Kisah Martir Portugis di Aceh
Utusan Portugis datang ke Aceh untuk berdamai. Berakhir tragis karena Belanda menuduhnya bertujuan misionaris.
PADA awal abad ke-17, Portugis terus menerus dalam keadaan perang dengan Kesultanan Aceh. Kapal-kapal mereka yang bertolak dari Malaka atau Goa tak boleh singgah di Aceh. Ketegangan mereda pada September 1638.
Sejarawan Prancis Danys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda menulis, orang Portugis di Malaka atas perintah Raja Muda India, Pedro de Silva, mengirim utusan kepada Sultan Aceh, Iskandar Thani. Mereka bermaksud mengadakan perjanjian damai. Pengiriman itu juga terdorong oleh kemajuan Belanda. Mereka berharap Aceh berpihak pada mereka yang tak rukun dengan Belanda.
Baca juga: Inilah tiga orang Jawa yang membahayakan Portugis
Utusan itu dipimpin Francesco de Soza de Castro. Selain itu, turut juga Pierre Berthelot yang belum lama menjadi biarawan Carmes Dechaux dengan nama Romo Denis de la Nativite. Nakhoda asal Normandi itu mengabdi kepada sang raja muda sebagai pembuat peta.
Kapal yang membawa utusan itu berangkat dari Goa. Mereka bentrok dengan Belanda di teluk pintu masuk Aceh.
"Sesudah pertempuran dahsyat dan setelah Castro mendapat luka berat, Portugis berhasil mendobrak rintangan," catat Lombard.
Sayangnya, Belanda lebih dulu mempengaruhi orang-orang Aceh bahwa utusan Portugis itu punya tujuan misionaris. Mereka pun mendapat sambutan tak ramah.
Baca juga: Sultan Ternate diibunuh orang Portugis karena menolak monopoli dan kristenisasi
Seorang utusan Kesultanan Aceh menjemput mereka. Saking parah luka yang diderita, orang-orang Portugis tak bisa naik gajah. Mereka lalu diangkut dengan permadani. Baru sampai di depan gerbang istana, sultan justru menyuruh menangkap mereka. Termasuk Berthelot, yang dibunuh dalam keadaan yang menyebabkan mereka kemudian dianggap martir.
"Adapun Bruder de Soza ditebus oleh keluarganya dan dapat kembali ke Goa," tulis Lombard.
Lombard menjelaskan, kisah ini didapat berkat Romo Philippe de la Tres Sainte Trinite, yang mengenal Berthelot di Goa. Dia punya andil dalam masuknya Berthelot ke dalam Ordo Carmes Dechaux.
Philippe menyusun cerita tentang peristiwa itu dalam bahasa Latin berbentuk kisah kehidupan orang suci. Kisah ini lalu terbit sekira 1652 di Lyon dalam bahasa Prancis berjudul Voyage d’Orient. Beberapa bagian karya ini diterbitkan kembali oleh Ch. Breard dalam Histoire de Pierre Berthelot.
Baca juga: Setelah seabad berkuasa di Maluku, Portugis menyerah kepada VOC
Sumber lainnya adalah surat yang dikirim Francois de Soza de Castro untuk Pere General des Carmes di Roma. Sang pemimpin utusan itu menulisnya setelah dibebaskan dari tahanan pada 1643. Dia bersaksi, selama hampir tiga tahun dia mampu menahan kekerasan penjara yang sangat pahit dan sangat sempit. Dia juga menyaksikan enam puluh orang Portugis lainnya, rekan-rekan seperjalanannya ke Aceh menjadi martir.
Dalam surat itu termuat pula bagaimana dua biarawan, Denis de la Nativite dan Bruder Redempt de la Croix, memilih dihukum mati ketika diminta masuk Islam.
“Lebih dari yang lain, Romo Denis de la Nativite, Bapa pengakuan saya, dan Bruder Redempt de la Croix, biarawan yang keduanya patuh pada Paduka, yang pertama tidak hanya memberi nyawanya demi pengakuan iman kita yang amat suci, tetapi memperlihatkan dengan tegas betapa sedikitnya ia menakuti penyiksaan yang sangat kejam,” tulisnya.
Baca juga: Penyebab Spanyol-Portugis gagal mengusir Belanda dari Nusantara
Tambahkan komentar
Belum ada komentar