Kerbau dan Orang Indonesia
Kerbau adalah hewan yang bersejarah bagi rakyat Indonesia. Budaya beberapa etnis di Indonesia berkaitan erat dengan kerbau.
DARI 30-an partai politik yang mengikuti Pemilihan Umum (pemilu) 1955, ada sebuah partai bernama Partai Tani Indonesia (PTI). Baik pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Konstituante diikutinya.
Pemuka PTI adalah Raden Achmad Wangsadikarta. Sementara, menurut Kumpulan Peraturan-Peraturan untuk Pemilihan Konstituante, lambang partainya adalah padi berbuah dan kepala kerbau dalam sebuah segitiga.
Kerbau (Bubalis bubalis) dipilih sebagai lambang partai yang hendak dijadikan wadah aspirasi para petani itu. Tentu, itu terkait peran kerbau dalam pertanian rakyat. Kerbau merupakan satwa terdekat petani sejak lama. Bagaimana pentingnya kerbau bagi rakyat, digambarkan antara lain dalam Novel Max Havelaar (1860) karya Eduard Douwes Dekker. Dalam novel itu digambarkan kerbau milik Saidjah yang bernama Pantang berhasil mengalahkan seekor harimau di sawah, namun kerbau itu dirampas priyayi-priyayi abdi bupati untuk pesta. Perampasan kerbau itu menjadi pintu bencana bagi penduduk karena kerbau merupakan harta paling berharga mereka.
“Tanpa kerbau, mereka tak bisa menggarap ladang. Tanpa panenan, mereka tak bisa membayar pajak. Hampir 150 tahun kemudian, fragmen itu terasa masih relevan untuk menggambarkan satu sisi wajah Banten. Bahkan, seringkali fragmen itu menemukan bentuknya yang lebih pedih. Jika dulu yang dirampas adalah kerbau, saat ini, petani kehilangan tanah,” tulis Tim Ekspedisi Kompas dalam Ekspedisi Anjer-Panaroekan: Laporan Jurnalistik Kompas: 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Jalan Untuk Perubahan.
Tak hanya di Banten, di daerah-daerah lain kerbau telah menemani petani Indonesia selama ribuan tahun. Termasuk di Minangkabau.
“Diperkirakan (kerbau) masuk dan diperkenalkan ke Indonesia sekitar 1.000 tahun SM, barangkali berasal dari India atau Thailand. Kerbau telah menjadi hewan tatoisme orang Minang sejak zaman prasejarah,” catat Gusti Asnan dalam Kamus Sejarah Minangkabau.
Nama Minangkabau sendiri terkait dengan kerbau. Dulu, daerah Minangkabau pernah diinvasi oleh pasukan militer dari sebuah kerajaan dari Pulau Jawa. Diperkirakan nama kerajaan Jawa itu Majapahit. Orang Minangkabau di Sumatra Barat kala itu tidak yakin dengan kekuatan militer mereka sendiri.
"Lalu raja Majapahit mengutus hulubalangnya membawa tentara dan sampai ke Bukit Batu Patah. Para penghulu serta cerdik pandai menyambut mereka dengan baik dan menawarkan tidak usah berperang. Disepakatilah jalan keluarnya mengadakan acara adu kerbau,” catat Datuk Aman Mandjoido dan Datuk Batuah dalam Tambo Minangkabau.
Calon penjajah dari Jawa itu datang membawa kerbau kuat dengan tanduk besar bernama Binuang Sati. Sementara, orang Minangkabau hanya menyiapkan anak kerbau yang seminggu tak disusui induknya. Ketika hari pertandingan tiba, kerbau orang Minang diberi pisau (yang juga disebut Minang). Kerbau orang Minang pun mengalahkan kerbau bawaan orang Jawa. Menang kerbau, itulah muasal sebutan Minangkabau itu. Rumah orang Minangkabau juga atapnya mirip tanduk kerbau.
Di utara Minangkabau, orang-orang Batak pun membentuk atap rumah mereka menyerupai kerbau. “Pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang dilekatkan tanduk kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau; punggung kerbau ialah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau ialah tiang-tiang pada kolong rumah,” catat Nalom Siahaan dalam Sedjarah Kebudajaan Batak.
Sama seperti orang Batak, orang-orang orang Toraja nun jauh di pedalaman Sulawesi Selatan juga dianggap sebagai proto-Melayu atau Melayu Tua. Bentuk rumah orang Toraja mirip dengan orang Batak pula, dengan bentuk atap mirip kerbau. Tanduk-tanduk kerbau juga banyak dipasang pada bagian depan rumah.
Di masa lalu, kerbau merupakan binatang dengan nilai ekonomis tinggi. Di sana, seekor kerbau dihargai bukan diukur dari besar kecilnya, tapi bentuk belang dan warnanya. Harga kerbau belang tertentu bisa ratusan juta rupiah.
Kerbau-kerbau Toraja banyak disembilih ketika upacara pemakaman (rambu solo) diadakan. Sebelum disembelih, diadakan juga adu kerbau. Proses penyembelihan menjadi prosesi yang seru karena kerbau tak langsung mati, bahkan ada kerbau yang berlari dulu sebelum mati. Prosesi upacara kematian di Toraja menjadi upacara yang sangat mahal. Biaya upacara kematian melebihi upacara pernikahan.
Tentu saja kerbau menjadi makanan bergizi bagi Minangkabau, Batak, Toraja, dan lain-lain. Begitu juga di Kudus, yang masyarakatnya tidak makan daging sapi sejak dulu. Soto Kudus menyajikan daging kerbau di dalam kuahnya. Dalam tiap 100 gram daging kerbau terkandung 138 kalori, lemak 12, protein 7 dan 216 kalsium. Daging kerbau dianggap makanan bergizi. Kini, menurut Biro Pusat Statistik tahun 2023, jumlah kerbau di Indonesia hampir 1,1 juta ekor. Dari jumlah tersebut, menurut laman www.bps.go.id, provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi pemilik terbesar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar