Hadiah untuk Sang Ratu
120 tahun lalu masyarakat Amsterdam menghibahkan sebuah kereta kencana untuk Ratu Wilhelmina. Simbol persatuan atau penindasan?
PADA akhir abad ke-19, Amsterdam ada di ambang perpecahan. Jurang perbedaan antara kaya dan miskin semakin menganga. Api konflik mengintip untuk berkobar hebat. Satu percikan saja, dipastikan dapat membakar salah satu kota terbesar di Belanda tersebut. Amsterdam ibarat api dalam sekam.
Di tengah suasana panas itulah, pada 1896 sekelompok masyarakat Amsterdam dari kalangan atas dan bawah berinsiatif menurunkan tensi konflik. Caranya mereka membuka donasi untuk mempersembahkan sesuatu bagi Putri Wilhelmina yang baru saja dinobatkan sebagai ratu Belanda. Setelah terkumpul uang sejumlah 120.000 gulden, maka mereka memutuskan untuk membuat sebuah kereta kencana yang sangat indah.
“Firma Spyker terpilih untuk menangani proyek pembuatan kereta kencana itu,” demikian menurut Thijs van Leewen dan Alberto Strofberg dalam Gouden Koets.
Dua tahun kemudian kereta bersepuh emas itu pun terwujud. Kendati sangat indah dan anggun, tak ayal Sri Ratu sempat menolak pemberian itu. Rupanya gejolak demonstrasi menentang kehidupan mewah Tsar Nicolaas yang sedang marak di Rusia saat itu menjadi sebab penolakan tersebut. “Sri Ratu khawatir itu pun akan terjadi pada dirinya,” tulis Wim Hulsman dalam sebuah artikelnya di Reformatorich Dagblad edisi 21 September 2010. Sebagai bentuk penghormatan, maka diputuskan kereta kencana diabadikan di museum saja.
Namun akhirnya Sri Ratu mau juga menerima persembahan cinta penduduk Amsterdam itu. Kali pertama dia mencoba kereta kencana terjadi pada 4 Februari 1901, beberapa hari sebelum pernikahannya dengan Pangeran Hendrik berlangsung. Puncaknya, kereta kencana itu digunakan dalam pesta pernikahan mereka.
Sejak itulah, kereta kencana milik Sri Ratu Belanda menjadi simbol persatuan nasional. Benda mewah tersebut menyusuri zaman demi zaman dalam berbagai peristiwa yang sangat penting bagi Belanda. Untuk saat ini, kereta kencana secara rutin dikeluarkan jika Belanda memperingati Hari Pangeran (Prinsjesdag) yang jatuh pada tiap 21 September, di mana Sri Ratu mengumumkan anggaran pemerintahan untuk tahun mendatang. Selalu pada hari itu, Sri Ratu yang mengendarai kereta kencana tersebut dengan ceria dan ramah akan melambaikan tangannya kepada khalayak yang berderet sepanjang jalan seraya mengelu-elukannya.
Namun tidak semua rakyat Belanda memiliki kebanggaan atas kebiasaan itu. Salah satunya adalah Marjolein van Pagee. Menurut jurnalis sejarah tersebut, menempatkan secara penting dan patriotis kereta kencana itu dalam sejarah Belanda, bisa menimbulkan kesan yang tidak baik terutama untuk rakyat yang tinggal di bekas koloni Belanda. Bagaimana tidak, kata Marjolein, lukisan yang tertera dalam badan kereta kencana menyiratkan betapa masih merasa digjayanya Belanda atas orang-orang Jawa (Hindia Belanda), Suriname dan Afrika.
“Jika terus diakbarkan dalam suatu peringatan hari yang penting, saya pikir itu bisa menyiratkan pesan yang salah,” ujar Marjolein kepada Historia.
Perlu diketahui, selain keindahanya kereta kencana itu juga memang mengandung kontroversi. Hal-hal yang mengundang kontroversi tersebut ada di badan kereta yang memperlihatkan lukisan berjudul “A Tribute from Colonies”. Di lukisan itu tergambar bagaimana seorang kuli kulit hitam dengan penuh dedikasi dan rendah diri menawarkan hasil kerja kerasnya kepada Sri Ratu dan para pembantunya yang berpakaian ala Yunani kuno. Lantas di sebelah kanannya ada juga gambar bagaimana Sri Ratu disambut dengan penuh kerendahan hati oleh seseorang yang berpakaian bangsawan Jawa, sementara seorang kuli Hindia membungkuk di belakangnya. Sungguh sulit menolakj jika semua gambaran itu dikatakan bukan sebuah bentuk perasaan superior bangsa Belanda terhadap negara-negara jajahannya yang digambarkan bersikap inferior.
Karena itu sangat wajar jika Jeffry M. Pondaag dari Yayasan KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda) menyebut kereta kencana tersebut alih-alih simbol persatuan melainkan sebagai simbol penindasan. Itulah yang membuat Jeffry bersikeras mengusulkan agar kereta kencana milik Sang ratu tersebut dikembalikan saja ke museum.
“Karena ritual penggunaan kereta kencana itu dalam urusan kenegaraan dapat diartikan sebagai sebuah pola sikap dan bentuk kebijakan Kerajaan Belanda dalam setiap urusan kenegaraan, baik di dalam maupun di luar negeri,” ujar Jeffry.
Sebagai protes resmi, pada 2013 Jeffry lewat yayasan KUKB pernah membuat petisi terkait kereta emas ini dan banyak sekali didukung oleh masyarakat, baik dari kalangan keturunan Indonesia maupun dari warga Belanda asli. Tentu saja protes ini tak pernah mendapat sambutan dari pemerintah Belanda, kecuali sejak 2016 kereta kencana tidak lagi digunakan dengan alasan sedang mengalami renovasi.
"Saya pikir dari julukan aslinya saja yakni "Upeti dari Koloni", kereta emas ini sangat bermasalah dan sangat rasis hingga tak layak lagi dibangga-banggakan oleh pemerintah Kerajaan Belanda," ungkap Jeffry kepada Historia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar