Dendang Cinta Kala Martandang
Tradisi Batak lama mengenal cara bagaimana sepasang insan memadu cinta hingga mendapatkan jodohnya.
Orang dari suku Batak dikenal dengan perangainya yang tegas. Nada suara tinggi. Bicara pun ceplas-ceplos, tak pandang bulu. Lantas, bagaimana cara mereka untuk menyatakan cinta?
Tradisi Batak lama mengenal istilah martandang. Secara harfiah, ia berarti keluar kandang, melawat, atau berkunjung. Dalam adat Batak, martandang merupakan etika pergaulan yang mempertemukan doli-doli (pria lajang) dan boru-boru (anak gadis).
“Kesempatan berkencan diantara muda-mudi inilah yang dikenal dengan istilah martandang di kalangan masyarakat Batak,” tulis E. H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya.
Baca juga: Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?
Biasanya martandang dilakukan sesudah “telungkup periuk” atau malam hari. Namun petang hari adalah waktu yang tepat untuk berkencan. Para pemuda berjumpa dengan gadis dari kampung sekitar. Mereka mendatangi rumah sang gadis incaran; menyelinap ke bawah kolong rumah panggung atau di balik dinding rumah yang bersekat tepas. Cara lain bisa juga secara berkelompok. Pasangan muda-mudi menghabiskan malam dengan bersenda gurau di halaman balai desa.
“Seorang gadis yang menutup diri ketika sekelompok pemuda akan datang bertandang dianggap tidak sopan,” tulis Jacob Cornelis Verwogen, pegawai pemerintah Belanda yang pernah menetap di Tapanuli Utara pada 1927dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba.
“Kunjungan seperti ini (martandang) bersifat informal dan biasanya diakhiri pada waktu yang belum begitu malam,” ujar Verwogen.
Kasmaran ala Batak
Dalam acara martandang, pada mulanya tidak menjurus pada soal-soal cinta. Dengan berbisik-bisik, sepasang anak muda berbicara mengenai soal-soal biasa. Sering kali pihak pemuda mengajukan teka-teki atau pantun. Lambat laun menjurus pada hal-hal yang lebih khusus.
“Kalau sang pemuda menyampaikan teka-tekinya, kemudian sang gadis menjawabnya dengan perhatian dan jujur, tahulah sang pemuda bahwa dirinya berkenan di hati gadis itu,” tulis Tambunan.
Saat martandang, sebagaimana dijelaskan E. St. Harahap dalam Perihal Bangsa Batak, merupakan kesempatan bagi sang pria mengutarakan isi hatinya. Curahan perasaan itu dituangkan lewat nyanyian yang diliputi sajak dan irama, pepatah dan petitih, umpama dan peribahasa. Teristimewa lagi bila terjadi saling berbalas pantun. Bila pihak wanita menjawab si pria dengan pantun yang memberi harapan, maka hubungan keduanya mulai memasuki tahap asmara.
Baca juga: Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang
“Dengan jalan beginilah pemuda belajar nyanyian Batak yang asli,” tulis Harahap. “Keluarlah sajak dan irama menurut kesusastraan Batak. Terbitlah nyanyian di atas nyanyian dan umpama demi umpama, selingan dan sentuhan berbalas-balasan.”
Kalau martandang semakin sering, pertanda pergaulan muda-mudi itu semakin akrab. Besar kemungkinan telah tumbuh benih-benih cinta diantara mereka. Setelah memantapkan pilihan, maka pasangan kasmaran ini akan memberitahukan maksudnya kepada orang tua masing-masing. Orang tua kedua belah pihak kemudian saling bertemu dan menyelenggarakan perundingan tentang perkawinan.
Kini tradisi pergaulan tersebut telah sirna ditelan zaman. Itu dimulai ketika tanah Batak memasuki peradaban modern lewat misi Zending. Budaya baru yang diperkenalkan guru-guru misionaris dalam Batakmission meninggalkan praktik budaya lama. Menurut sastrawan Batak, Paian Sihar Naipospos dalam Aku dan Toba: Tjatatan dari masa anak-kanak, bentuk sosialisasi ini akhirnya lenyap, terutama di kalangan anak muda modern, yang lebih suka menulis surat.
Baca juga: Batak dalam Tanda Kutip
Naipospos bahkan menyebut ada suatu masa ketika orang tua melarang anak-anak gadis mereka mengikuti sekolah lanjutan. Sebabnya, kebanyakan anak gadis pergi ke sekolah hanya untuk belajar mengirim surat cinta kepada anak laki-laki. Oleh karena itu, anak-anak gadis hanya diperkenakan agar terampil membaca saja.
Sementara menurut Harahap, kebanyakan orang Kristen dahulu dilarang bertandang, apalagi calon guru Zending. “Padahal bertandang itu sebenarnya adalah suatu adat yang baik dan sopan. Baik: supaya orang yang mau kawin berkenalan dulu dengan kawan hidupnya kelak. Dengan jalan ini orang boleh memilih rekan hidupnya,” ujar Harahap.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar