Djamin Gintings Nyaris Dibunuh
Aksi penangkapan hingga ancaman pembunuhan kepada calon panglima kodam mewarnai pergolakan daerah di Sumatera Utara.
HARI pelantikan Djamin Gintings sebagai panglima Bukit Barisan harusnya jadi momen berbahagia. Namun sukacita sama sekali tak dirasakan sang istri, Likas Tarigan. Raut wajahnya tegang. Sakit meliputi sekujur tubuh calon nyonya panglima itu.
“Intelijen melaporkan akan ada usaha sabotase dan percobaan pembunuhan terhadap suamiku. Ketakutan menyelimuti hatiku. Kami akan dibunuh, itulah suara hati yang merajaiku,” kenang Likas sebagaimana dituturkan kepada Hilda Unu Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit.
Baca juga: Ketika Djamin Gintings Rindu Tanah Air
Pelantikan berlangsung di kediaman residen – kini menjadi Hotel Danau Toba –, Medan pada akhir Desember 1956. Voojrider dan sirene mengawali kedatangan Letkol Djamin Gintings. Tamu-tamu penting telah hadir untuk menyambut panglima baru. Mulai dari pembesar kota Medan hingga wartawan asing yang meliput. Betapa gugupnya Likas hingga hampir pingsan.
“Hampir jatuh aku di samping suamiku tatkala memasuki ruangan upacara, melewati para tamu yang berdiri dan menyambut kedatangan kami. Pujian berlimpah untuk suamiku tidak kurasakan,” ujar Likas.
Diadu Domba
Teror terhadap Djamin berawal dari pembangkangan yang dilakukan panglima sebelumnya, Kolonel Maludin Simbolon. Pada 22 Desember 1956, Simbolon memaklumatkan pemutusan hubungan sementara dengan pemerintah pusat. Kritik Simbolon atas kesenjangan pembangunan di daerah memicu pergolakan di kota Medan. Simbolon sendiri melarikan diri ke Tapanuli, menghindari penangkapan dan membentuk basis perjuangan.
Pemerintah pusat menanggapi gerakan oposisi di Medan dengan cepat. Simbolon diberhentikan dari kedudukan panglima. Pasukan pusat diterjunkan ke Tapanuli untuk menangkapnya. Pimpinan Bukit Barisan diserahkan kepada Djamin Gintings yang menjabat kepala staf. Apabila Djamin gagal menjalankan tanggung jawabnya, komando diserahkan kepada komandan Resimen II Letkol Abdul Wahab Makmur. Demikianlah keputusan hasil Sidang Istimewa Kabinet Ali II pada hari yang sama.
“Penunjukan Letkol A. Wahab Makmur sebagai alternatif kedua menduduki jabatan di Teritorium-I merupakan ‘cambuk pelecut’ bagi Letkol Djamin Gintings untuk menerima tawaran,” tulis Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa.
Pendaulatan pemerintah atas dirinya menempatkan Djamin pada dilema. Sebelumnya, Djamin telah mengikat ikrar bersama untuk mendukung gagasan Simbolon menyangkut otonomi daerah. Di sisi lain, pemerintah juga mempersiapkan Letkol Abdul Wahab Makmur sebagai opsi alternatif. Di kalangan perwira Bukit Barisan, reputasi Abdul Wahab Makmur kurang mendapat simpati karena afiliasinya dengan kubu PKI.
Menurut Robert Sitinjak, segitiga pertentangan antara Simbolon, Djamin Gintings, dan Abdul Wahab Makmur merupakan politik adu domba ciamik yang dirancang pemerintah. Ketiganya punya pendukung dan basis massa yang besar. Penunjukan Abdul Wahab Makmur adalah untuk memecah kekompakan dan pertalian “marga” antara Maludin Simbolon dan Djamin Gintings. Secara adat, marga Simbolon dan Ginting tergabung dalam ikatan persaudaraan yang berasal dari Raja Nai Ambaton atau disebut “Parna”.
Baca juga: Dendang Cinta kala Martandang
“Artinya, penunjukan Letkol A. Wahab Makmur itu dilakukan untuk memaksa Letkol Djamin Gintings agar bersedia menerima jabatan Panglima. Tetapi, di sisi lain, Letkol A. Wahab Makmur tentu memiliki kepentingan,” tulis Robert Sitinjak dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Keterlibatan Orang-orang Batak Toba dalam Pemberontakan PRRI di Sumatera Utara 1958-1961”.
Panglima yang Dipaksa?
Pukul tujuh pagi, 27 Desember 1956, Djamin memberikan jawaban. Melalui siaran RRI Medan, dia menyatakan bahwa keadaan di Sumatera Utara telah normal kembali. Djamin juga mengumumkan telah mengambil alih Bukit Barisan dalam tanggung jawabnya.
Suasana di balik pidato radio Djamin Gintings diungkapkan oleh Letkol Soegih Arto yang saat itu menjabat komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Dalam memoarnya, Sanul Daca, Soegih Arto menyebut Djamin Gintings dalam keadaan terpaksa dan di bawah tekanan. Keterangan ini diperolehnya dari Kepala Staf Umum-IV Mayor Lahir Raja Munthe.
Baca juga: Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
“Pada mulanya Djamin Gintings tidak bersedia melakukan proklamasi ke pangkuan Pusat, karena ia loyal kepada Simbolon, tetapi dengan todongan pistol ia dipaksa ke studio RRI Medan dan membaca teks siaran yang telah dipersiapkan,” tulis Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn.) Soegih Arto.
Menurut Payung Bangun, Djamin Gintings pernah menjelaskan bahwa tindakan dirinya mengambil alih komando bukan karena mengkhianati ikrar bersama Simbolon. Dia mendukung ikrar bersama asalkan itu untuk memperjuangkan pembangunan daerah dan kesejahteraan prajurit. Dengan kata lain, ikrar itu bukan termasuk pemutusan hubungan dengan pemerintah sebagaimana langkah yang ditempuh Simbolon.
Hingga menjelang pelantikannya sebagai panglima, Djamin melalui jalan terjal. Beberapa kelompok perwira menolaknya. Di antaranya, komandan Resimen II, komandan Resimen III, dan komandan KMKB beserta batalion komandonya. Apalagi di kalangan perwira Batak Toba, Djamin Gintings kurang begitu disukai.
Sebagaimana dituturkan sesepuh TNI AD Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia, Djamin Gintings punya keinginan untuk memajukan masyarakat Karo yang ketinggalan bila dibandingkan sub-etnis lainnya di Sumatera Utara. “Ini ia bilang kepada saya ketika saya pimpin batalion 309 di Tapanuli,” kata Sayidiman.
Toh, Djamin tidak punya pilihan lain. Dalam keadaan darurat demikian, bila menolak, akan dicap desersi. Menerima jabatan panglima pun punya resiko tersendiri, termasuk percobaan pembunuhan.
“Syukurlah, tidak ada kejadian yang menakutkan dalam upacara pelantikan itu,” kenang Likas Tarigan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar