Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda
Walau sempat ditentang, para raja dan pangeran dari tanah jajahan itu datang untuk mengucapkan selamat secara langsung kepada Ratu Wilhelmina
KABAR akan naiknya Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau (putri Raja Willem III) ke takhta tertinggi Kerajaan Belanda telah santer terdengar betahun-tahun sebelum hari penobatan. Persiapannya pun dilakukan sedini mungkin oleh para pejabat Belanda agar pesta berjalan megah.
Rupanya di tanah jajahan mereka juga akan diadakan perayaan untuk menyambut penobatan sang ratu. Pemerintah Hindia Belanda segera membuat persiapan untuk melangsungkan perayaan besar di Batavia. Undangannya terbuka bagi semua orang.
“Pelabuhan dan kapal-kapal di Tanjung Priok diterangi lampu-lampu. Gudang arang pun dihias. Menurut rencana akan ada pesta kembang api, tapi ternyata sampai pukul 21.00 belum muncul,” tulis Threes Susilastuti dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe.
Berita penobatan itu sampai juga ke telinga raja-raja pribumi yang oleh media-media Belanda disebut “sekutu dan vazal” kerajaan Belanda. Koran Hindia Belanda di Surabaya, Soerabaiasch Handelsblad, pun membuat sebuah artikel berisi gagasan untuk menghadirkan para raja tersebut ke negeri Belanda.
Mereka membandingkan penobatan ratu Belanda itu dengan Tzar Rusia yang mengundang para vazal dari Asia sebagai bentuk apresiasi karena telah mengakui kekuasaan Rusia di negerinya. Menurutnya, pemimpin daerah di Hindia yang setia kepada ratu jumlahnya banyak sehingga tidak boleh disia-siakan.
“Apabila Hindia hendak ambil bagian dalam pesta penobatan yang khidmat itu, itu harus terjadi dengan cara yang lebih pantas.” tulis Soerabaiasch Handelsblad.
Baca juga: Hadiah untuk Sang Ratu
Gagasan itu didukung oleh koran-koran Belanda lainnya. Mereka berharap kerajaan Belanda melayangkan undangan resmi agar para pemimpin daerah dapat diberi kesempatan mengucapkan selamat secara langsung kepada Wilhelmina.
Adanya berita mendatangkan perwakilan dari Hindia ternyata mengusik rakyat Belanda. Pada 1897, masalah tersebut dibicarakan di Tweede Kamer (Majelis Rendah) Belanda. Sebanyak 22 anggota majelis mengusulkan anggaran sebesar ƒ75.000 untuk keperluan para wakil Hindia selama di Belanda.
Namun gagasan itu ditentang oleh Cremer, Menteri Daerah Jajahan Kerajaan Belanda, karena merasa bukan keharusan untuk mengundang raja-raja di tanah jajahan. Selain itu, kebiasaan hidup mewah yang takutnya dibawa dalam perjalanan mereka ke Belanda akan membebani keuangan pemerintah Belanda.
“Tidak ada maksud pemerintah Hindia maupun kabinet untuk mengundang raja-raja pribumi datang ke sini, dan tidak ada juga desakan kepada mereka untuk datang. Kalau mereka datang kemari, maka mereka datang atas kehendak sendiri dan biaya sendiri,” kata Cremer dikutip Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 karya Harry A. Poeze.
Setelah Cremer mengungkapkan pendapatnya, terjadi kebimbangan di tubuh Tweede Kamer. Lebih dari setengah anggota majelis berubah pikiran dan menerima tanggapan sang menteri. Perdebatan yang cukup alot pun terjadi.
Akhirnya disepakati bahwa undangan untuk para perwakilan tanah jajahan tetap dilakukan. Tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit, yang bahkan tidak merepresentasikan banyaknya kepala daerah yang setia kepada Kerajaan Belanda.
“Seluruh perkara dan argumen-argumen yang dikemukakan oleh Cremer memperlihatkan kecongkakan imperial dan kepelitan orang Belanda yang terkenal itu,” tulis Harry.
Perwakilan yang datang, antara lain: Pangeran Ario Mataram dari Kasunanan Surakarta, yang didampingi beberapa putranya; Sultan Syarif Hasyim dari Kesultanan Siak; dan dua putra Aji Muhammad Sulaiman, Amidin dan Hassanoedin, dari Kesultanan Kutai.
Baca juga: Akibat Priyayi Berkunjung ke Eropa
Umumnya para wakil raja-raja dari Hindia itu mendapat sambutan yang hangat dari penduduk Belanda. Salah satu alasannya adalah karena rasa penasaran penduduk kepada pemimpin di wilayah yang sedang mereka jajah. Media-media setempat pun berlomba memburu para perwakilan tersebut guna mendapat wawancara secara eksklusif.
Selama di sana, seorang amtenar (pegawai pemerintah) bernama Van Senden bertanggung jawab mengurusi semua kebutuhan raja dan pangeran dari Hindia. Ia mengatur semua jadwal kegiatan dan kunjungan yang akan dilakukan, termasuk urusan makan.
Masing-masing perwakilan juga mendapat pemandunya sendiri. Mereka akan didampingi seorang ahli bahasa orang Belanda dan beberapa pembantu yang khusus dibawa dari kerajaannya. Bahkan Pangeran Ario membawa serta beberapa orang penari dan pembatik dari kotanya untuk tampil di depan ratu.
“Para utusan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengunjungi negeri-negeri tetangga, dan di sana mereka mengagumi bermacam hal yang lain dari pada yang lain di Eropa.” tulis Harry.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar