Tragedi Pembunuhan Ario Soerjo
Mantan pemimpin Pertempuran Surabaya ini ditemukan tewas mengenaskan di sebuah kali kecil dekat Ngawi. Kematiannya disesali tokoh PKI.
KALI kecil di tepi hutan jati itu terlihat seram. Serakan dedaunan dan ranting memenuhi permukaan airnya yang berwarna kelabu. Tepat di sebidang kecil tanah yang agak menjorok ke dalam air, berdiri kokoh sebuah tugu peringatan. Ada tulisan di bagian atas yang berbunyi: “Di sini telah gugur pahlawan-pahlawan bangsaku: 1. Almarhum Bapak Soerjo, Gubernur I Jawa Timur 2. Doerjat, Kombes Polisi I 3. Soerono, Kompol Polisi I, akibat kekejaman PKI di bulan Nopember 1948.”
Kakah, nama kali kecil tersebut, merupakan anak cabang Sungai Bengawan Solo yang membelah Desa Bangunrejo Lor, Ngawi. Tepat 69 tahun lalu, di sini lah R.M.T.A. Soerjo dan kedua orang lainnya harus bertemu sang ajal. “Eyang Soerjo dibunuh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI), saat beliau akan mengunjungi sanak saudaranya di Madiun,” ujar Donny Ariotedjo, salah satu cucu Soerjo.
Baca juga: Musso mengusung "Jalan Baru" untuk mendirikan Republik Soviet di Indonesia
Pertengahan September 1948, PKI pimpinan Moeso menjalankan aksi untuk melawan pemerintahan Sukarno-Hatta. Pada mulanya mereka memfokuskan gerakan di Solo dan Madiun, namun berhasil dipukul mundur oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) hingga ke pelosok-pelosok Jawa Timur. Dalam gerakan mundur itulah, pada November 1948, mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap feodal. Salah satunya yang menjadi korban pembunuhan itu adalah adik laki-laki Soerjo yang bernama R.M. Sarjoeno yang tak lain adalah Wedana Sepanjang.
Soerjo yang saat itu tengah menjadi pejabat tinggi di Yogyakarta, merasa berduka dengan berita kematian sang adik tercinta. Namun karena tugas-tugas yang tidak bisa ditinggalkan, ia tidak bisa mengikuti pemakaman R.M. Sarjoeno. Baru pada 10 November 1948, ia memiliki kesempatan untuk ikut memperingati 40 hari kematian sang adik di Madiun.
Usai mengikuti upacara peringatan Hari Pahlawan yang ke-3, Soerjo berkemas ke Madiun dengan hanya dikawal salah seorang ajudannya, Mayor Soehardi dan sopirnya, Letnan Soenarto. Banyak kawan-kawannya (termasuk Hatta) yang menganjurkan Soerjo untuk tidak berangkat ke Madiun karena situasi jalan menuju kota tersebut belumlah aman. Namun dia tetap bersikeras.
Pertanda buruk mulai terasa ketika baru saja keluar kota Yogyakarta, ban mobil depan tiba-tiba meletus. Ban cadangan pun dipasang dan mobil kembali melaju, tiba-tiba mogok karena ternyata bensinnya sudah habis. Menjelang Solo, hari sudah mulai gelap. Soerjo dan kedua pendampingnya pun memutuskan untuk menginap di rumah Residen Solo yakni Soediro.
Keesokan harinya, mereka bertiga sudah berangkat sejak pagi sekali dan perjalanan pada mulanya lancar-lancar saja. Hingga pada siang menjelang sore, sampailah mereka di kawasan hutan jati yang termasuk dalam wilayah Bogo, Kedungalor, Ngawi. Tanpa sepengetahuan mereka, kawasan hutan tersebut dijadikan tempat beristirahat sekitar 3000 prajurit yang pro-PKI pimpinan Maladi Yusuf, yang tengah meluputkan diri menuju Gunung Lawu.
Mobil Soerjo dihentikan. Ia lantas ditahan. Ikut pula ditahan dua anggota Kepolisian RI yakni Komisaris Besar M. Doerjat dan Komisaris Soeroko yang pada saat bersamaan mobilnya tengah melewati kawasan tersebut. Setelah membakar mobil-mobil para tawanan, anggota pasukan Maladi Yusuf menggiring kelimanya ke Kampung Sundi di Desa Bangunrejo Lor (sekitar 5 km dari tempat mereka dicegat).
Menurut Trisno (92), malam itu Soerjo dan tawanan-tawanan lain diinapkan di Kantor Kehutanan Sundi. Santer terdengar kabar bahwa besok hari Bangunrejo Lor akan diserang oleh pasukan pemerintah. Pagi harinya (12 November 1948), dalam kondisi hanya memakai celana dalam dan mata tertutup secarik kain, pasukan Maladi membawa mereka ke tepi Kali Kakah di Dusun Ngandu. Dengan menggunakan senjata tajam, orang-orang Maladi Yusuf lantas menghabisi satu persatu kelima tawanan tersebut dengan cara memenggal kepala mereka.
“Saya ingat, ada sekitar tujuh orang dewasa di desa kami yang disuruh tentara-tentara itu menguburkan mayat Pak Soerjo dan kawan-kawannya,” kenang sesepuh di Desa Bangunrejo Lor itu.
Tiga hari kemudian, Bangunrejo Lor diserang pasukan pemerintah. Pasukan Maladi Yusuf yang tidak mengira posisinya sudah terketahui lintang pukang menuju Randublatung. Sepeninggal mereka, para lelaki Bangunrejo Lor dikerahkan untuk menggali kembali jasad Soerjo dan keempat rekannya untuk dimakamkan di tempat yang layak.
“Kami menemukan jasad Pak Soerjo tertanam secara dangkal di dalam lumpur Kali Kakah yang sedang kering kerontang,” kata Trisno kepada Historia.
Jasad Soerjo kemudian dibawa ke Madiun. Atas keiinginan keluarga besarnya, lantas dikebumikan di pemakaman keluarga besar istrinya di sawahan, Desa Kapalorejo, Magetan. Banyak kalangan yang ikut bersedih dan mengecam pembunuhan itu sebagai sesuatu yang seharusnya tak dilakukan kepada orang yang sangat berjasa kepada Indonesia, terutama saat memimpin Jawa Timur di tengah peperangan melawan tentara Inggris pada Oktober-November 1945.
Soeripno, tokoh PKI yang terlibat dalam Insiden Madiun 1948 termasuk orang yang menyesali pembunuhan itu. Dalam suatu catatannya di Penjara Solo sebelum dihukum mati, dia menulis bahwa sejatinya ia dan tokoh-tokoh teras PKI sudah memerintahkan kepada Pasukan Maladi Yusuf agar memperlakukan Soerjo secara baik.
Baca juga: Soeripno membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet tapi tak diakui pemerintah Indonesia
“Tetapi sayang sekali, sebelum saya bisa bicara langsung dengan mereka secara baik-baik, tempat kami diserang. Terjadilah panik dan dalam keadaan panik dari penjaga tawanan terjadilah pembunuhan di luar kontrol dan pengawasan malahan di luar pengetahuan kami. Tentang hal ini, kami sangat menyesal,” ujar Soeripno seperti tertera dalam beberapa lembar dokumen Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang dinukil oleh Djamal Marsoedi.
Soerjo adalah gubernur Jawa Timur pertama yang secara formil merupakan tokoh sentral sebenarnya dalam peristiwa Pertempuran Surabaya. Berbeda dengan Soetomo (Bung Tomo), peran Soerjo langsung berhadapan dengan para pejabat militer Inggris seperti Brigadier A.W.S. Mallaby dan Mayor Jenderal E.C. Mansergh. Saat jasadnya ditemukan di Kali Kakah, priyayi asal Magetan itu sedang menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang saat pengangkatannya pada Juni 1947, langsung ditunjuk Presiden Sukarno.
Baca juga: Pertempuran Surabaya: setelah 23 hari, tentara Inggris baru bisa keluar dari "neraka" di timur Jawa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar