DPA dari Masa ke Masa
Dalam dinamika sejarah pemerintahan, kedudukan DPA mengalami pasang surut. Tugasnya memberi masukan dan pertimbangan kepada presiden. Formalitas belaka?
MENJELANG peralihan rezim dari Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto, muncul wacana untuk menghidupkan kembali lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Gagasan tersebut berasal dari Badan Legislasi (Baleg) DPR yang kini sedang merancang undang-undang perubahan nomenklatur dari Dewan Pertimbangan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ke DPA.
“Fungsinya sama sekali tidak berubah,” kata Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, dikutip dari CNN. Hanya saja, lanjut Supratman, jumlah keanggotaan di DPA nantinya akan menyesuaikan dengan kebutuhan presiden. Berbeda dengan keanggotaan Wantimpres yang kini diisi satu orang ketua merangkap anggota dan delapan anggota.
Menilik komposisinya, jumlah personel Wantimpres jauh lebih sedikit daripada DPA yang bisa diisi oleh puluhan orang. Sejumlah kalangan menilai DPA bakal menjadi tempat penampungan bagi para pendukung, loyalis, dan simpatisan yang membantu Prabowo memenangkan Pilpres kemarin. Itulah sebabnya, DPA dianggap tak lebih sebagai arena berbagi jatah kue kekuasaan pada rezim mendatang.
Baca juga: Perjalanan Prabowo Menuju Menteri Pertahanan
Lembaga DPA sejatinya telah eksis sejak awal Republik Indonesia berdiri. Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 16, DPA kemudian dibentuk pada 25 September 1945. DPA bertugas memberikan masukan dan rekomendasi kepada presiden maupun lembaga negara setingkat presiden, baik diminta ataupun tidak diminta.
Kedudukan DPA, menurut Dimyati Hartono, guru besar ilmu hukum Universitas Diponegoro, setara dengan presiden. Dengan demikian, DPA bebas untuk memberikan pertimbangan berupa pendapat, nasihat, atau kritik mengenai pemerintahan negara. Keanggotan DPA meliputi tokoh masyarakat, tokoh nasional, tokoh daerah, dan tokoh golongan profesi dengan kriteria yang sesuai dengan undang-undang tentang DPA.
Margono Djojohadikusumo, yang tak lain kakek Prabowo Subianto, adalah ketua DPA pertama. Namun, Margono tak lama menjabat sebagai ketua DPA karena pemerintahan kemudian menganut sistem parlementer. Kepala pemerintahan tak lagi dipegang oleh presiden melainkan perdana menteri. Meski demikian, lembaga DPA tak lantas bubar. Setelah Margono, ketuanya berturut-turut RAA Wiranatakusuma V, Ario Soerjo, dan Soetardjo Kartohadikusumo. Hingga pengakuan kedaulatan pada 1949, komposisi DPA tak pernah lebih dari 11 orang, dengan susunan satu ketua, satu wakil, dan sisanya anggota.
Baca juga: Tragedi Pembunuhan Ario Soerjo
Pada dekade 1950-an, pemerintahan Indonesia menganut sistem parlementer murni dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) sebagai dasar negara. Lembaga DPA pun ditiadakan. Terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengembalikan dasar negara kepada UUD 1945 sekaligus pemberlakuan Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian, lembaga DPA aktif kembali. Presiden Sukarno berkedudukan sebagai ketua DPA dan menujuk sendiri anggota-anggotanya. Karena dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden, DPA-nya bersifat sementara maka ia disebut DPAS.
Di masa Demokrasi Terpimpin, jumlah anggota DPAS membengkak. Hingga Presiden Sukarno lengser pada 1968, anggota DPAS tercatat sekira 60-an orang. Selain dari kalangan politik dan utusan daerah, kebanyakan anggota DPAS berasal dari golongan fungsionalis, termasuk melibatkan kalangan seni dan pengusaha.
DPAS zaman Bung Karno punya kedudukan cukup berarti. Menurut Mutia Ganevia dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Dewan Pertimbangan Agung Sementara 1959–1965 sebagai Laboratorium Politik Sukarno”, DPAS bukan sekadar badan penasihat belaka melainkan berperan sebagai laboratorium politik Presiden Sukarno. Namun, dari agenda kerjanya, Ganevia menyimpulkan, DPAS lebih banyak membicarakan masalah-masalah politik sementara cenderung mengabaikan persoalan negara yang lain.
Baca juga: Atas Nama Ideologi Negara
DPA definitif baru terbentuk pada 1967 yang disahkan pejabat presiden Jenderal Soeharto sekaligus menandai DPA masa Orde Baru. Jumlah anggota semula lebih ramping, yaitu 15 orang yang terdiri dari tokoh nasional senior. Namun, lama-kelamaan, jumlahnya membengkak juga, hingga pada periode 1993–1998 telah mencapai 45 orang.
Sorotan terhadap kinerja DPA masa Orde Baru pun tak kurang menuai kritik. Lembaga ini dianggap tidak efektik menjalankan tugasnya. Jika fungsi DPA lebih menjadi instrumen politik kekuasaan Presiden Sukarno, maka di era Orba melempem. Presiden Soeharto dalam menjalankan pemerintahan agaknya juga kurang menggubris saran dan masukan dari DPA.
“Memang kenyataannya, dalam zaman Orde Baru penyelenggaraan negara, keanggotan DPA diisi oleh eks pejabat sipil dan militer yang sudah memasuki masa pensiun sehingga timbul sindiran bahwa DPA diartikan sebagai Dewan Pensiunan Agung,” catat Dimyati Hartono dalam Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Baca juga: Lakon Para Jenderal Pensiunan
Anggapan DPA sebagai lembaga penampung pejabat yang memasuki masa pensiun tak sepenuhnya salah. Jenderal Maraden Panggabean (ketua DPA 1983–1993) dan Laksamana Soedomo (ketua DPA 1993–1998) misalnya, menjadi ketua DPA setelah sama-sama menyelesaikan tugas mereka sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam). Begitupun dengan para anggotanya, rata-rata telah melewati masa aktif dalam kiprah masing-masing.
“Menurut beberapa anggota di DPA, kebanyakan masukan mereka tidak dihiraukan Soeharto. Karena itu, banyak yang memplesetkan DPA sebagai Dewan Pensiunan Agung,” catat Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Baca juga: Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman
Karena dianggap tak efektif, lembaga DPA dibubarkan pada 2003 di masa kepresidenan Megawati. Pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk lembaga semacam DPA bernama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Personelnya jauh lebih ramping dibanding DPA, 10 orang di masa kepresidenan SBY dan 11 orang di masa kepresidenan Joko Widodo, dengan para anggota yang punya kompetensi di bidang-bidang tertentu.
Kini, lembaga Wantimpres diwacanakan bakal kembali pada konsep DPA. Dari perjalanan sejarahnya, efektivitas DPA amat bergantung kepada presiden sebagai kepala pemerintahan. Apakah hendak difungsikan sesuai amanat UUD atau sekadar formalitas belaka. Kita tunggu saja kontribusi lembaga ini pada kepemimpinan presiden terpilih yang akan datang.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar