC.
Pada Desember 1603, Seri Mohamat dan lainnya memulai perjalanan pulang ke Aceh dengan menggunakan kapal Belanda. Kurang lebih setahun kemudian, mereka tiba di hadapan sultan untuk menceritakan pengalamannya selama di negeri kincir angin itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar