Ayrton Senna dalam Kenangan
Terlepas dari pahit-manis memori tentang Ayrton Senna, tim McLaren F1 tetap menghormati dan memperingati 30 tahun kepergiannya.
SETELAH beberapa waktu absen, McLaren Automotive comeback di ajang pameran Goodwood Festival of Speed di Chichester, Inggris, 11-14 Juli 2024. Pabrikan mobil mewah Inggris itu hadir untuk memperingati dua momen bersejarah: 50 tahun kemenangan pertama tim McLaren di Indianapolis 500 dan peringatan 30 tahun kematian tragis pembalap legendaris Formula One (F1) Ayrton Senna.
Di garasi McLaren House dalam pameran itu, McLaren menghadirkan mobil M16C/D yang memenangkan empat race di Indianapolis 500. Mclaren juga akan memamerkan mobilnya mengelilingi area pameran.
“Senang rasanya kembali ke Goodwood Festival of Speed dengan line-up yang ikonik untuk merayakan dua peringatan penting bagi tim (McLaren F1). Masa lalu kami jadi penyemangat masa sekarang dan Goodwood Festival of Speed jadi ajang yang bagus untuk memperlihatkan pencapaian tim dan merayakan masa-masa jaya sebagai tim balap,” ujar COO McLaren Formula 1 Team, Piers Thynne, di laman resmi McLaren, 25 Juni 2024.
Baca juga: 130 Tahun Mercedes-Benz di Arena Pacu
Mobil M16C/D itu dikendarai Johnny Rutherford yang memenangi ajang tersebut setengah abad lampau. Sementara mobil “jet darat” MP4/6 yang pernah dipiloti mendiang Senna saat menjuarai F1 musim 1991, akan dikemudikan keponakannya, Bruno Senna.
Selain itu, McLaren juga memamerkan mobil hypercar McLaren Senna dan mobil MCL38 F1 dengan livery “Senna Sempre”. Livery artistik itu dibuat khusus menyamai motif helm mendiang Senna yang menampilkan kombinasi kuning, hijau, dan biru sebagaimana bendera Brasil, negara asal Senna. Meski McLaren Senna sudah diluncurkan sejak 2017, desain livery “Senna Sempre” itu baru dihadirkan McLaren seiring F1 Grand Prix Monaco 2024, Mei lalu.
“Senna memainkan peran yang sangat penting bagi warisan McLaren dan cara terbaik untuk terus memperingati warisannya tak lain adalah menjalankan mobil juaranya dengan sang keponakan Bruno Senna di balik kemudi,” tandas Thynne.
Baca juga: Apa Kabar Michael Schumacher?
Senna di Arena
Ayrton Senna da Silva, begitu nama seorang bayi yang lahir di Rumahsakit Bersalin Pro-Matre Santana, São Paulo, Brasil, pada 21 Maret 1960 dini hari. Ia anak tengah dari tiga bersaudara pasangan imigran Italia, Neide Joanna Senna, dan blasteran Brasil-Spanyol, Milton Guirado da Silva.
Tumbuh di lingkungan keluarga kaya, Senna –yang diberi nama panggilan “Beco” oleh orangtuanya– sudah terilhami minat pada balap mobil dan motor sejak usia empat tahun. Ketika menginjak usia tujuh tahun, Senna bocah sudah mulai belajar menyetir mobil jip ayahnya di halaman peternakan keluarga.
“Milton (ayah Senna) seorang pebisnis industri besi dan baja spesialis komponen-komponen mobil dan memiliki peternakan di Goiás lewat kerjasama dengan teman bisnisnya, di mana bisnis peternakannya bisa mengakomodir lebih dari 10 ribu ekor ternak,” tulis Richard Williams dalam The Death of Ayrton Senna.
Sewaktu mengenyam pendidikan di sekolah elit, Senna remaja mulai terjun ke dunia balap amatir setelah ayahnya membiayai perakitan go-kart bermesin 1 hp. Wahana tersebut lantas mengantarkannya –saat berusia 13 tahun– ke ajang balap perdananya melawan pembalap-pembalap yang lebih tua di Sirkuit Interlagos.
Didampingi manajer Lucio Pascal Gascon, Senna remaja berturut-turut mulai mengukir nama sebagai juara di South American Kart Championship 1977, serta runner-up Karting World Championship 1978 dan 1982. Di masa ini, orangtuanya sudah merelakan Senna memilih jalan hidup di arena balap ketimbang meneruskan bisnis-bisnis keluarga.
“Setelah go-kart, fase berikutnya yang dituju (Senna) adalah mobil balap single-seater dan hanya ada satu tempat untuk mencapainya. Sejak 1960-an, klub-klub otomotif Inggris paling efektif menghasilkan bakat-bakat baru, sebuah destinasi yang jadi momen pembuktian diri. Senna tiba di Inggris pada November 1980 dengan dukungan dan bimbingan (pembalap) Chico Serra tinggal enam bulan lagi melakoni debutnya di Formula One (F1),” imbuh Williams.
Baca juga: Stirling Moss, Raja Balap tanpa Mahkota
Setelah membulatkan tekad dan mengusir kegamangan akan pilihan antara dunia balap dan bisnis keluarga, Senna unjuk bukti. Bersama tim Van Diemen, ia memenangi balapan RAC dan Townsend Thoresen Formula Ford 1600 pada 1981, serta British and European Formula Ford 2000 Championships 1982. Meski punya catatan bagus di ajang Formula 3, butuh dua tahun bagi Senna untuk bisa mencicipi kontes jet darat paling bergengsi, F1.
Sebelum bisa mentas di F1, Senna beberapa kali mendapat penolakan. Padahal dia sudah berusaha untuk memberikan kesan positif kala menjalani sesi-sesi tes bersama beberapa tim besar seperti Williams, McLaren, Lotus, dan Brabham. Bersama tim Williams, misalnya, Senna mencatatkan waktu yang bahkan lebih cepat dari pembalap juaranya, Keke Rosberg, dalam 40 lap di Sirkuit Donington Park. Tapi Frank Williams si empunya tim tetap belum percaya sepenuhnya.
Pun dengan tim Lotus yang terkesan dengan sesi tes Senna dan ingin menggantikan Nigel Mansell dengan Senna. Lantaran masih terikat kontrak dengan sponsor utamanya, Imperial Tobacco, yang bersikeras menolak pembalap non-Inggris, Lotus terpaksa menolak Senna. Sebagaimana pula tim Brabham, yang urung merekrut Senna karena Parmalat sebagai sponsor tim lebih menginginkan pembalap asal Italia.
Baca juga: Kisah Ken Miles di Balik Ford v Ferrari
Kesempatan ke F1 datang pada November 1983 saat Senna direkrut tim anyar, Toleman Motorsport. Menariknya Senna ditandemkan eks-pembalap MotoGP asal Venezuela, Johnny Cecotto, untuk mengikuti F1 musim 1984.
“Akhir 1983 kami sedang melakukan sesi tes di Silverstone ketika Alex (Hawkridge, kepala tim Toleman) datang dengan helikopter ditemani pembalap muda dengan mata yang tajam. Alex memperkenalkan, ‘ini Ayrton Senna, pembalap baru kita untuk tahun depan.’ Saya sangat antusias karena saya ingat ia punya catatan kompetisi yang ketat dengan Martin Brundel di Formula 3,” kenang Brian Hart, mitra supplier mesin Brian Hart Limited, dikutip Christopher Hilton dalam The Toleman Story: The Last Romantics in Formula 1.
Namun, debut Senna di negeri sendiri pada Grand Prix (GP) Brasil, 25 Maret 1984, berakhir pahit karena turbocharger di mesin Hart 415T mengalami masalah hingga ia gagal merampungkan race di lap kedelapan. Poin pertamanya baru dia dapatkan di GP Afrika Selatan, 7 April 1984, ketika mampu finis di urutan keenam.
Baca juga: Lintasan Sejarah Ajang 24 Hours Le Mans
Musim pertama dan terakhirnya bersama tim Toleman itu terbilang lumayan dengan menghasilkan 13 poin di akhir musim dengan catatan dua kali meraih podium 3 di GP Inggris dan GP Portugal. Hasil ini membuat Senna mulai dilirik beberapa tim lain hingga akhirnya direkrut tim Lotus dan berhasil enam kali memenangkan race kurun 1985-1987.
Puncak kiprah Senna terjadi di kokpit tim McLaren sedari 1988-1993. Ia bahkan mencatatkan diri sebagai pembalap termuda yang tiga kali jadi juara dunia (1988, 1990, dan 1991).
Di masa kejayaannya itu, Senna juga terlibat ketegangan hingga perseteruan sengit dengan rekan setimnya, Alain Prost. Padahal, Prost yang pertamakali mendorong McLaren untuk mendatangkan Senna.
Baca juga: Seteru Sengit di Sirkuit
Persaingan bebuyutan lainnya juga terjadi dengan Michael Schumacher yang dianggap Senna sebagai ancaman baru. Saling serang secara verbal acap terjadi pasca-beberapa insiden, di antaranya insiden tabrakan di race GP Prancis 1992 yang membuat Senna gagal finis hingga manuver berbahaya Schumacher yang nyaris membuat Senna kecelakaan pada sesi tes GP Jerman 1992.
“Senna mengonfrontir Schumacher di pit dan menarik kerah overall-nya untuk mendesak keras secara face-to-face. Senna berteriak, ‘Tunjukkan rasa hormatmu!’ Beberapa mekanik segera melerai demi mencegah eskalasi masalah,” ungkap Malcom Folley dalam Senna Versus Prost.
Terlepas dari perseteruannya dengan Schumacher dan masa-masa indah di McLaren, Senna sempat dirayu untuk membelot ke Ferrari. Sebab, sepeninggal Honda sebagai pemasok mesin membuat performa mobil McLaren menurun. Legenda hidup F1 yang kemudian menjadi penasihat tim Ferrari, Niki Lauda, sempat ingin memanfaatkan situasi untuk membajaknya ke “Tim Kuda Jingkrak” untuk musim 1993 walau tawaran Lauda akhirnya ditolak.
“Senna mengatakan ia mungkin memilih pensiun sementara jika mobilnya tak bisa kompetitif lagi. Katanya, (mobil tim) Williams atau tidak sama sekali musim depan. Ayrton menginginkan mobil juara dan itu hanya bisa diberikan Williams-Renault,” aku Lauda, dikutip suratkabar The New York Times, 21 Agustus 1992.
Baca juga: Kontroversi Schumi
Pada akhirnya, Senna setengah terpaksa tetap bertahan di McLaren yang dipasok mesin Ford V8. Terbukti Senna kesulitan tampil maksimal. Ledakan emosinya sebagai dampak depresi sampai membangkitkan perseteruan lama dengan Prost dan sempat pula terjadi pemukulan terhadap pembalap tim Jordan, Eddie Irvine.
Insiden dengan Irvine itu terjadi pada race GP Jepang 1993 di Sirkuit Suzuka gegara mobil Senna disenggol dua kali oleh Irvine. Usai balapan, Senna melabrak Irvine di garasi tim Jordan dan klimaksnya, Senna melayangkan bogem mentah ke wajah Irvine sembari menghardiknya dengan kata-kata “idiot”. Senna akhirnya disanksi dua kali larangan balapan untuk musim 1994, kendati sanksi itu dicabut setelah terjadi negosiasi antara Senna dengan Presiden FIA Max Mosley.
Meski harus membayar klausul 20 juta dolar kepada tim McLaren dari koceknya sendiri, di musim 1994 Senna akhirnya bisa hijrah ke tim Williams-Renault bertandem dengan Damon Hill. Sialnya, di musim 1994 terjadi pula perubahan aturan tentang kendali traksi, sistem elektronik, dan sistem rem ABS. Senna pun kesulitan untuk bersaing dengan Schumacher.
“Beberapa kekurangan karena perubahan (sistem) elektronik, mobilnya terasa punya karakteristik yang berbeda yang membuat saya tidak percaya diri sepenuhnya. Musim ini akan akan terjadi banyak kecelakaan dan saya akan merasa beruntung jika tak terjadi sesuatu yang serius terhadap saya,” ujar Senna, dikutip majalah Autosport edisi 24 Januari 1994.
Baca juga: Melintasi Sirkuit Politik Max Mosley
Apa yang dikhawatirkan Senna justru menjadi kenyataan. Pada sesi kualifikasi GP San Marino di Sirkuit Autodromo Enzo e Dino Ferrari (kini Sirkuit Imola), 29 April 1994, terjadi kecelakan fatal yang menewaskan pembalap MTV Simtek Ford, Roland Ratzenberger. Kendati Senna masih selamat, pada sesi race 1 Mei 1994, giliran Senna sendiri yang meregang nyawa. Mobil Williams-Renault FW16 yang dikendarainya kehilangan kendali di Tikungan Tamburello hingga menghantam dinding beton dengan kecepatan 211 km/jam.
Tim medis pun berlarian ke lokasi, termasuk dokter syaraf Sid Watkins yang langsung melakukan prosedur trakeostomi darurat. Namun kendati kemudian dievakuasi dengan helikopter ke Rumahsakit Maggiore, nyawa Senna tak tertolong. Ia dinyatakan meninggal di hari itu juga, 1 Mei 1994, pukul 18.40 petang waktu setempat pada usia 37 tahun.
Publik dan pemerintah Brasil hingga lintas dunia olahraga turut berduka. Jasadnya dimakamkan di Ceméterio do Morumbi, São Paulo pada 5 Mei 1994 yang turut dihadiri tiga juta pelayat. Sebagai penghormatan, timnas Brasil turut mendedikasikan kemenangannya di Piala Dunia 1994 untuk mendiang Senna.
“Semua orang mencintai Ayrton. Sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hati semua orang Brasil saat tahu ia meninggal. Dalam skuad kami bersepakat ingin memenangkan Piala Dunia untuk didedikasikan kepada Ayrton. Ia berarti segalanya bagi kami. Saya sangat emosional hanya dengan memikirkannya,” kenang José Roberto Gama de Oliveira alias Bebeto, striker Brasil di Piala Dunia 1994, dilansir The Daily Star, 1 Mei 2024.
Baca juga: Angkernya Sirkuit Nürburgring
Tambahkan komentar
Belum ada komentar