Para Sarjana Batak Tempo Dulu
Orang Batak mulai punya sarjana pada abad ke-20. Bermacam bidang yang digeluti. Ada yang jadi perdana menteri.
BADAN Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menyebutkan bahwa suku Batak menyumbang jumlah lulusan sarjana terbanyak di Indonesia pada 2024. Setidaknya 18,02 persen sarjana adalah orang Batak. Suku Minangkabau mengikuti di posisi kedua dengan 18,00 persen.
Angka yang dicapai etnis Batak itu terkait dengan pandangan mereka akan pentingnya pendidikan. Secara historis, pandangan tersebut muncul setelah masuknya agama Kristen di Tanah Batak.
“Pengaruh zending juga cukup kuat mempengaruhi orang Batak. Banyak posisi pekerjaan ditawarkan zending bagi kaum terdidik Batak: sebagai guru huria (pembantu pendeta), guru sekolah, tenaga medis, mantri, tukang vaksin, dan pendeta,” terang Dian Purba, dosen Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung, kepada Historia.ID.
Masuknya Kristen ke Tanah Batak sendiri dipelopori Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918). Pria berkebangsaan Jerman itu merupakan pengkabar Injil dari zending (penyebar agama Kristen) bernama Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) alias Serikat Misionaris Rhein. Setelah RMG memulai penyebaran Kristen di Tapanuli, kehidupan dan sejarah Tanah Batak pun mulai berubah.
Di sana, zending tidak hanya berceramah. Penyebaran Kristen dilakukannya lewat pendidikan formal, yang mendorong zending membangun banyak sekolah. Sekolah dasar bermunculan di awal abad ke-20, termasuk kemudian yang berupa Holandsch Inlandsch School (HIS). Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) –setara SMP– kemudian juga didirikan di Tarutung pada 1927.
Di luar kerja zending, ada pula Sekolah Guru Tano Bato yang didirikan Sati Nasution alias Willem Iskander (1840–1876) meskipun hanya berumur singkat. Meski bukan sarjana, Willem merupakan intelektual Batak yang peduli pendidikan dan kampung halamannya.
Banyaknya sekolah membuat orang Batak pun mulai tertarik bersekolah. Bahkan, hasrat mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi begitu besar. Meski kala itu belum ada universitas atau sekolah tinggi di Sumatra, sudah ada orang Batak yang menjadi dokter. Buku Perkembangan Pendidikan Kedokteran di Waltevreden 1851-1926 menyebutkan beberapa nama pelajar School tot Opleiding voor Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Hindia di Kwitang, Jakarta, berasal dari Tapanuli. Selain Si Madjlis Radja Djoendjingan dari Mandailing (kelahiran 1861, masuk 1877, dan lulus pada 1885), ada Mohamad dari Tapanuli (lahir 1886, masuk 1901, dan lulus 1909), Maamoer Ar Rasjid dari Padang Sidempuan (lahir 1897, masuk 1910, dan lulus 1920), Si Johan alias Finehas Johan Naingggolan dari Tapanuli (lahir 1892, masuk 1907, dan lulus pada 1917), dan Ferdinand Lumbung Tobing dari Sibulan (lahir 1899, masuk 1914, dan lulus 1924).
STOVIA menampung lulusan sekolah dasar sebagai siswanya. Jadi lulusannya tidak sama dengan dokter sekolah tinggi. Enam tahun pertama di STOVIA seperti gabungan SMP dan SMK. Mereka yang belajar tujuh tahun mirip lulusan D-I, sedangkan yang belajar sembilan tahun seperti lulusan D-III.
Sebelum Perang Dunia II, setidaknya sudah ada dokter Batak lulusan Universitas Leiden, yakni Parlindoengan Loebis (1910-1994). Namun hidupnya nahas karena ditahan tentara Jerman-Nazi di kamp NAZI bersama orang Yahudi.
Namun, Parlindungan Lubis bukanlah orang Batak pertama yang menjadi sarjana (dokter) di Belanda. Jauh sebelumnya, Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia (1896-1966) sudah jadi doktor di Leiden. Dia tak hanya kuliah tentang ilmu bangsa-bangsa, tapi juga berhasil merampungkan disertasinya, “Het primitive denken in de moderne wetenschap”, yang diterjemahkan sebagai “Pemikiran Primitif dalam Ilmu Pengetahuan Modern”. Pria yang pernah menjadi anggota Volksraad ini pada 1932 sudah mencapai gelar Mester in Rechten (Mr.) dan dengan itu dianggap ahli hukum.
Gunung Mulia punya sepupu Amir Sjarifuddin Harahap (1907-1948) namanya. Kendati pernah sekolah di Belanda, gelar sarjana Amir diperoleh di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta. Pada 1930-an, Amir lulus sebagai sarjana hukum (Mr.) juga. Namun Amir yang pernah menjadi bendahara Kongres Pemuda II Oktober 1928 ini terjun ke dunia pergerakan nasional, bukan menjadi pengacara macam Hotman Paris Hutapea, Todung Mulya Lubis, atau pengacara-pengacara Batak lain yang kini kondang. Baik Amir maupun Gunung Mulia pernah menjadi menteri di masa awal Republik Indonesia. Amir bahkan dua kali menjadi perdana menteri.
Selain ahli hukum macam Amir dan Gunung Mulia atau ahli medis macam dr. Lumban Tobing dan dr. Nainggolan tadi, di masa sebelum Indonesia merdeka juga sudah ada insinyur kimia Batak. Namanya AFP Siregar alias Mangaradja Onggang Parlindungan alias Radja Onggang parlindungan Siregar. Koran De Sumatra Post tanggal 3 Juni 1937 menyebut dia lulusan Hogere Burgerschool (HBS) bagian B. Namun, RO Parlindungan lebih dikenal sebagai penulis buku Tuanku Rao, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, ketimbang insinyur lulusan Delft.
“Ir. RO Parlindungan Siregar (yang sudah almarhum) adalah seorang Insinyur didikan Negeri Belanda dan di waktu revolusi Indonesia menjadi Letnan Kolonel bagian persenjataan,” tulis Augustin Sibarani dalam Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja XII.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar