Perang Teluk Hitler
Ambisi Hitler merebut minyak di kawasan Teluk Persia dan perjudian terakhir Mussolini di Irak. Dukungan setengah hati yang berumur pendek.
RASHID Ali al-Gaylani bisa sedikit bernafas lega. Ia dan rombongan pejabat Irak pro-diktator Jerman Nazi Adolf Hitler lolos dari lubang jarum setelah melintasi perbatasan Irak menuju Iran pada 30 Mei 1941.
“Pada 30 Mei 1941, Rashid Ali al-Gailani, kepala stafnya Amin Zeki, Sharif Sharaf dan beberapa pejabat pemerintahannya memasuki Iran dan mereka mencapai (ibukota Iran, red) Tehran pada 2 Juni. Dalam rombongan itu juga termasuk Mufti Besar Yerusalem (Amin al-Husseini),” ungkap Mohammad Gholi Majd dalam August 1941: The Anglo-Russian Occupation of Iran and Change of Shahs.
Pelarian itu terjadi akibat kota Baghdad dikepung pasukan Inggris sejak akhir Mei. Ambisi Rashid pun seketika berubah dari penguasa menjadi buron.
Pemimpin tertinggi Iran Reza Shah Pahlavi terpaksa menampung rombongan kendati ia paham negerinya bakal turut terjerumus ke jurang peperangan dengan Inggris. Terlebih di hari yang sama ketika rombongan Rashid menyeberangi perbatasan, Baghdad resmi direbut Inggris.
Baca juga: Jenderal Choltitz Penyelamat Paris
Kota Baghdad mengalami kekosongan sejak 29 Mei, hari di mana rombongan Rashid mulai ke luar Irak. Otoritas yang tersisa hanya kepala polisi, mutsarrif atau pejabat gubernur, dan Walikota Baghdad Arshad al-Umari. Sekira pukul 3 petang 31 Mei 1941, Al Umari memimpin perwakilan pemerintahan Baghdad ke sebuah bangunan dekat Jembatan Washash untuk menandatangani gencatan senjata. Pihak Inggris diwakili Duta Besar Sir Kinahan Cornwallis.
“Pihak Inggris memutuskan untuk tidak langsung menduduki Baghdad demi menyamarkan kekuatan pasukan yang sebenarnya tidaklah besar jika dibandingkan pasukan Irak,” tulis Robert Lyman dalam Iraq 1941: The Battles for Basra, Habbaniya, Fallujah and Baghdad Campaign.
Perang Inggris-Irak (2-31 Mei 1941) pun berakhir dengan kegemilangan Inggris yang hanya berkekuatan satu divisi dan dua brigade. Keunggulan di udara jadi penentu keberhasilan Inggris merebut kembali Irak yang sempat dikudeta Al-Gaylani. Maka pada 2 Juni, Inggris pun mengembalikan kekuasaan ke penguasa Irak yang pro-Inggris, Pangeran Abdullah.
Misi Militer Ala Kadar
Rashid yang terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri Irak pada Januari 1941 akibat tekanan Pangeran Abdullah, membuat perhitungan dengan menggalang kekuatan bersama para aktivis nasionalis Irak. Ia pun mendapat dukungan dari tokoh-tokoh Arab Palestina yang melarikan diri usai gagal menumbangkan kekuasaan Inggris di Palestina pada 1939, salah satunya Mufti Besar Yerusalem Amin al-Husseini.
“The Golden Square Coup” ia menyebutnya. Bersama empat jenderal nasionalis Irak yang diam-diam bekerjasama pula dengan intelijen Jerman, Rashid melancarkan kupnya pada 1 April 1941. Lantaran Inggris masih disibukkan oleh aneka pertempuran di Afrika Utara melawan pasukan Marsekal Erwin Rommel, kup Rashid berjalan dengan mulus. Pemerintahan Pangeran Abdullah dan Perdana Menteri Nuri as-Said pun jatuh.
Rashid lalu mendirikan pemerintahan Pertahanan Nasional yang pro-Jerman di Baghdad. Lewat misi diplomatik, ia mengirim pesan untuk meminta bantuan Adolf Hitler via diplomat Fritz Grobba dan Menteri Luar Negeri Joachim von Ribbentrop. Rashid sadar bahwa meskipun militer Irak besar dalam segi jumlah, tapi kekurangan perwira berpengalaman tempur.
Baca juga: Barisan Pangeran di Pasukan Perang Hitler
Lyman mencatat, setidaknya Irak di bawah Rashid punya empat divisi infantri, satu brigade kavaleri lapis baja, dan sekira 116 pesawat di angkatan udaranya. Lalu masing-masing satu kapal meriam dan penyapu ranjau di angkatan lautnya. Semuanya warisan Inggris.
“Irak juga punya unit-unit kepolisian dan sekira 500 milisi gerilya pimpinan Fawzi al-Qawuqji yang beroperasi di wilayah antara Rutbah dan Ramadi,” tambah Lyman.
Di sisi lain, Rashid belum tahu seberapa besar pasukan Inggris yang ia hadapi. Oleh karenanya ia punya ekspektasi besar akan bantuan Hitler demi menangkal kedatangan Inggris.
Jerman merespon dengan mengirim Grobba ke Baghdad sebagai penasihat, sementara Von Ribbentrop yang mewakili Hitler, menemui diktator Italia Benito Mussolini untuk membicarakan kemungkinan membentuk aliansi Poros di Irak.
Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun
Mussolini juga ingin dilibatkan di Irak lantaran peperangan di Teluk Persia bisa jadi perjudian terakhirnya untuk mendongkrak reputasinya lagi. Ia tak mau selamanya jadi beban Hitler seperti ketika Hitler harus turun tangan ketika pasukannya kocar-kacir di Afrika Utara medio 1940 dan di Yunani sejak awal 1941.
“Jika kita bisa mendapatkan izin Prancis (Vichy) untuk mendaratkan pasukan dan menempatkan pesawat di Suriah, bantuan kita untuk Irak akan sangat substansial. Kami sudah menyiapkan lima pesawat yang bisa terbang ke Baghdad via Rhodes. Mereka bisa mengangkut 400 senapan mesin dan meriam antitank. Kami juga punya satu skadron pesawa tempur yang siap beraksi,” kata Mussolini kepada Von Ribbentropp.
Kuncinya, lanjut Mussolini, ada pada Perdana Menteri Prancis-Vichy Laksamana François Darlan. Ia masih mengusai wilayah Suriah. Darlan lantas jadi “urusan” Hitler –yang kepincut dengan ladang-ladang minyak di Irak dan Teluk Persia– untuk dibereskan lewat perjanjian Protokol Paris, 6 Mei 1941. Hasilnya, Darlan tak bisa menolak wilayah Suriah dijadikan pangkalan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) dan Regia Aeronautica (Angkatan Udara Italia) sebagai “pijakan” menuju Irak.
Di hari yang sama berlakunya Protokol Paris, Oberkommando der Wehrmacht (OKW, Komando Tinggi Angkatan Perang) membentuk Sonderstab F (Staf Khusus F) yang dipimpin General der Flieger Hellmuth Felmy. Staf Khusus F itu membawahi komando wing tempur Fliegerführer Irak pimpinan Kolonel Werner Junck yang berkekuatan dua skadron, serta satu unit komando intai Resimen Brandenburger yang merupakan pasukan khusus Abwehr (intelijen AD Jerman) yang dikomando Mayor Axel von Blomberg. Mussolini sekadar mengirim satu skadron berkekuatan 12 pesawat Fiat CR.42 di bawah komando Squadriglia Speciale Irak.
“Pesawat-pesawat Jerman mendaratkan misi militernya di Baghdad setelah permintaan mendesak Rashid Ali. Pertemuan Darlan dengan Hitler membuat Vichy ‘bisa ikut menyinari masa depan’. Tetapi Darlan diharapkan untuk tidak protes jika pangkalan-pangkalan itu menjadi sasaran serangan Inggris,” tulis suratkabar Australia, The News, 16 Mei 1941.
Kendati begitu, Hitler belum bisa mengerahkan pasukannya dengan jumlah lebih besar dari sekadar Sonderstab F. Terlebih pasukan baja Hitler sebagian besar sedang disiapkan untuk melancarkan “Operasi Barbarossa” ke Uni Soviet pada Juni 1941.
“Gerakan Kemerdekaan Arab adalah aliansi kita menentang Inggris di Timur Tengah. Oleh karenanya saya memutuskan untuk mendukung Irak. Terkait kemungkinan operasi ofensif ke Terusan Suez untuk mendobrak posisi Inggris di antara Mediterania dan Teluk Persia akan segera ditentukan setelah (operasi) Barbarossa,” kata Hitler dalam pernyataan tertulis di salah satu poin Weisung Nr. 30 (Perintah Hitler No. 30) yang dikeluarkan pada 23 Mei 1941.
Namun, sokongan Hitler dan Mussolini yang seolah setengah hati itu ternyata tidak cukup menghadapi Inggris yang hanya mendatangkan pasukan yang masih kalah jumlah di darat. Inggris hanya bisa mengandalkan superioritas udara untuk memukul mundur pasukan Irak.
Inggris sudah merespons sejak 18 April –atau dua pekan sebelum Jerman dan Italia mengumpulkan misi militernya– dengan mengirim pasukan dari Karachi lewat Operasi Sabine. Kekuatan daratnya hanya satu divisi infantri dan dua brigade lapis baja pimpinan Marsekal Sir Claude Auchinleck dan Marsekal Archibald Wavell.
Baca juga: Laskar Muslim Hitler di Afrika Utara
Namun di udara, Royal Air Force (RAF/AU Inggris) punya lebih dari 100 pesawat. Lewat superioritas udara ini pula Inggris memulai serangan udaranya ke Habbaniya, Rutbah, dan Basra mulai 2 Mei. Sementara di darat, Inggris membentuk lagi dua komando: Habforce dan Kingcol. Keduanya berisi pasukan gabungan Inggris dan sekutu-sekutunya: Yordania, Palestina, Australia, dan Selandia Baru yang dikomando. Pasukan itu dikomando Marsekal Wavell.
Serangan yang terpusat dengan sokongan superioritas udara itu memudahkan perebutan kota-kota di atas dari tangan pasukan Irak. Sialnya bantuan pesawat dari Jerman dan Italia tak punya pengaruh besar. Alhasil Habbaniya direbut pada 7 Mei. Menyusul Fallujah pada 21 Mei, dan Basra dua hari berselang. Pada 27 Mei malam, pasukan Inggris bermanuver dengan cepat mencapai Baghdad.
Sadar serangan Inggris tak terbendung, segenap sisa misi militer Sonderstab F meninggalkan Baghdad. Ketika pasukan Inggris sudah di muka gerbang kota Baghdad pada 29 Mei, giliran rombongan Rashid kabur dari Baghdad menuju perbatasan Iran.
Ketika Inggris terus bergerak ke Iran untuk menumbangkan Reza Shah Pahlavi pada medio Agustus 1941, Rashid cs. terpaksa mengungsi lagi sampai ke Berlin untuk berlindung di balik ketiak Hitler via Mesir dan Italia.
“Rashid Ali tiba di Berlin pada 21 November 1941. Seperti Mufti Besar (Yerusalem), ia juga mengharapkan kesepakatan dengan kekuatan Poros terkait kemerdekaan Arab di bawah kepemimpinannya,” ungkap Michael J. Cohen dalam Britain’s Moment in Palestine: Retrospect and Perspectives, 1917-1948.
Baca juga: Nazi Muslim
Tambahkan komentar
Belum ada komentar